Hari-Hari Terakhir Sukarno, Tersisih dan Kesepian

Hari-Hari Terakhir Sukarno, Tersisih dan Kesepian

Gaya Hidup | BuddyKu | Rabu, 7 Juni 2023 - 05:23
share

JAKARTA - Tepat 21 Juni 1970, Sukarno menghembuskan nafas terakhirnya di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta, setelah sakit berkepanjangan menjangkiti tubuhnya

Presiden pertama Indonesia itu tidak hanya menjadi kebanggaan bangsa, ketegasan dan kecerdasannya Sukarno juga dikagumi dunia internasional.

Pada akhir hayatnya, Sukarno mengalami pemenjaraan fisik dan psikis yang membuat kondisi kesehatannya menurun dengan cepat. Negeri yang dulu dibantu kelahirannya, menjadi negeri yang memenjarakannya.

Selang beberapa minggu usai sidang MPRS 1967, Sukarno tetap tinggal di istana. Namun, sebenarnya Bung Karno menjadi tahanan kota.

Pemimpin besar revolusi yang dulunya dipuja, seiring perubahan konstelasi sosial politik secara perlahan mulai dipinggirkan dari pusat kekuasaan. Pada Mei 1967, Sukarno tak lagi diizinkan memakai gelar presiden, panglima tertinggi angkatan bersenjata dan mandataris MPRS.

Menurut Sidarto Danusubroto, Mantan Ajudan Sukarno, 16 Agustus 1967, Sukarno diminta angkat kaki meninggalkan istana presiden. Dengan tenang, Bung Karno hanya membawa bendera pusaka dan pakaian yang ada. Tidak membawa apa-apa lagi.

Tak lagi jadi presiden, penanganan masalah kesehatan Sukarno jauh dari memadai. Tim dokter kepresidenan yang telah lama merawat dan paham kondisi kesehatannya juga dibubarkan. Menjadi tahanan kota turut membuat kesehatan Sukarno menurun.

Kondisi kesehatan yang kian memburuk membuat Sukarno menulis surat yang berisi permintaan agar diizinkan kembali ke Jakarta. Surat tersebut dibawa putri kedua Sukarno, Rachmawati, untuk diberikan kepada Presiden Soeharto.

Presiden Soeharto pun mengabulkan permintaan Sukarno agar bisa kembali tinggal di Jakarta. Bung Karno diizinkan tinggal di Wisma Yaso, rumah yang dulu pernah ditempati Ratna Sari Dewi, istri kelima Sukarno. Namun, hidup Sukarno di Wisma Yaso menambah siksaan baginya. Gerak-geriknya justru semakin dibatasi. Segala fasilitas kepresidenan yang selama ini melekat tak lagi bisa dinikmati.

Penahanan sebenarnya bukanlah sesuatu yang mengejutkan bagi Sukarno. Di masa Hindia Belanda, ia kerap kali ditahan. Namun, ini berbeda dengan masa-masa terakhirnya. Tubuhnya sudah ringkih dan juga mengalami komplikasi penyakit.

Di Wisma Yaso Bung Karno tidak mendapatkan perawatan yang semestinya bahwa misalnya, ada resep yang dibuatkan oleh dokter itu tidak dipenuhi. Dan kita tau bahwa Bung Karno itu sendiri menderita sakit ginjal dan itu tidak diobati gitu. Sehingga ya Bung Karno ya seperti dibunuh secara perlahan-lahan di sana gitu, ucap sejarawan Asvi Warman Adam lirih.

Hari-hari Sukarno di Wisma Yaso hanya ditemani kesepian, sekedar teman untuk bicara pun sangat mahal untuk didapatinya. Anak-anak Sukarno hanya diizinkan menengok dengan waktu terbatas, pembicaraan dan tingkah laku mereka juga selalu diawasi oleh para penjaga yang diutus oleh penguasa.

Kesepian inilah yang mengikis habis seluruh semangat hidup Putra Sang Fajar. Tubuhnya pun kian renta karena digerogoti oleh berbagai penyakit yang mendera. 16 Juni 1970, kondisi kesehatan Sukarno semakin parah. Meski sempat menolak, akhirnya Bung Karno dilarikan ke RSPAD Gatot Soebroto oleh tim dokter.

Setelah 4 hari dirawat di RSPAD, Bung Hatta datang menjenguk sahabat seperjuangannya. Seketika Bung Karno seperti diberi kekuatan untuk menyaksikan kedatangan sahabatnya.

Menurut Asvi Warman Adam, ketika Bung Hatta datang dan bertemu dengan Bung Karno, Bung Karno ketika itu memegang tangan Hatta dan mereka tidak banya berbicara ya, tetapi ketika itu Bung Karno menangis begitu. Terlepas pernah berpisah secara politik yang satu pernah mengkritik yang lain tetapi persahabatan mereka itu tetap abadi sampai akhir hayatnya.

Mendapat perawatan medis di RSPAD tidak menambah baik kondisi Sukarno saat itu. Obat-obatan yang diberikan dokter enggan diminumnya. Sukarno juga kerap menolak ketika akan disuntik oleh dokter. Setelah menderita sakit berkepanjangan, 21 Juni 1970 Sukarno, Putra Sang Fajar menghembuskan nafas terakhirnya.

Hingga akhir hayatnya, Sukarno masih tetap di bawah kendali penguasa. Pasalnya keputusan keluarga untuk memakamkan jenazah sang Proklamator di Batutulis, Bogor tidak dikabulkan. Presiden Soeharto memutuskan tempat peristirahatan terakhir Sukarno di Blitar karena di sanalah ayah dan ibunya dikuburkan.

Diiringi isak tangis keluarga dan jutaan rakyat, pemakaman Sukarno sang pemimpin besar revolusi berlangsung dengan sederhana namun tetap khidmat. Panglima TNI Jenderal M. Panggabean bertindak sebagai inspektur upacara mewakili Presiden Soeharto yang tidak ikut ke Blitar.

Bapak Proklamasi, sang penyambung lidah rakyat Indonesia yang dikenal sebagai sosok berkarisma, berwibawa dan tegas saat menjadi pemimpin pergi untuk selamanya dengan menyandang status tahanan politik.

Topik Menarik