Kehebatan Diponegoro karena Hebatnya Ratu Ageng
YOGYAKARTA, NETRALNEWS.COM - Hebatnya seorang anak sebenarnya tidak lepas dari kehebatan orang tuanya atau pengasuhnya. Ada pepatah mengatakan Kecambah akan tumbuh subur pada tempat yang tepat.
Lihat saja Sultan Hamengku Buwono IX. Dia bagai bintang yang melesat dan bersinar terang ketika terjadi revolusi fisik di Yogyakarta sekitar tahun 1946-1949. Tanpa adanya Sultan Hamengku Buwono IX, tidak dapat dibayangkan bagaimana Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 tetap utuh dan dapat tegak berdiri sampai sekarang.
Kehebatan Sultan Hamengku Buwono IX, karena memang sudah dipersiapkan oleh ayahandanya sejak dini. Ketika Sultan Hamengku Buwono IX yang masih bernama Dorodjatun mengenyam pendidikan di Taman Kanak-kanak, SD, SMP-SMA, dia sudah dititipkan oleh ayahandanya Sultan Hamengku Buwono VIII di keluarga Belanda baik di keluarga sipil (guru) maupun keluarga militer (perwira).
Belum selesai Dorodjatun tamat SMA di Bandung, dia sudah diminta oleh Sultan Hamengku Buwono VIII untuk pindah sekolah ke Kota Haarlem di Gimnasium sebuah SMA di Belanda.
Setelah lulus di Gimnasium, Dorodjatun meneruskan ke Universitas Leiden Belanda. Tujuan Sultan Hamengku Buwono VIII menitipkan Dorodjatun di keluarga Belanda dan mengirim Dorodjatun untuk sekolah di negeri Belanda hanya ingin agar Dorodjatun kelak akan mengetahui karakter, budaya, tradisi dan bahasa Belanda dengan baik.
Dengan demikian, jika kelak Dorodjatun menjadi Sultan Yogyakarta, dia dapat mengatasi segala persoalan yang berkaitan dengan keinginan Belanda yang akan mengusai Indonesia kembali.
Benar saja. Di saat para pemimpin bangsa seperti Sukarno, Hatta, dan para pemimpin lain setelah Agresi Militer Belanda II ditangkap dan dibuang oleh Kolonial Belanda ke Bangka, Sultan Hamengku Buwono IX telah menjadi benteng terakhir tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Lagi Viral Gen ZTaiwan Jalan Menunduk seperti Budaya Indonesia, Netizen: Beneran Apa Ngejek?
Belanda pernah menawari Sultan kekayaan, kekuasaan, bahkan ditawari sebagai penguasa Jawa dan Madura sebagai Super Wali Negara (kepala negara sebagai negara bagian) asal Sultan memihak Belanda dan meninggalkan Republik Indonesia. Sultan tetap tidak tertarik dengan tawaran Belanda. Tujuan Sultan saat itu hanya satu, Belanda harus angkat kaki dari Indonesia.
Rupanya didikan orang tua terhadap Sultan Hamengku Buwono IX dan Pangeran Diponegoro sekendang seirama.
Sejak ramalan Sultan Mangkubumi kepada Diponegoro kecil yang saat itu digendong oleh ibundannya Raden Ayu Mangkorowati, bahwa bayi kecil ini akan membawa kerusakan bagi Belanda melebihi apa yang dilakukan Sultan dalam Perang Giyanti (1746-1755), maka Ratu Ageng segera mengasuh Diponegoro kecil untuk dididik dengan baik di luar benteng keraton.
Setelah Sultan Mangkubumi meninggal pada 1792, Ratu Ageng yang saat itu sudah berumur 65 tahun segera membangun sebuah tempat yang sepi, sejuk, asri, dan lepas dari kemegahan, kemewahan dan hiruk pikuk Keraton Yogyakarta.
Tempat kecil dan sejuk itu adalah Tegalrejo. Diponegoro kecil yang saat itu berusia 7 tahun dibawa Ratu Ageng ke Tegalrejo untuk dijadikan anak asuhnya. Jarak Tegalrejo dari keraton mencapai 3 kilometer. Jika berjalan kaki kurang lebih ditempuh selama 1 jam perjalanan.
