Romo Magnis dan Pancasila
JAKARTA - Pada 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPKI, Soekarno menyampaikan pidatonya yang untuk pertama kali mengemukakan konsep awal Pancasila yang menjadi dasar negara Republik Indonesia. Momentum inilah yang kemudian hingga sekarang kita bersama memperingati 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila.
Pancasila ditetapkan sebagai dasar negara Republik Indonesia. Pancasila dipandang sebagai rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila dapat dikatakan berfungsisebagai pandangan hidup atau way of life yang mengajak setiap warga negara untuk antara lain tidak memaksakan kehendak dan menyadari betapa pentingnya bermusyawarah untuk mufakat.
Franz Magnis Suseno atau dikenal sebagai Romo Magnis dalam kesempatan merayakan hari ulang tahunnya ke-87 yang diselenggarakan di Mall of Indonesia oleh Jaya Suprana bercerita tentang Indonesia. Bercerita tentang Indonesia dalam kaitannya dengan Pancasila sebagai dasar negara.
Nama lengkapnya RP Prof Dr Franz Magnis-Suseno SJ (lebih dikenal sebagai Romo Magnis). Ia lahir di Numberg, Bavaria Jerman, pada 26 Mei 1936. Romo Magnis adalah seorang imam Katolik, pengajar filsafat, penulis, dan juga budayawan.
Mulai bekerja di Indonesia sejak 1961 sebagai seorang misionaris. Pada 1977, ia menjadi warga negara Indonesia dan mendalami serta mempelajari filsafat, teologi, dan teori politik di Pullach, Yogyakarta dan Mnchen.
Sejak 1969 Romo Magnis menjadi dosen tetap dan guru besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di Jakarta.
Salah satu yang sangat dikagumi oleh Romo Magnis adalah kebiasaan masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa, dalam hal mengambil keputusan bersama. Diceritakan olehnya betapa masyarakat di pedesaan mampu dengan mudah bersepakat dalam mengambil keputusan bersama terhadap banyak masalah yang dihadapinya. Masyarakat pedesaan dengan mudah bermusyawarah untuk bersepakat dalam mengambil keputusan bersama.
Ia mencontohkan kebiasaan orang Jerman yang selalu bertengkar keras dan sangat sulit untuk bersepakat. Walau akhirnya terpaksa dilakukan voting dari mereka yang berbeda pendapat untuk bersepakat, tetap saja pandangan yang berbeda tetap melekat pada masing-masing pihak.
Hal yang tidak ia alami dalam masyarakat Indonesia yang tidak hanya mudah bersepakat, akan tetapi juga mudah dengan ikhlas mengikuti kesepakatan yang telah dicapai bersama.
Masalah di Indonesia yang disoroti dengan serius sebagai hal yang mengkhawatirkan oleh Romo Magnis adalah mengenai kesenjangan sosial. Ia bahkan mengatakan bahwa kesenjangan sosial di Indonesia jauh lebih mengancam perpecahan dibanding dengan masalah perbedaan agama dan juga masalah fanatisme di kalangan agama Islam. Walaupun diakui bahwa masyarakat Indonesia memiliki toleransi yang sangat luar biasa.
Diceritakan tentang pengalamannya sendiri yang kerap berjalan kaki melintas daerah pedesaan melihat aktivitas masyarakat setempat. Dia melihat dan mengamati betapa buruh bangunan yang sedang membangun rumah besar milik orang kaya sedang beristirahat menjelang maghrib.
Mereka terlihat dengan wajah ceria minum teh atau menikmati sekadar makanan kecil sambil bergurau satu dengan lainnya. Tidak tercermin sama sekali rasa iri hati terhadap pemilik rumah yang kaya raya yang sedang mereka kerjakan bersama.
Adegan tersebut ditangkap Romo Magnis sebagai momen yang merefleksikan kesenjangan sosial. Romo mengamati tentang kehidupan para kuli bangunan itu yang tinggal di rumah yang tidak layak huni, rumah yang sebenarnya lebih terlihat sebagai kandang kambing. Itupun kerap kali mereka diusir dan rumahnya dibongkar paksa, terlihat sangat tidak manusiawi.
Dalam pengamatannya itulah maka Romo Magnis berkesimpulan bahwa kesenjangan sosial yang terjadi di Indonesia semakin hari semakin jauh jaraknya antara si Kaya dan si Miskin. Inilah yang disoroti oleh Romo Magnis sebagai hal yang sangat serius yang dapat mengantar pada potensi terjadinya perpecahan bangsa.
Peristiwa 1965 dan 1998 sebenarnya menunjukkan tentang betapa Indonesia jauh lebih mampu mempertahankan persatuan dibanding dengan negara-negara di Eropa Timur yang terpecah belah pascaperang dingin.
Pada titik inilah Romo Magnis mengutarakan kekhawatirannya terhadap keutuhan Indonesia sebagai sebuah bangsa. Kekhawatiran mengenai kesenjangan sosial yang terlihat meningkat dari waktu ke waktu.
Kekhawatiran Romo Magnis terhadap kesenjangan sosial sebagai ancaman perpecahan bangsa dihubungkan oleh beliau terhadap sila kelima Pancasila yang menyebut tentang keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Di sisi lain, Romo Magnis juga menekankan betapa ia merasakan tentang solidaritas antaragama di Indonesia yang sangat tinggi. Tidak dapat dielakkan realita sering terjadinya beberapa tindak kekerasan dalam kehidupan antaragama di Indonesia, akan tetapi relatif secara keseluruhan Indonesia jauh sangat toleran.
Dirinya merasakan sendiri secara pribadi bagaimana hubungannya dengan orang Islam di Indonesia, hubungannya yang erat dan nyaman dengan NU dan Muhammadiyah dalam keseharian kegiatannya di Indonesia. Itu merupakan salah satu sebab bagi dirinya untuk memutuskan menjadi warga negara Indonesia.
Romo Magnis mengutarakan semua itu dalam acara Dirgahayu 87 Tahun Franz Magnis Suseno yang diselenggarakan oleh Jaya Suprana di Markas Besar MURI, Mall of Indonesia, Jakarta.
Tampak hadir beberapa undangan, antara lain Teguh Santosa RMOL, Karlina Supeli, Nasir Tamara, Grace Natalie, Johannes Suryo Prabowo, Kak Seto, Eros Djarot, Maskas, Harry Darmawan, dan banyak lainnya.
Acara sederhana yang diselenggarakan pada 31 Mei 2023 itu diawali dengan talk show Jaya Suprana dan Romo Magnis, pemotongan kue ulang tahun, foto bersama, serta diakhiri dengan santap malam bersama.