Koruptif, Penyebab  Diponegoro Melawan Kolonial Belanda

Koruptif, Penyebab Diponegoro Melawan Kolonial Belanda

Gaya Hidup | netralnews.com | Selasa, 4 Oktober 2022 - 19:31
share

YOGYAKARTA, NETRALNEWS.COM - Pangeran Diponegoro merupakan putera dari Sultan Hamengku Buwono III dengan istri selirnya Raden Ayu Mangkarawati. Masa kecil Diponegoro muda selalu ada di Tegalreja bersama dengan nenek buyutnya Ratu Ageng Tegalreja, janda permaisuri Sultan Mangkubumi. Sejak ayahandanya menjadi raja Yogyakarta, Diponegoro merupakan penasehat utama ayahnya.

Tempat tinggalnya Diponegoro tidak diperbolehkan jauh-jauh dari keraton, karena selalu dibutuhkan di keraton dalam urusan pemerintahan kerajaan sehari-hari. Untuk itulah Sultan ketiga memberi tempat tinggal Diponegoro yang letaknya di Mijen, sebuah tempat yang tidak jauh dari Keraton Yogyakarta.

Sebagai anak raja yang mempunyai harta melimpah karena berdagang dan pemberian tanah lungguh , tentu hidupnya Diponegoro sudah lebih dari mapan. Bahkan dikabarkan Diponegoro merupakan pangeran (anak raja) yang paling kaya di antara pangeran-pangeran yang lain.

Pekatik atau perawat kuda saja jumlahnya 60 orang karena memang kuda-kudanya sangat banyak. Untuk itulah agak mengherankan apabila Diponegoro melakukan pemberontakan terhadap Kolonial Belanda yang merupakan sahabat ayahandanya, Sultan Hamengku Buwono III. Lalu apa yang menyebabkan Diponegoro menentang Kolonial Belanda?

Ketika bergaul dengan para pangeran dan pembesar keraton, Diponegoro mulai tidak menyukai gaya kehidupan keraton yang mendapat pengaruh Eropa sehingga kebarat-barataan yang merusak tradisi dan adat istiadat keraton.

Salah satu perilaku di keraton yang tidak disukai Diponegoro adalah tindakan korupsi. Perilaku korupsi yang dilakukan oleh para pembesar keraton inilah, salah satu penyebab Diponegoro mengobarkan Perang Jawa (1825-1830).

Faktor ini juga yang menjadi pemicu mengapa begitu banyak kalangan Keraton Yogyakarta, rakyat kecil dan para ulama yang mendukung perlawanan Diponegoro pada tahun 1825. Korupsi yang ditentang Pangeran Diponegoro saat itu adalah pengangkatan pejabat polisi desa dan gunung (pemungut pajak).

Sepeninggal Sultan Hamengku Buwono III, Diponegoro diangkat menjadi wali negara karena adiknya, Putra Mahkota yang bernama Ibnu Jarot masih berumur 10 tahun ketika diangkat menjadi Sultan keempat.

Sebagai wali negara Diponegoro sebelumnya memang membuat rencana menghapus pejabat polisi dan gunung (pemungut pajak) guna meringankan beban pajak di pedesaan yang masuk wilayah Keraton Yogyakarta. Menurut pandangan Diponegoro, rakyat dan petani sudah hidup susah akibat penindasan Kolonial Belanda, maka tidak boleh dibebani pajak lagi yang memberatkan hidup mereka.

Pada tahun 1816, Patih Danurejo IV mengangkat 40 pejabat polisi untuk menarik pajak rakyat. Gaji para pemungut pajak itu didapat langsung dari uang pajak kerajaan dan menjalankan tugas khusus memugut pajak rumah tangga.

Setiap pintu rumah harus menyetorkan pajak sebanyak 10-20 sen. Pajak itu dipungut di desa-desa setahun 2 kali yakni pada upacara Garebeg Maulud dan Garebeg Puasa (Garebeg Idul Fitri). Tentu saja hasil dari pajak itu banyak yang bocor karena dikorupsi pejabat-pejabat kerajaan termasuk Patih Danurejo IV.

