3 Film Horor Indonesia yang Rugi Besar, Nomor Terakhir Raih Rating 1,3

3 Film Horor Indonesia yang Rugi Besar, Nomor Terakhir Raih Rating 1,3

Gaya Hidup | sindonews | Senin, 19 Mei 2025 - 09:00
share

Film horor Indonesia yang rugi besar menjadi cermin bahwa popularitas genre atau nama besar tidak selalu menjamin keberhasilan di box office. Pasalnya, penonton Indonesia kini semakin cerdas dan selektif dalam memilih tontonan, khususnya di genre horor yang makin padat.

Horor sendiri telah menjadi salah satu genre andalan di industri perfilman Indonesia. Antusiasme penonton terhadap cerita-cerita mencekam dan penuh ketegangan membuat genre ini rutin hadir di bioskop Tanah Air. Namun, meskipun memiliki basis penonton yang kuat, tak semua film horor sukses di pasaran.

Faktor-faktor seperti cerita yang kuat, kualitas produksi, serta pendekatan penyutradaraan yang relevan dengan ekspektasi pasar kini menjadi penentu utama kesuksesan film. Berikut sederet film horor Indonesia yang rugi besar dirangkum dari berbagai sumber, Senin (19/5/2025).

3 Film Horor Indonesia yang Rugi Besar

1. Sehidup Semati (2024)

Foto/IMDb

Meski digarap oleh rumah produksi besar Starvision Plus dan disutradarai oleh Upi Avianto, salah satu sineas perempuan paling berpengaruh di Indonesia, Sehidup Semati justru terperosok di box office.

Dengan deretan pemeran berkualitas seperti Laura Basuki, Ario Bayu, dan Asmara Abigail, film ini semestinya punya potensi besar. Secara kualitas, Sehidup Semati tidak mengecewakan, terbukti dari skor IMDb 6.3/10 dan rating Letterboxd 3.1/5, nilai yang cukup tinggi untuk standar film horor lokal.

Film ini mengusung tema horor-psikologis dengan sentuhan kritik sosial, membahas isu sensitif seperti kekerasan dalam hubungan dan penggambaran perempuan dalam masyarakat. Sayangnya, pendekatan artistik yang cukup serius ini tampaknya kurang cocok dengan selera mayoritas penonton film horor Indonesia yang lebih menyukai jumpscare atau elemen mistis tradisional.

Selama penayangan, film ini hanya berhasil menjual sekitar 127 ribu tiket, jauh dari angka impas, terutama mengingat biaya produksi yang tinggi untuk menggaet jajaran aktor ternama. Kegagalan Sehidup Semati menjadi refleksi bahwa kualitas artistik belum tentu berbanding lurus dengan performa komersial, khususnya di genre horor.

2. Roy Kiyoshi: The Untold Story (2019)

Foto/IMDb

Film yang satu ini memanfaatkan popularitas Roy Kiyoshi, paranormal dan figur TV yang tengah naik daun pada saat itu. Dengan menggandeng sejumlah artis seperti Angel Karamoy, Olga Lydia, dan Clarice Cutie, film ini mencoba menjual elemen misteri seputar kemampuan Roy.

Namun hasilnya jauh dari harapan. Dengan rating IMDb hanya 2.1/10, film ini menuai kritik pedas dari penonton dan kritikus. Ceritanya dinilai lemah, penggarapan visualnya dianggap seadanya, dan akting para pemain dirasa kurang meyakinkan.

Tak hanya gagal secara artistik, film ini juga merugi secara finansial, terutama karena biaya promosi yang cukup besar dan ekspektasi penonton yang tinggi. Publik ternyata tidak puas hanya dengan kehadiran tokoh populer tanpa dukungan cerita yang kuat dan eksekusi yang matang.

Kisah Roy Kiyoshi menjadi bukti bahwa mengandalkan nama besar saja tak cukup. Dalam genre horor yang kompetitif, penonton menuntut lebih dari sekadar bintang, mereka menginginkan pengalaman sinematik yang menggugah rasa takut secara autentik.

3. Rumah Kuntilanak (2022)

Foto/IMDb

Berbekal judul yang sangat “menjual” dalam pasar film horor Indonesia, Rumah Kuntilanak seharusnya memiliki daya tarik besar. Apalagi didukung oleh jajaran aktor seperti Amanda Lucson, Rico Verald, dan Raisya Lailly. Sayangnya, semua ekspektasi tersebut runtuh setelah film tayang.

Dengan rating IMDb 1.3/10, film ini disebut sebagai salah satu film horor Indonesia dengan rating terendah. Kritikus dan penonton menyoroti banyak aspek, cerita yang berantakan, visual efek yang buruk, suara yang tidak sinkron, hingga akting yang tidak meyakinkan.

Minimnya kualitas produksi membuat film ini gagal menarik jumlah penonton yang signifikan, sehingga pendapatan yang diperoleh tidak mampu menutup biaya produksi. Rumah Kuntilanak menjadi contoh nyata bahwa bahkan judul ikonik tidak mampu menyelamatkan film bila kualitas keseluruhan tidak diperhatikan dengan serius.

Topik Menarik