Melihat Keunikan Bahasa dan Kosa Kata Majalengka, Panggil Orangtua Mamang dan Bibi
MAJALENGKA, celebrities.id - Jawa Barat diidentikkan sebagai daerah yang warganya menggunakan Bahasa Sunda sebagai bahasa ibu dalam aktivitas sehari-hari.
Namun ternyata ada beberapa kabupaten dan kota yang kesehariannya tidak menggunakan Bahasa Sunda seperti yang biasa dilakukan warga di Bandung.
Kabupaten/Kota Cirebon dan Kabupaten Indramayu adalah tiga contoh daerah di Jawa Barat yang menggunakan Bahasa Jawa untuk berinteraksi dengan sesama.
Namun, Bahasa Jawa di tiga daerah itu, tidak sama dengan yang biasa digunakan oleh warga masyarakat di Yogyakarta, atau daerah-daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Daerah yang mungkin memiliki kesamaan dengan Bahasa Jawa Cirebon dan Indramayu adalah daerah Brebes, Tegal, dan Banyumas.
Selain daerah-daerah yang menggunakan Bahasa Jawa, ada juga kabupaten yang warganya menggunakan dua bahasa ibu. Kabupaten Majalengka adalah salah satu daerah di Jawa Barat yang menggunakan Bahasa Jawa dan Sunda dalam aktivitas sehari-hari.
Biasanya, warga yang menggunakan Bahasa Jawa di daerah ini, mereka yang berada di perbatasan dengan Cirebon dan atau Indramayu.
Setidaknya ada empat kecamatan yang beberapa desanya menggunakan bahasa Jawa yakni Kecamatan Jatitujuh, Ligung, Sumberjaya, dan Kecamatan Kertajati.
Adanya dua bahasa dalam aktivitas sehari-hari di Majalengka ini, menghadirkan keunikan tersendiri.
Sekitar 20 sampai 30 tahun yang lalu, sebagian warga di Kecamatan Ligung bahkan tidak paham Bahasa Sunda, apalagi untuk mengucapkannya. Alhasil, kerap muncul candaan bahwa Ligung sudah masuk ke Kabupaten Indramayu.
Di luar penggunaan dua bahasa, ada hal unik lainnya yang hidup di Majalengka bagian utara itu. Di Kecamatan Ligung, ada sebagian keluarga yang memanggil orangtuanya tidak dengan sebutan Ayah-ibu.
"Ada yang manggil orangtuanya itu dengan sebutan Mamang dan Bibi. Padahal itu kan biasa dialamatkan kepada paman dan bibi," kata Abes, salah satu warga Desa Bantarwaru, Kecamatan Ligung.
Tidak hanya Mamang-Bibi, di desa itu, sebagian keluarga juga memanggil ibu dengan sebutan Teteh. Padahal, dalam Bahasa Sunda, Teteh adalah sebutan untuk kakak perempuan.
"Ada juga yang panggil ibu itu Teteh. Ibu saya juga dulu manggil ke nenek teh, Teteh. Dan saya, cucunya ikut manggil Teteh. Kecuali saudara yang tinggal di daerah (yang menggunakan bahasa) Sunda, mereka manggilnya Mak Teteh. Nggak tau gimana ceritanya, bisa manggil Teteh ke nenek," kata Abes.
Panggilan unik juga dialamatkan kepada kakak perempuan. Pada masyarakat Sunda yang biasa menggunakan bahasa Sunda, sebutan Kakang dialamatkan kepada kakak laki-laki.
Namun tidak demikian dengan kebiasaan sebagian masyarakat di Kecamatan Ligung.
"Di sini, sebutan Kakang itu digunakan baik kepada kakak perempuan maupun laki-laki. Ada juga yang menggunakan Akang, atau Ang, tapi itu dialamatkan kepada laki-laki dan perempuan. Kalau di Cirebon biasanya ada tambahan untuk memanggil kakak perempuan, jadi Ang Nok," ucap dia.
Hal serupa juga terjadi di kalangan warga Desa Jatitengah, Kecamatan Jatitujuh.
Kendati dalam keseharian warga di desa itu menggunakan bahasa Sunda, tetapi ada yang berbeda dengan masyarakat daerah Sunda lainnya.
"Saya panggil ibu dengan sebutan bibi juga. Tapi kalau ke ayah mah, tetap ayah, bukan Mamang. Suka lucu juga sih, ke ibu kok manggilnya bibi," kata salah satu warga Jatitengah Enok.
Dalam hal bahasa Sunda, kendati kosa kata nya sama, tetapi ada salah beberapa \'kata\' yang memiliki perbedaan makna antara Majalengka dengan daerah lainnya, seperti Bandung. Kata \'dewek\' adalah salah satu yang memiliki maksud berbeda antara dua daerah itu.
Di Bandung, \'dewek\' ditunjukkan untuk diri sendiri, saya. Adapun di Majalengka, dewek untuk menunjukkan \'kamu, anda.\' Di luar perbedaan istilah, logat yang digunakan pun cukup berbeda. Bahkan, antara satu desa dengan desa lainnya di Majalengka, akan ada perbedaan logat.
Budayawan Majalengka Rahmat Iskandar (Rais) menjelaskan, fenomena tersebut tidak terlepas dari masa lalu. Beberapa daerah yang sekarang masuk Kabupaten Majalengka, pernah dilalui oleh pasukan Mataram yang akan melakukan perlawanan kepada penjajah di Batavia.
"Ada pengaruh Mataram, Sultan Agung, saat akan menyerang Batavia. Mereka melewati daerah Majalengka," kata Rais.
Bahkan pasukan Mataram tersebut, disinyalir tidak hanya lewat, akan tetapi ada sebagian yang tinggal di daerah-daerah yang dilintasinya itu.
"Hingga akhirnya sebagian dari mereka tinggal. Saat itu, daerah-daerah yang dilalui, memungkinkan sudah ada kehidupan, tapi kemudian berbaur dengan kultur dari pasukan Mataram itu," kata Rais.
Beberapa keunikan tersebut, hanya sebagian kecil saja. Keunikan lainnya masih banyak ditemukan di daerah ini. Bahkan dalam hal nama anak, ada tren yang berbeda antara daerah berbahasa sunda dengan daerah yang menggunakan bahasa jawa.
Nama Asep, di masa lalu, di daerah yang warganya menggunakan Bahasa Jawa di Kabupaten Majalengka, tidak sebanyak di daerah yang menggunakan Bahasa Sunda.