Dalam Babad Diponegoro , diceritakan ternyata pengangkatan polisi dan gunung itu tanpa persetujuan Diponegoro sebagai wali negara dan ia hanya diberi tahu secara langsung melalui perantara anggota keluarga Sultan.

Tentu saja Pangeran Diponegoro murka dan langsung menemui adiknya Sultan keempat. Pangeran memprotes tindakan Patih Danurejo IV dan meminta Sultan harus menghentikan pengangkatan polisi dan gunung (pemungut pajak) karena menimbulkan beban pajak yang berat di pedesaan yang warganya sudah hidup susah karena penindasan kolonial.

Mendapat saran Diponegoro Sultan yang masih kecil itu mencoba membatalkan, tetapi mendapat penolakan keras dari punggawa keraton seperti Patih Danurejo IV dan Wironegoro salah satu pembesar keraton.

Kelompok pro pemungut pajak semakin di atas angin setelah Ratu Ibu (ibunya Sultan keempat) mendukung pro pemungutan pajak. Dengan demikian pemungutan pajak terus berlangsung.

Untuk itulah penindasan terhadap rakyat melalui pemungut pajak itu terus terjadi sampai Diponegoro menjadi wali negara Sultan kelima yang masih kanak-kanak (bertakhta 1822-1826, 1828-1855).

Kejengkelan Sang Pangeran semakin dalam, setelah tahun 1816 banyak sekali lahan-lahan kerajaan yang disewakan kepada orang-orang Eropa dan Tionghoa untuk dijadikan usaha perkebunan lada, kopi, dan nila karena memang pada saat itu komoditi tanaman ini harga di pasaran ekspor sangat tinggi.

Sejak itu, banyak kalangan bangsawan menyewakan tanah jabatan ( lungguh ) kebangsawanannya kepada orang-orang Eropa dan Tionghoa. Di antara para pangeran dan bangsawan kerajaan, hanya Diponegoro yang menolak keras menyewakan perkebunan lungguh nya kepada oraang-orang Eropa dan Tionghoa karena Sang Pangeran lebih mementingkan petani penggarap di tanah miliknya.

Untuk itulah terjadi peristiwa yang menggemparkan. Dalam pertemuan yang berlangsung pada acara Garebeg Puasa di Kesultanan Yogyakarta pada tanggal 12 Juli 1820, Pangeran Diponegoro secara terbuka mengkritik keras yang bernada celaan kepada Patih Danurejo IV di keraton, karena mengizinkan penyewaan tanah kerajaan di Rejowinangun.

Sang Patih menjadi makelar (perantara) penyewaan tanah kerajaan di Rejowinangun antara para bangsawan dengan para penyewa tanah dari Eropa dan Tionghoa karena dia mendapat uang suap dari penyewa lahan yang tentu saja memperkaya dirinya.

Saat mendapat omelan tuduhan Diponegoro itu, Sang Patih menjawab dengan sekenanya untuk pembelaan dirinya. Tanpa berkata-kata, Diponegoro langsung mencopot selopnya (sepatu sendal) dan menamparkan dengan keras ke wajah Patih Danurejo IV sehingga tampak memerah di wajahnya.

Kisah pemukulan sepatu sendal ke wajah patih ini ditulis dalam Babad Kedlungguhung Kebo . Sebuah babad yang ditulis pasca Perang Jawa atas perintah bupati pertama Purworejo Adipati Cokronegoro I (menjabat 1831-1856) yang merupakan teman Diponegoro ketika berguru pada Kiai Taptojani di Mlangi dan lawan utama Pangeran dalam Perang Jawa karena Cokronegoro I menjadi kroni Kolonial Belanda.

Setelah menampar wajah Patih Danurejo IV, Sang Pangeran berkata Haruskah kita membebani rakyat kita yang menderita begitu banyak.

Penulis: Lilik Suharmaji

Founder PUSAM (Pusat Studi Mataram) tinggal di Yogyakarta


Topik Menarik