Usai Marak Pejabat Negara Pamer Harta di Medsos, ASN Tak Boleh Kaya?
JAKARTA - Pejabat pamer harta kekayaan di media sosial (medsos) tengah menjadi sasaran empuk netizen. Di mana para Aparatur Sipil Negara ( ASN ) yang pamer harta atau flexing kini langsung disorot.
Dilansir VOA di Jakarta, Rabu (22/3/2023), ASN disebut dibebani komitmen moral untuk melihat kondisi masyarakat.

Padahal menjadi kaya adalah hak bagi setiap orang, tidak terkecuali ASN.
Guru besar Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik (DMKP), Fisipol, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Wahyudi Kumorotomo mengatakan ada prasyarat bagi ASN terkait harta kekayaan yang dimilikinya.
ASN itu boleh kaya. Artinya, makmur itu boleh, dan menurut kita secara akademis, sebenarnya kalau tuntutan kebutuhan hidup pegawai masih belum mencukupi, mestinya memang harus dipenuhi, ujarnya.
Dia menyebut dari hitungan pendapatan sebagai abdi negara, sebenarnya sulit bagi ASN untuk bergelimang harta.
Hal itu karena jika ada ASN kaya, negara harus memastikan bahwa harta itu diperolehnya secara wajar.
Kalau melalui hal-hal yang tidak wajar, itu artinya adalah penyimpangan, penyalahgunaan kewenangan atau korupsi. Jadi, sebenarnya kita tidak mencegah seorang pegawai negeri itu makmur atau kaya. Tetapi sekali lagi, yang kita perhatikan adalah caranya, jelasnya.
Saat ini polemik soal ASN kaya menggeliat bukan karena upaya pencegahan atau pengungkapan kasus dari aparat hukum, tetapi dipicu kasus kriminal. Pelaku kriminal itu diketahui anak pejabat eselon 3 di Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan.
Akun medsosnya menguak tindakan flexing atau pamer kekayaan, merembet ke kekayaan orangtuanya sebagai ASN.
Dari satu kasus, merembet berbagai kasus baik di Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Bea dan Cukai, KPK, kepolisian, Badan Pertanahan dan berbagai kementerian serta lembaga lain, termasuk pejabat pemerintah daerah dan keluarganya.
Terakhir, pejabat di Sekretariat Negara dinonaktifkan pada 19 Maret 2023, setelah istrinya diketahui gemar pamer barang mewah di akun medsos.
Setelah itu, warganet seolah-olah berlomba mengulik kekayaan ASN yang terlihat dari akun media sosial mereka.
Namun, usai upaya penindakan dilakukan, tercatat penjualan motor besar dan tas mewah meningkat tajam di berbagai laman jual-beli daring yang dinilai sebagai respon para ASN itu menjual koleksi mahal.
Lalu, dia meminta agar ASN hidup sewajarnya saja, Apalagi ASN dipastikan bisa hidup secara layak, memiliki rumah nyaman dan kendaraan wajar.
Wahyudi menyebut sejumlah merk kendaraan mahal, yang jika dimiliki seorang ASN maka ada kemungkinan itu adalah hasil kejahatan melalui jabatannya, baik berupa penyalahgunaan kewenangan ataupun korupsi.
Kalau kita bicara tentang pegawai negeri, kalau pendapatan itu dari hal-hal yang wajar, dari gaji, dari bonus, dari gaji ke-13, itu sebenarnya mereka tidak mungkin bisa flexing yang berlebihan. Pamer rumah mewah, mobil mewah, ucapnya.
Ketika ditanya, mengapa ada sejumlah ASN memiliki aset puluhan miliar dan pendapatan besar, masih bertahan sebagai pegawai dengan gaji kecil, Wahyudi menyebut ada kemungkinan dia memanfaatkan posisinya sebagai jalan untuk menambah kekayaan.
Sebagian besar bermotivasi menjadi pejabat, karena ada keleluasaan untuk punya kekuasaan. Dan dari situ dia memanfaatkannya. Motivasinya, tentu saja adalah korupsi, menambah lagi penghasilannya, bukan semata-mata untuk mengabdi kepada rakyat, bebernya.
Adapun untuk mekanisme pemantauan melalui Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), tetapi tidak maksimal. Begitu pula potensi konflik kepentingan terkait ASN yang diatur dalam sejumlah undang-undang.
Artinya, aturan sebenarnya sudah cukup untuk mencegah ASN mendapatkan pendapatan tidak wajar dari kewenangan atau kekuasaannya. Namun, mungkin belum efektif.
Menurutnya, ada sejumlah kemungkinan seorang ASN memiliki harta lebih banyak dan dinilai wajar, misalnya karena usaha atau bisnis anggota keluarga lain dan memperoleh warisan.
Apa Penyebab Mereka Santai Pamer Harta?
Menurut Dosen Fakultas Psikologi, Universitas Padjajaran, Bandung, Zainal Abidin, ada dorongan setiap orang, termasuk ASN untuk self esteem.
Secara psikologi, ada dorongan untuk self esteem. Untuk dihargai, untuk mendapatkan penghargaan dari orang lain, kata Zainal.
Variabel lainnya, lanjut dia adalah upaya untuk menunjukkan identitas.
Dia ingin mengatakan, siapa saya. Artinya, menunjukkan barang mewah, yang limited edition itu menunjukkan identitas diri, misalnya sebagai orang yang sukses, tambahnya.
Serta ada juga faktor ketiga, yaitu soal identitas sosial.
Siapa yang ada di belakangnya. Sosialitanya itu siapa saja. Dia berteman dengan siapa. Kita bisa lihat juga, bahwa sejumlah pejabat tidak hanya memamerkan barang ketika dia sendiri, tetapi juga dengan kelompoknya. Itu menunjukkan social identity, ungkapnya.
Diketahui, flexing sebenarnya bukan tren baru. Ketika media sosial mulai populer, flexing rutin dilakukan artis atau pemengaruh. Belakangan, bahkan mereka memperoleh uang dari membuat konten flexing semacam itu.
Yang jadi masalah adalah kalau itu dilakukan pejabat publik, atau istrinya, ASN dan keluarganya. Karena di Indonesia kita tahu, gaji ASN itu berapalah. Kalaupun dia menjadi pejabat publik di eselon 1 atau 2, itu juga tidak besar-besar amat, kalau memang penghasilannya hanya didapatkan dari pemerintah, lanjutnya.
Dia menambahkan ASN memiliki apa yang disebut sebagai self consciousness. Ini merupakan rasa tanggung jawab sosial dan tanggung jawab terhadap pemerintah. Lebih penting dari itu adalah karena sebagai ASN dan pejabat publik, mereka harus bisa mempertanggungjawabkan aktivitasnya karena menggunakan uang rakyat dan pajak.
Karena itu, ASN yang melakukan flexing di media sosial, sebenarnya dapat dikategorikan sebagai kurang berempati terhadap kondisi masyarakat.
Karena kita tahu, kondisi ekonomi mayoritas masyarakat Indonesia seperti apa, katanya.
Sebelumnya, Presiden, menteri, kepala lembaga negara, kepala badan, hingga kepala daerah langsung mengeluarkan surat himbauan terkait tren flexing ini. Pesan hidup sederhana juga berulang menggema di berbagai kantor pemerintah.