Korean Wave: Rivalitas terhadap Dominasi Hollywood

Korean Wave: Rivalitas terhadap Dominasi Hollywood

Gaya Hidup | netralnews.com | Minggu, 7 Agustus 2022 - 13:56
share

YOGYAKARTA, NETRALNEWS.COM - Selama puluhan dasawarsa, industri populer dunia dikuasai oleh produk keluaran Amerika Serikat (Hollywood) dan Jepang (Anime). Namun, dalam beberapa dekade terakhir, Korea Selatan yang merupakan salah satu kekuatan ekonomi baru Asia, mencuat sebagai salah satu alternatif budaya populer.

Berbagai produk Korean Wave seperti musik (K-pop), drama (K-drama), film (K-film), fesyen (K-fashion), makanan (K-food) dan kecantikan (K-beauty). Semuanya merupakan bentuk industri kebudayaan yang berdasarkan pada produksi dan penyebaran seni, cerita rakyat dan adat istiadat.

K-drama pertama yang meraih kesuksesan internasional adalah " Star in My Heart" (1997) yang meraih rating fantastis di China (Sung, 2008: 14). Sementara itu, K-drama yang memecahkan rekor dengan mengumpulkan 15% pemirsa Jepang adalah "Winter Sonata" (Ranny Rastati, 2018: -).

Kebangkitan produk budaya Korea di luar negeri sebenarnya dimulai pada tahun 1994, ketika mantan Presiden Korea Selatan Kim Young-sam menyatakan bahwa globalisasi adalah visi dan tujuan strategi pembangunan nasional. Menteri Kebudayaan Korea Shin Nak Yun mewujudkan rencana ini dengan mendefinisikan abad ke-21 sebagai " century of culture ".

Untuk mewujudkan globalisasi budaya Korea, berbagai upaya dan perbaikan telah dilakukan dalam hal perlindungan dan modernisasi warisan budaya tradisional Korea agar lebih dapat diterima oleh orang asing, melatih para profesional seni dan budaya, memperluas fasilitas budaya lokal, dan mendirikan pusat budaya di luar negeri. Membangun jaringan komputer dan internet secara nasional untuk mendukung penyebaran informasi budaya (Aulia Dwi Nastiti, 2010: 2).

Upaya integrasi pemerintah Korea Utara mulai membuahkan hasil yang nyata dalam lima tahun. Kebudayaan Korea mulai berkembang ke luar negeri.

Pada tahun 1999, ketika krisis ekonomi melanda, drama Korea banyak didatangkan oleh negara-negara Asia Tenggara karena menjadi satu-satunya pilihan ekonomi dibandingkan dengan drama Jepang, Drama Jepang 4 kali lebih mahal dan Hong Kong 10 kali lebih mahal. (Shim, 2006).

Seiring berjalannya waktu, budaya Korea tidak hanya menyebar di Asia Tenggara, tetapi juga merambah ke Amerika Serikat, Timur Tengah, dan Amerika Latin, terbukti dengan berdirinya klub penggemar lokal.

Dalam kurun waktu 10 sampai 15 tahun terakhir, budaya Korea berkembang sangat pesat sehingga telah disebarluaskan dan diterima oleh masyarakat dunia, yang menyebabkan kebangkitan global budaya Korea, yang disebut dengan "Hallyu" (Ibid: 3).

Gelombang Korea telah menjelma menjadi metode diplomatik antara Korea Selatan dengan negara lain. Korea Selatan adalah salah satu dari 30 negara dengan soft power di dunia.

Pada tahun 2018, negara ginseng ini menduduki peringkat kedua di antara negara-negara kekuatan lunak Asia. Di saat yang sama, meski Indonesia belum masuk dalam jajaran 30 negara soft power terbesar di dunia, Indonesia berhasil menduduki peringkat sembilan di antara negara-negara soft power Asia, kedua setelah Jepang, Korea Selatan, Singapura, China, Taiwan, Thailand, Malaysia, dan India. (Ranny Rastati, 2018: -)

Perkembangan Korean Wave secara langsung mempengaruhi industri pariwisata Korea Selatan. Total pendapatan turis yang dibawa Hallyu pada 2004 mencapai US $ 825 juta, dan pada 2011 karena pengaruh K-drama, pendapatan pariwisata mencapai US $ 937 juta.

Di Hong Kong, sebanyak 28,3% orang yang berkunjung ke Korea Selatan mengaku pernah terkena K-drama, yang masih kalah dari jumlah wisatawan Hong Kong yang berkunjung ke negara ginseng karena K-food. Meski sebenarnya ketertarikan pada K-food juga merupakan pengaruh K-drama (Ibid: -).

Pemerintah Korea diyakini berhasil mempromosikan budaya populernya melalui media seperti drama, film, dan lagu. Fenomena Hallyu tidak hanya memanifestasikan dirinya sebagai pengaruh budaya, tetapi juga membuat Korea terlihat lebih bersahabat dan akrab di antara negara-negara Asia.

Keberhasilan drama Korea sedikit banyak menunjukkan keunggulan drama Barat (Hollywood). Saat ini, Asia mampu menunjukkan dan mendemonstrasikan nilai-nilainya kepada khalayak luas. Hallyu mampu memimpin produksi dan distribusi produk budaya. Dengan kata lain, hal itu memiliki implikasi praktis bagi kekuatan ekonomi Korea Selatan.

Budaya dan media populer sering kali diidentifikasikan sebagai sumber soft power. Secara khusus, budaya pop Korea digunakan sebagai kekuatan untuk mendorong produk budaya dan mempromosikan ekonomi negara. Korea Selatan telah berhasil mencapai ini baik di tingkat regional maupun internasional. Kemudian, Hallyu menjadi wujud kebanggaan bangsa.

Dengan perkembangan ekonomi Korea melalui produk budaya populer, Korea Selatan telah menjadi negara donor bagi organisasi internasional seperti World Health Organization, UNICEF dan International Intravenous Infection Organization.

Total donasi pada tahun 2005 sebesar 40 juta dollar AS, sedangkan pada tahun 2005 hanya 200. Sepuluh ribu dolar AS. Dengan menjadi negara donor, Korea Selatan memiliki potensi besar untuk membangun soft power dan mempengaruhi isu dunia.

Penulis: Wahyudi Azharief, M.Pd.

Ketua AGSI DI Yogyakarta

Topik Menarik