Rokok dan G20: Ajang yang Kontradiktif dengan Kebanggaan yang Digaungkan

Rokok dan G20: Ajang yang Kontradiktif dengan Kebanggaan yang Digaungkan

Gaya Hidup | BuddyKu | Jum'at, 25 November 2022 - 16:41
share

Perhelatan Presidensi G20 di Indonesia menjadi suatu hal yang sangat dibanggakan oleh bangsa. Indonesia dianggap berhasil membawakan forum internasional itu dengan apik, hingga mendapat apresiasi dari negara-negara anggota G20. Namun, ketika dikaitkan dengan isu rokok atau tembakau, G20 dianggap menunjukkan sikap yang kontradiktif dengan jargon yang dibawa.

Koordinator Koalisi Nasional Masyarakat Sipil untuk Pengendalian Tembakau, Ifdhal Kasim, menyayangkan perhelatan G20 yang masih menerima sponsor dari industri tembakau, yakni PT HM Sampoerna dan Djarum Foundation. Dia melihat hal ini sebagai sikap pemerintah yang masih memprioritaskan industri rokok.

"Jelas ini menunjukkan pemerintah masih melihat industri rokok menjadi satu hal penting untuk meningkatkan investasi sehingga tidak memprioritaskan bagaimana cara mengendalikan tembakau yang merebak di Indonesia," kata Ifdhal, dalam diskusi daring bertajuk Peredaran Produk Tembakau Tanpa Kendali: Rapor Merah 2022 Pemerintahan Jokowi-Amin , Jumat (25/11/2022).

Ifdhal menambahkan, Indonesia sering kali menjadi bahan gurauan negara-negara tetangga yang sangat ketat mengendalikan tembakau, seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand. Di negara lain, tak ada anak di bawah umur yang memiliki akses terhadap produk rokok. Sementara di Indonesia, anak usia dini mengonsumsi rokok seolah telah menjadi suatu hal yang lumrah.

Tak hanya itu, tingkat kenaikan cukai rokok konvensional Indonesia masih berada di angka 10% untuk tahun 2023 dan 2024. Padahal, Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan angka ideal kenaikan cukai rokok minimal 25% per tahun. Artinya, Indonesia masih jauh di bawah standar WHO.

Terlebih, Indonesia juga menjadi satu-satunya negara G20 yang belum melakukan aksesi terhadap Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).

"Terlihat jelas Indonesia sangat jauh tertinggal dalam persoalan cukai. Ini sebetulnya sangat bertentangan dengan keberhasilan Indonesia atas G20," ungkap Rafendi Djamin, Senior Advisor Human Rights Working Group.

Di satu sisi, Indonesia menerima banyak pujian lantaran membuat substansi penting pada isu-isu utama yang dibahas dalam G20, termasuk isu kesehatan yang tercakup dalam agenda arsitektur kesehatan global. Dalam komitmen tersebut, juga dibahas mengenai sustaining universal health coverage yang sesuai dengan Sustainable Development Goals (SDGs). Namun, di sisi lain, Indonesia justru negara terendah dalam tingkat cukai dibanding negara-negara lain.

"Ini jelas suatu kontradiksi," imbuh Rafendi.

Senada, Adviser Indonesia Institute for Social Development Sudibyo Markus juga mempertanyakan tanggung jawab negara-negara anggota G20 terhadap komitmen kesehatan yang diusung dalam agenda tersebut, terutama bagi Indonesia selaku tuan rumah G20.

"Apa artinya kita jadi ketua G20 kalau kita nafikan tanggung jawab kita dari tembakau?" ujar Sudibyo.

Topik Menarik