Banjir Sumatera Picu Trauma Dahsyat, Ini Catatan Psikologi Korban yang Perlu Dipahami
JAKARTA - Banjir Sumatera picu trauma dahsyat para korban. Ada beberapa catatan psikologi yang perlu dipahami
Bencana banjir Sumatera meninggalkan 'luka' batin yang perlu ditangani. Jika tidak diperhatikan maka dampaknya bisa membekas dan memiliki dampak panjang.
Apa saja catatan tersebut? Berikut tahapannya, seperti dirangkum dari BNPB, Modul Layanan Dukungan Psikososial (LDP), Pedoman Kesehatan Jiwa Pascabencana Kementerian Kesehatan RI, serta Panduan Dukungan Psikososial untuk Anak Pascabencana UNICEF Indonesia, Minggu (7/12/2025).
1. Tahap Dampak atau Impact Phase
Terjadi saat bencana berlangsung
Yang dirasakan:
* Syok psikologis (shock).
* Perasaan tidak percaya (“Mengapa bisa terjadi?”).
* Disorientasi (bingung harus melakukan apa).
* Reaksi otomatis tanpa berpikir panjang (survival mode).
Solusinya:
Psychological First Aid (PFA) sangat penting di tahap ini:
* Pastikan keamanan fisik.
* Tenangkan korban dengan kehadiran yang suportif.
* Berikan informasi sederhana tentang apa yang sedang terjadi.
* Pendampingan keluarga (saling menjaga, tetap bersama).
Ini 23 Skincare dan Kosmetik Berbahaya yang Daya Rusaknya Bisa Ubah Bentuk Janin hingga Kanker
2. Tahap Pasca-Dampak (Heroic–Honeymoon Phase)
Fase ini terjadi beberapa hari hingga minggu setelah bencana.
Yang dirasakan:
1. Muncul ikatan sosial yang kuat antar penyintas.
2. Semangat membantu tinggi.
3. Kelelahan emosional mulai muncul.
4. Anak-anak sering menunjukkan tanda regresi (kembali ngompol, takut tidur sendiri, mudah menangis).
Solusinya:
* Aktivitas pemulihan komunitas (berkumpul, bercerita, bermain).
* Pendampingan orangtua agar memahami perilaku regresi normal.
* Menyediakan safe space untuk anak dan keluarga.
3. Tahap Disilusi (Disillusionment Phase)
Bulan ke 2–6 pasca bencana
Yang dirasakan:
* Frustrasi, marah, kecewa karena kenyataan tidak sesuai harapan.
* Korban merasa kurang didukung atau dilupakan.
* Anak dan remaja: mudah cemas, sulit tidur, mimpi buruk, menarik diri.
Solusi:
Counseling atau terapi trauma:
* CBT (Cognitive Behavioral Therapy)
* Trauma-Focused (TF)-CBT untuk anak
* Terapi bermain (play therapy)
* Eye Movement Desensitization and Reprocessing (EMDR) pada kasus trauma yang lebih berat
* Pemulihan rutinitas sekolah dan aktivitas harian.
* Pendampingan sosial oleh psikolog.
4. Tahap Rekonstruksi / Recovery Phase
Bulan ke 6 hingga beberapa tahun
Yang terjadi:
* Adaptasi terhadap kondisi baru.
* Namun beberapa korban masih mengalami PTSD, depresi, atau prolonged grief.
Solusinya:
Intervensi jangka panjang:
* Kelompok dukungan (support group)
* Penguatan ketahanan keluarga (family resilience)
* Program rekonstruksi berbasis komunitas
* Monitoring kesehatan mental jangka panjang.










