Sejarah `Kanibalisme` di Indonesia

Sejarah `Kanibalisme` di Indonesia

Travel | netralnews.com | Sabtu, 24 September 2022 - 13:15
share

JEMBER, NETRALNEWS.COM - Banyak sekali kasus kanibalisme di seluruh dunia dengan motif pelaku yang bermacam macam mulai dari kekurangan makanan, untuk praktik ilmu hitam, kelainan jiwa, atau alasan lain yang memicu kanibalisme.

Ini merupakan beberapa contoh kasus kanibalisme yang ada di dunia, antara lain ada Sumanto, Terosman alias Mansur, Jeffry Dahmer. Tapi, kali ini kita membahas tentang kasus kanibalisme yang ada di Indonesia. Kasus pertama yang kita bahas ialah kasus yang penulis temui di 2003 sampai dengan 2018.

Kasus pertama yaitu kisah sang penjagal dari purbalingga, Sumanto. Ia merupakan anak sulung dari lima bersaudara. Lahir di Pelumutan, Jawa Tengah pada Jumat 3 Maret 1972. Dari pengakuannya, Sumanto mengatakan bahwa dia melalukan ini di karenakan perintah gurunya untuk mendalami ilmu hitam.

Gurunya menyuruh Sumanto untuk memakan 7 manusia dan jika Sumanto ingin memiliki kekuatan yang lebih besar lagi, dia diperintahkan untuk memakan 21/41 manusia.

Dari pengakuannya, Sumanto telah memakan tiga manusia di dua tempat yang berbeda. Korban pertama ialah rekan kerjanya saat masih berada di Lampung. Sang korban kedua ialah penjahat yang ingin merampoknya. Untuk membela dirinya, Sumanto membunuh orang tersebut lalu dibawalah orang tersebut ke dalam kebun dan dimakan.

Korban ketiga adalah tetangganya yang sudah meninggal lalu Sumanto menggalinya dan memakan daging tetangganya tersebut.

Dan yang lebih mengerikan lagi, Sumanto memberi 7 potong daging manusia itu kepada ayahnya dengan mengatakan bahwa daging yang sudah disate itu adalah daging kambing. Sumanto juga mengatakan Mungkin jika menusia yang meninggal dengan cara tidak wajar, rasa dagingnya akan lebih nikmat."

Beredar rumor bahwa Sumanto mengalami sakit jiwa dan menyebabkan dirinya sering berkhayal memakan makanan yang lezat.

Setelah tertangkap pada 11 Januari 2003, Sumanto dijatuhi hukuman 5 tahun penjara. Namun, ia dibebaskan pada 24 Oktober 2006. Dan setelah bebas dia tinggal di pesantren. Sekarang Sumanto telah menjadi manusia yang lebih baik bahkan sering memberikan ceramah pada santri-santri lainnya di sana.

Kasus kedua yang kita bahas adalah kasus Terosman atau Mansur. Mansur sudah bekerja selama 4 tahun di kebun sawit milik M Dasrullah. Menurut pengakuannya, ia membunuh korban lantaran korban membayar gaji pelaku tidak sesuai kesepakatan yang seharusnya Rp2 juta/bulan hanya dibayar Rp200 ribu/bulan. Alhasil, pelaku kesal dan berujung membunuh sang korban.

Pelaku melakukan aksinya pada Minggu, 5 November 2017 sekitar pukul 02.30. Pelaku masuk ke pondok untuk melihat korban yang sedang tertidur, lalu pelaku mengambil golok dan membacok lengan kiri korban.

Korban pun berteriak kesakitan, mendengar itu pelaku makin membabi buta. Pelaku menggorok leher korban, membacok lengan kanan dan perut korban hingga isi perut korban keluar.

Mungkin karena terlalu kesal kepada sang korban sehingga sang pelaku tidak puas hanya melihat korban meninggal. P elaku lalu memotong kemaluan korban menggunakan pisau dapur tetapi gagal. Alhasil, korban kembali menggunakan golok yang tadi digunakan untuk membunuh korban dan menggunkannya untuk memotong kemaluan korban.

Yang paling sadis, pelaku merebus kemaluan korban dan menyantapnya menggunakan nasi. Sisa tubuh korban lalu dikubur di dekat TKP. Setelah kejadian itu pelaku tetap bekerja di sana namun karna dihantui rasa bersalah, pelaku pun pergi ke padang bersama anaknya.

Polisi berhasil mengungkap kejahatan yang dilakukan oleh Mansur dan menangkapnya. Hakim menilai jaksa penuntut umum berhasil membuktikan pembunuhan yang dilakukan oleh Mansur.

Mansur divonis hukuman penjara seumur hidup. Di pengadilan negri Muara Bulian yang dipimpin oleh kepala pengadilan negeri, Derman P Nababan, Kamis (3/5/2018).

Simpati sejak dini sangat penting ditanamkan. Dari sini kita bisa belajar bahwa kita harus saling merangkul sesama manusia agak tidak terjadi penyimpangan seperti kanibalisme ini.

Penulis: Machika Elvarina Humaidah