Konon Bhinneka Tunggal Ika Lahir dari Permasalahan Keagamaan di Era Kerajaan Majapahit
JAKARTA Mpu Tantular menuliskan konsep Bhinneka Tunggal Ika ini pada suatu kakawin yang berjudul Purudasanta, atau yang lebih dikenal dengan nama Sutasoma. Mpu Tantular dikebal sebagai pujangga yang terkenal dengan karya-karya sastranya.
Kalimat ini muncul pertama kali dari konsep keagamaan baru di era Kerajaan Majapahit. Konon, kala itu, permasalahan keagamaan tengah dihadapi Kerajaan Majapahit.
Melalui buku buanga rampai 700 Tahun Majapahit Suatu Bunga Rampai, terungkap hubungan antara agama Hindu Siwa dan agama Buddha Mahayana yang hidup berdampingan.
Namun saat pemerintahan Majapahit terlihat jika kedua agama itu terpisah satu dari yang lain.
Masing-masing agama mempunyai candi-candi yang berbeda dan terpisah. Bahkan keduanya mempunyai arca-arca pemujaan yang dapat dibedakan dengan jelas satu sama lain.
Salah satunya adalah Prasasti Kelurak yang ditulis pada 782 Masehi. Ini menjadi bukti satu-satunya yang memberikan ungkapan penyamaan antara suatu konsep kebenaran agama Buddha dengan konsep kebenaran agama Siwa.
Dari sanalah akhirnya rumusan lebih tegas terkait hubungan antara kedua agama ini dicetuskan pada Kakawin Sutasoma. Kakawin ini ditulis semasa pemerintahan Sri Rajasanagara atau yang dikenal dengan Hayam Wuruk dengan bahasa Jawa kuno.
Pada Pupuh CXLVII bait satu jelas-jelas mengatakan bahwa karyanya itu adalah sebuah boddhacarita atau cerita yang bersifat buddha. Sementara bait yang mengandung ungkapan Bhinneka Tunggal Ika terdapat pada Pupuh CXXXIX dengan bahasa Jawa kuno berbunyi "rwaneka dhatu winuwus wara Buddha Wiswa bbhineki rakwa ring apan ke parwwanose\'n mangkaang jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal bbinneka tunggal ika tan bana dharmma mangrwa".
Bila diartikan ke dalam bahasa Indonesia Pupuh CXXXIX poin lima itu berbunyi "dikatakan bahwa mereka yang terpilih, Buddha dan Wiswa (Siwa) merupakan dua elemen dasar, tidak tunggal terpisah itu konon karena dapat segera dibagi dua, (padahal) dalam pada itu ke-jina-an (kebuddhaan) dan kebenaran Siwa itu tunggal itu terpisah (tetapi juga) tunggal, tak ada kebenaran yang mendua.
Pada bait itu terungkap dewa Siwa disamakan dengan Buddha. Lebih tegas bahkan diingatkan bahwa ada kebenaran Siwa - Buddha yang halus dan penuh kasih. Pertemuan dan penyatuan Siwa dan Buddha ini pun telah dimulai dengan tegas sejak zaman Singasari yakni saat raja terakhir Kertanagara setelah meninggal dibuatkan arca peringatan dalam wujud sebagai Siwa maupun Buddha.
Perumusan - perumusan yang dihasilkan di zaman Majapahit baik dalam bentuk sastra maupun arsitektur, pada dasarnya merupakan daya kreatif untuk mengatasi keanekaan agama. Masalah keanekaragaman tersebut perlu dikelola dalam rangka upaya bina negara di zaman Kerajaan Majapahit.