Ratu Ageng yang bergelar Ratu Kedaton merupakan permaisuri Sultan Mangkubumi yang melahirkan Pangeran Sundara ayahanda dari Pangeran Suraja. Pangeran Suraja merupakan ayah dari Pangeran Diponegoro. Jadi, Ratu Ageng merupakan nenek buyut Pangeran Diponegoro.
Ratu Ageng merupakan perempuan yang tangguh. Ketika terjadi Perang Giyanti, Ratu Ageng sudah mendampingi suaminya, Pangeran Mangkubumi dalam seluruh pertempuran melawan Belanda.
Dalam perang itu Pangeran Mangkubumi harus menitipkan Ratu Ageng kepada petani di kaki Gunung Sundoro karena hamil tua dan melahirkan bayi laki-laki yang kelak menjadi putra mahkota di kaki Gunung Sundoro. Untuk itulah, putra mahkota itu diberi nama Pangeran Sundara.
Ratu Ageng merupakan putri Kiai Derpoyudo, seorang kiai terkemuka dari Sragen. Dia keturunan kesultanan Bima (sekarang Nusa Tenggara Barat, Sumbawa) yang bernama Sultan Abdul Kahir Sirajudin I (bertakhta 1621-1640).
Saat Perang Giyanti, Ratu Ageng menjadi komandan pasukan pengawal elite perempuan atau korps prajurit estri. Kelak pada tahun 1809 ketika Yogyakarta diperintah oleh Sultan Hamengku Buwono II, pasukan ini membuat kagum Gubernur Jenderal Daendels saat berkunjung ke Keraton Yogyakarta. Saat itu korps prajurit estri memperagakan ketrampilan berkuda dan membawa senapan kavaleri dengan sangat tangkas.
Dalam Babad Diponegoro versi Manado, Sang Pangeran mengatakan bahwa nenek buyutnya yang bernama Ratu Ageng itu sangat tegas dan disegani. Karena didikan yang tegas dan disiplin, Diponegoro mengatakan dalam babadnya, Di masa kanak-kanak, saya ketakutan ketika nenek buyut memberi perintah.
Diponegoro juga mengatakan bahwa dia diasuh oleh nenek buyutnya dengan penuh rasa kasih sayang. Rupanya Ratu Ageng merupakan orang yang paling berpengaruh terhadap Diponegoro muda.
Di Tegalrejo, Ratu Ageng juga mengajari Diponegoro cara berdagang dengan baik. Untuk itulah dalam catatan Belanda mengatakan bahwa Diponegoro merupakan satu-satunya sosok di antara pangeran sezamannya yang mendapatkan penghasilan terbesar di antara para pangeran Yogyakarta, tanpa melakukan pemerasan terhadap orang kecil.
Kelak kekayaan pribadinya itu digunakan untuk membiayai perang dengan membeli senjata dan biaya operasional lainnya pada tahap awal Perang Jawa.
Memang Ratu Ageng kepribadiannya sangat bersahaja, taat beragama, dan hidup di tengah-tengah sawah yang jauh dari keraton dan jauh dari intrik-intrik politik di keraton. Kesederhanaan Tegalrejo mengajarkan Diponegoro sejak kanak-kanak, remaja hingga dewasa menjadi semakin dekat dengan petani, pedagang, bangsawan, santri dan ulama.
Untuk itulah, ketika terjadi Perang Jawa (1828-30), kharisma Sang Pangeran menjadi modal dasar untuk menggerakkan para petani, pedagang, bangsawan, santri dan ulama bersama-sama satu tekat melawan Kolonial Belanda.
Dalam babadnya, Diponegoro menceriterakan sosok Ratu Ageng dan kemakmuran Tegalrejo sebagai berikut: "(XIV 50).....Menggambarkan Ratu Ageng/ bagaimana ia senang bertani/ dan menjalankan kewajiban agama/ ia menyamarkan diri tanpa pamrih/ dalam jalan kasihnya pada Hyang Sukma/ (51).....
Tegalrejo menjadi sangat makmur/ bagi banyak orang yang datang berkunjung/ semua mencari makan/ sementara para santri mencari pengetahuan agama/ di sana banyak ibadah dan doa/ lebih dari itu, di sana juga ada para petani.
Penulis: Lilik Suharmaji
Founder PUSAM (Pusat Studi Mataram) tinggal di Yogyakarta.










