Nyangkut di Tanah Ekspansi, Jepang Dilucuti dari 2 Sisi
MALANG, NETRALNEWS.COM - Setelah proyek Manhattan menjatuhkan Little Boy (bom nuklir Hiroshima) pada 6 Agustus 1945 dan Fat Man -nya (bom nuklir Nagasaki) pada 9 Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu.
Berita kekalahan Jepang menjadi sesuatu yang rahasia di Indonesia. Namun situasi Jepang didengar oleh beberapa pemuda dari siaran radio gelap. Rencana kemerdekaan pada 24 Agustus 1945 menjadi terlaksana seminggu lebih awal.
Meskipun Jepang tidak lagi memiliki otoritas atas Indonesia, Jepang masih mengantongi modal persenjataan. Jepang ditekan dari 2 sisi, sekutu yang memerintah untuk menyerahkan senjata dan rakyat Indonesia yang ingin merampasnya.
Memiliki senjata, membuat Jepang pantang menyerah. Oleh karena itu pada 29 Agustus 1945, Soekarno menyatakan bahwa sebagai pemegang status quo, otoritas Indonesia telah berada di tangan Indonesia. Sedangkan tugas militer Jepang di Indonesia adalah mempertahankan keamanan dan ketertiban.
Memiliki pasukan militer menjadi hal yang krusial dalam berdirinya suatu negara. Pada kondisi ini, Indonesia memperhitungkan untuk membentuk pasukan militer. Namun di Indonesia masih ada Jepang yang masih memegang senjata.
Jepang sendiri tidak menyetujui pembentukan militer Indonesia. Mengingat orang Indonesia yang telah dilatih dalam berbagai organisasi semi militer bentukannya, akan menjadi bumerang bagi Jepang. Pasukan PETA sendiri berjumlah 35 ribu orang. Oleh karena itu Jepang segera membubarkan PETA dan Heiho dan melucuti persenjataan mereka.
Alasan selanjutnya yaitu karena sekutu meminta Jepang menyerahkan diri bersama senjatanya. Apabila senjata jatuh ke tangan Indonesia, maka kepulangan tentara Jepang akan mengalami keterlambatan. Jepang juga akan menjadi korban jika sekutu dan Indonesia bertikai.
Setelah Badan Keamanan Rakyat (BKR) terbentuk pada 22 Agustus 1945, dimana mayoritas anggotanya adalah mantan prajurit semi militer bentukan Jepang, BKR merampas senjata tentara Jepang yang mereka temui. Di Bandung pasukan Jepang ditaklukan dan dilucuti senjatanya.
Aksi BKR membuahkan hasil, yaitu pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 5 Oktober 1945, sebagai pasukan perang Indonesia. Organisasi perjuangan turut bermunculan seiring pembentukan TKR. Namun sayangnya, organisasi perjuangan juga turut mengancam eksistensi Republik, karena pergerakannya tidak bisa diatur oleh komandemen.
15 Agustus-11 Oktober 1945, militer Jepang berada dalam posisi dilematis. Mereka harus menyerahkan persenjataannya kepada sekutu yang akan memperlakukan mereka sebagai tawanan perang sesuai Konvensi Jenewa II 1929. Namun di sisi lain persenjataan itu berusaha dirampas oleh orang Indonesia.
Status Jepang sendiri adalah tawanan perang, dan apabila Indonesia menyerang tentara Jepang, maka Indonesia akan berada dalam posisi sebagai negara yang menyerang pasukan tak berdaya dan dalam pengawasan sekutu. Sehingga TKR menahan diri untuk tidak berkonfrontasi dengan Jepang.
Namun di Jawa Timur, TKR dan organisasi militer masyarakat melucuti pasukan Jepang pada 16 September-3 Oktober 1945. Kondisi ini menguntungkan rakyat Jawa Timur tatkala sekutu mulai memperlihatkan maksud kedatangan mereka sebenarnya. Senjata ini menjadi modal rakyat Jawa Timur saat meletusnya pertempuran 10 November 1945.
Presiden Indonesia dan wakilnya turun tangan untuk menenangkan rakyat Jawa Timur. Meskipun keamanan berangsur membaik, rakyat Jawa Timur tetap bersiaga atas kembalinya Belanda.
Dan benar, Belanda berusaha menanamkan kekuasaannya kembali di Indonesia. Konfrontasi dikerahkan dengan diplomasi dan perang semesta hingga pada 29 September 1949 ketika Konferensi Meja Bundar di Den Haag dilaksanakan.
Referensi
Dahlan, M. 2017. Konfrontasi Republik Indonesia dengan Militer Jepang Menjelang Masuknya Sekutu 1945-1946. Patanjala : Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya.
Tibbets, P& LeMay, C. 2014. Bombing of Hiroshima and Nagasaki-1945. ( https://ahf.nuclearmuseum.org/ahf/history/bombings-hiroshima-and-nagasaki-1945/ ).










