CIRes LPPSP FISIP UI Gelar Seminar Bersama Eksplorasi Mineral Kritis
Ambisi Indonesia untuk menjadi pemain penting dalam percaturan politik global semakin nyata dengan eksplorasi mineral kritis secara masif. Menanggapi fenomena ini, Center for International Relations Studies (CIReS), Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sosial dan Politik (LPPSP), Universitas Indonesia, serta Indonesian Institute of Advanced International Studies (INADIS) menginisiasi diskusi yang mengeksplorasi perspektif alternatif yang jarang terdengar.
Diskusi ini berlangsung di Auditorium Juwono Sudarsono, Universitas Indonesia, pada Rabu (7/5/2025), dengan menghadirkan akademisi, kelompok masyarakat sipil, dan perwakilan Komnas HAM.
Baca juga: SIMAK UI 2025 Resmi Dibuka, Cek Link Pendaftaran Terbarunya yang Sudah Berubah
Secara umum, para panelis dalam diskusi bertajuk Eksplorasi Mineral Kritis, Pemenuhan Hak-Hak Masyarakat Adat di Sulawesi, dan Kaitannya dengan Kebijakan Luar Negeri Indonesia menyimpulkan bahwa eksplorasi nikel, meskipun memiliki tujuan normatif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menghasilkan berbagai ekses negatif.
Diperlukan upaya mitigasi agar pembangunan bersifat inklusif dan bermanfaat bagi semua pihak, khususnya masyarakat adat serta komunitas sekitar wilayah eksplorasi mineral kritis.Dalam keynote speech, Ketua Komnas HAM, Dr. Atnike Nova Sigiro, menekankan bahwa Indonesia memainkan peran penting dalam transisi energi global melalui cadangan mineral kritis seperti nikel, terutama di Sulawesi.
Baca juga: Rektor UI Gratiskan Uang Kuliah Anak Dosen dan Tendik
Namun, investasi besar dari China dan Uni Eropa, serta kebijakan hilirisasi, menciptakan paradoks: eksplorasi yang bertujuan menciptakan energi hijau justru berisiko merusak lingkungan dan hak masyarakat adat.
Komnas HAM mencatat berbagai pelanggaran, mulai dari perampasan lahan hingga intimidasi. Masyarakat adat berisiko mengalami marginalisasi jika pembangunan mengabaikan struktur sosial dan budaya mereka.
Negara dan korporasi memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak masyarakat adat. Oleh karena itu, transisi energi berkeadilan harus menyeimbangkan ambisi teknologi dengan keadilan ekologis dan sosial.Erasmus Cahyadi, Deputi Sekjen Urusan Politik dan HAM AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara), menyoroti bahwa kebijakan eksplorasi mineral kritis sering kali mengabaikan lingkungan dan hanya berorientasi pada ekonomi. Wilayah advokasi AMAN mencakup hampir semua jenis mineral kritis yang diatur dalam undang-undang.
Di Sulawesi, masyarakat adat menghadapi tantangan serius akibat regulasi yang sektoral, investasi asing tanpa konsultasi, serta keterlibatan aparat dalam proyek tambang. Mereka sering kali mengalami kriminalisasi, kehilangan tanah secara individu, dan diabaikan dalam pengambilan keputusan. Negara justru memfasilitasi ketimpangan ini, sementara dukungan terhadap masyarakat adat masih bersifat seremonial.
Diperlukan UU khusus untuk masyarakat adat dan pulau kecil agar pembangunan tidak menghapus keberadaan mereka, melainkan melindungi hak, lingkungan, dan tatanan sosial mereka.
Memperkuat paparan Erasmus, Richard Fernandez Labiro, Direktur Yayasan Tanah Merdeka, Sulawesi Tengah, dalam paparannya yang berjudul Nikel: Antara Rahmat dan Laknat, menegaskan ketimpangan hukum di sektor tambang. Perlindungan terhadap bisnis seperti PT IMIP di Morowali jauh lebih kuat dibandingkan hak masyarakat.
UU Cipta Kerja, Minerba, dan keterlibatan TNI digunakan untuk menjaga stabilitas industri, bukan melindungi rakyat. Masyarakat mengalami relokasi paksa, digugat balik saat protes, serta menghadapi krisis kesehatan dan pencemaran lingkungan. Perlawanan masyarakat tetap berlangsung melalui demonstrasi, petisi, dan kerja sama lintas gerakan, meskipun negara masih permisif terhadap eksploitasi tambang.
Rini Astuti, peneliti Tambang Nikel dan Dampak Ekologis dari ANU, menyoroti bagaimana empat tren geopolitik mendorong ekspansi eksplorasi mineral kritis di Indonesia, Kompetisi AS-Tiongkok, Nasionalisme sumber daya, Perebutan wilayah dan Kebijakan industri global.
Keadilan sosial sering kali terpinggirkan dalam proses eksploitasi sumber daya ini. Janji pertumbuhan ekonomi yang ditawarkan tidak selalu sejalan dengan pengentasan kemiskinan. Kendati demikian, Rini menekankan pentingnya agensi masyarakat dalam merespons situasi ini. Komunitas lokal tidak merespons eksploitasi secara hitam-putih, tetapi berstrategi melalui extractivism of the poor—yakni pemanfaatan celah dalam sistem ekstraktif untuk bertahan hidup dan memperoleh manfaat.
Makmur Keliat, dosen Hubungan Internasional, secara spesifik membahas kebijakan luar negeri yang bisa diambil Indonesia untuk mengatasi ketimpangan serta kerusakan akibat rezim ekstraktif. Indonesia berpotensi untuk terlibat dalam pembuatan norma ekonomi hijau yang mencerminkan kondisi nasional, dengan tetap memperhatikan perlindungan hak masyarakat adat.
Seminar ini secara kritis menyoroti kontradiksi eksplorasi mineral kritis di Indonesia. Di satu sisi, eksplorasi ini berkontribusi pada transisi energi global dan pertumbuhan ekonomi, tetapi di sisi lain, eksploitasi sumber daya sering kali mengabaikan hak dan kesejahteraan masyarakat adat.
Pelanggaran hak, marginalisasi, dan kerusakan lingkungan terus berlangsung, akibat kebijakan yang lebih mengutamakan investasi dan kepentingan korporasi. Sementara itu, perlawanan masyarakat tetap berlangsung, meskipun dalam situasi relasi kuasa yang timpang. Oleh karena itu, suara masyarakat adat/lokal yang terdampak harus terus digaungkan, demi terwujudnya pembangunan yang tidak sekedar inklusif dan berkelanjutan, namun berdampak dan bermakna.










