Menyematkan Gelar Haji, Boleh atau Tidak? Begini penjelasannya
Bolehkah menyematkan gelar haji setelah melaksanakan ibadah haji? Bagaimana pendapat ulama tentang gelar hajiini, serta adakah dalilnya? Berikut penjelasannya:
Pada dasarnya tidak ada perintah dan larangan untuk menggunakan gelar haji atau hajahbagi yang telah menunaikan ibadah haji. Hal itu hukumnya mubah (boleh) asalkan tidak untuk riya’, takabur, atau kesombongan. Memang, secara umum terjadi dua pendapat soal memberi gelar haji di depan nama seorang yang sudah berhaji.
Pendapat pertama, gelar haji hukumnya dilarang.
Karena ini adalah gelar belum pernah dikenal di zaman Nabishallallahu ‘alaihi wa sallamdan gelar ini dikhawatirkan memicu riya.
Dalam salah satu fatwanya, Lajnah Daimah pernah mengatakan bahwa panggilan Haji bagi yang sudah berhaji sebaiknya ditinggalkan. Karena melaksanakan kewajiban syariat, tidak perlu mendapatkan gelar, namun dia mendapat pahala dari Allah, bagi mereka yang amalnya diterima. Dan wajib bagi setiap muslim untuk mengkondisikan jiwanya agar tidak bergantung dengan semacam ini, agar niatnya ikhlas untuk Allah. Selanjutnya, dalam buku kumpulan Fatwa Lajnah Daimah tersebut menegaskan bahwa Keterangan yang semisal juga pernah disebutkan Imam al-Albani – rahimahullah –- beliau melarangnya karena tidak ada di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pendapat kedua, gelar semacam ini dibolehkan. Antara lain hal ini berdasarkan pendapat imam An Nawawi dalam buku al-Majmu',
Imam An-Nawawi mengatakan : boleh menyebut orang yang pernah berangkat haji dengan gelar Haji, meskipun hajinya sudah bertahun-tahun, atau bahkan setelah dia wafat. Dan hal ini tidak makruh.
Terkadang masyarakat memberi gelar untuk mereka yang telah melakukan perjuangan berharga atau memberi manfaat besar bagi yang lain. Misalnya, orang yang pernah berjihad disebut mujahid. Dulu peserta perang badar disebut dengan al-Badri. Meskipun perang badar sudah berakhir tahunan, gelar itu tetap melekat.
Baca juga:Kakbah dan Tempat-tempat Suci di MakkahPenyematan gelar Haji juga sudah menjadi tradisi di sebagian masyarakat. Alasan bahwa gelar haji itu masuk urf (tradisi di masyarakat) pernah disampaikan as-Subki ketika membahas biografi Hassan bin Said al-Haji.
Beliau mengatakan : Gelar al-Haji ini menggunakan bahasa bukan arab, untuk mereka yang telah berangkat haji. Mereka menyabut orang yang bernah berhaji ke baitullah al-haram dengan Haji. (Tercantum dalam kitab Thabaqat as-Syafiiyah al-Kubro)
Karena di Indonesia, bisa haji termasuk amal istimewa, mereka yang berhasil melaksanakannya mendapat gelar khusus Haji.
Jadi, yang penting adalah bukan gelarnya. Tapi ibadah haji itu rukun Islam yang kelima dan wajib dilakukan oleh setiap muslim yang telah mampu dan memenuhi syarat-syaratnya. Jadi niat kita beribadah haji adalah ikhlas karena Allah Ta'ala.
Adapun ada orang yang sudah beribadah haji dan bila tidak dipanggil dengan gelar haji/hajah tidak perlu tersinggung. Orang yang tersinggung, maka perlu ngaji, belajar hukum-hukum Islam, agar tidak terkena sifat-sifat fasik, yang bisa menghilangkan amal.
Yang benar adalah semua amal ibadah harus ikhlas karena Allah dan mencari rida Allah semata-mata. Wallahu'alam.
Baca juga:4 Film Barat tentang Naik Haji, Cocok Ditonton saat Libur Iduladha








