Hukuman Mati di Iran, Mengapa Negara Ini Mengeksekusi Wanita Lebih Banyak Ketimbang Negara Lain?

Hukuman Mati di Iran, Mengapa Negara Ini Mengeksekusi Wanita Lebih Banyak Ketimbang Negara Lain?

Gaya Hidup | BuddyKu | Minggu, 7 Agustus 2022 - 03:32
share

IRAN - Berbagai kelompok hak asasi manusia (HAM) menyebut Iran sedang melakukan eksekusi mati besar-besaran. Pada pekan terakhir bulan Juli saja, 32 orang dieksekusi mati, termasuk tiga perempuan yang dihukum gantung atas dakwaan membunuh suami mereka.

"Tidak ada hukuman penjara untuk pembunuhan di Iran. Anda hanya bisa memaafkan atau mengeksekusi," kata Roya Boroumand, Direktur Eksekutif Organisasi HAM Iran, Abdorrahman Boroumand Center, yang berbasis di Amerika Serikat (AS), dikutip BBC.

Menurut catatan Amnesty International, meskipun jumlah terpidana yang dieksekusi mati di negara lain lebih banyak daripada Iran, tidak ada negara lain yang membunuh lebih banyak perempuan ketimbang Iran.

Lantas mengapa Iran mengeksekusi para perempuan ini? Menurut Abdorrahman Boroumand Center, selain tiga perempuan yang dieksekusi pekan lalu, enam perempuan lainnya lebih dulu menjalani hukuman itu dalam enam bulan pertama tahun ini.

Memang benar bahwa sebagian besar narapidana yang dieksekusi mati di Iran adalah laki-laki, tetapi sembilan perempuan ini menjadi tambahan ke jumlah total yang terus bertambah.

"Antara tahun 2000 dan 2022, kami telah mencatat eksekusi mati setidaknya 233 perempuan," terangnya kepada BBC.

"Sebanyak 106 perempuan dieksekusi mati karena pembunuhan dan 96 karena dugaan kejahatan narkoba," imbuhnya.

Jumlah yang lebih kecil diyakini telah dihukum mati karena berhubungan seks di luar pernikahan.

Boroumand mengatakan, hanya sekitar 15% dari kasus-kasus ini yang diumumkan secara resmi - kita tahu tentang kasus-kasus lain dari tahanan politik atau dari pejabat yang membocorkan rincian tanpa persetujuan pihak berwenang.

Boroumand mengatakan tingginya jumlah eksekusi sebagian karena kurangnya fleksibilitas hukum. Di bawah sistem hukum Iran, negara tidak bisa meringankan hukuman mati untuk pembunuhan karena keputusan untuk memaafkan ada pada keluarga korban.

Namun Boroumand dapat menghitung beberapa kesuksesan menghindarkan sejumlah terpidana dari hukuman ini. Bekerja sama dengan aktivis lain, dia membantu dua orang terbebas dari eksekusi dan delapan lainnya dari amputasi bagian tubuh.

Dari dua perempuan lainnya yang digantung pada hari yang sama dengan Jalali, satu adalah pengantin anak yang menikah pada usia 15 tahun. Perempuan ketiga pertama kali ditangkap karena membunuh suaminya lebih dari lima tahun yang lalu.

Boroumand punya teori. Penjara Iran sekarang penuh sesak dengan tahanan politik dan pengguna narkoba. Demi mengurangi tekanan pada penjara, menurutnya, para pejabat menekan kerabat orang yang terbunuh untuk mempercepat keputusan mereka - pengampunan atau hukuman mati.

Boroumand khawatir hal ini menyebabkan lebih banyak lagi perempuan yang diseret ke tiang gantungan.

Ia juga menduga pihak berwenang menyimpan motif tersembunyi untuk hukuman ekstrem.

"Baru-baru ini tangan seorang pria diamputasi di Teheran. Mereka membawa tahanan dari kota lain untuk melakukan amputasi, katanya.

"Mereka tidak mengumumkannya tetapi melakukannya sedemikian rupa sehingga informasi tentang hukuman akan bocor ke masyarakat yang lebih luas, menciptakan ketakutan di antara para aktivis, lanjutnya.

Sementara itu, aktivis Iran, Atena Daemi, berusaha mendapatkan penangguhan hukuman di menit-menit terakhir untuk salah satu perempuan yang dieksekusi. Pekan lalu perempuan Afghanistan berusia 40 tahun itu dijatuhi hukuman itu karena membunuh suaminya.

Daemi berharap dapat bernegosiasi dengan keluarga suami Jalali untuk mendapatkan pengampunan.

"Kami berusaha mencari keluarga korban pembunuhan untuk memohon kepada mereka, tapi otoritas penjara tidak membantu. Mereka memberikan nomor telepon pengacaranya yang ditunjuk oleh negara, tapi dia mengabaikan permintaan kami," katanya kepada BBC.

"Otoritas penjara kadang-kadang membantu membujuk keluarga menerima uang darah dan memaafkan, tapi tidak selalu, lanjutnya.

Daemi pernah menghabiskan tujuh tahun di penjara karena aktivismenya. Dia mengatakan penjara untuk perempuan tidak memiliki fasilitas dasar dan narapidana kadang-kadang dipukuli.

Menurut Daemi, proses persidangan juga kerap berat sebelah dan merugikan perempuan karena hanya laki-laki yang bisa menjadi hakim dan sebagian besar pengacara juga laki-laki.

Pengadilan di Iran harus menyediakan pengacara, tapi Daemi menuding para advokat itu tidak memberikan banyak dukungan bagi terdakwa. "Banyak dari pengacara yang ditugaskan ini adalah mantan hakim atau jaksa penuntut," ujarnya.

"Membuktikan diri Anda tidak bersalah tidaklah mudah dalam kasus pembunuhan. Dalam kasus seperti itu, perkataan anggota keluarga korban dianggap jauh lebih penting daripada terdakwa," ungkapnya.

Jurnalis Iran, yang sekarang tinggal di Norwegia, Asieh Amini, mengikuti dengan cermat kasus-kasus yang menjerat perempuan dengan hukuman mati. Dia berkata, akar masalahnya adalah sistem hukum di Iran.

"Menurut undang-undang, ayah dan kakek dari pihak ayah adalah kepala keluarga dan dapat memutuskan nasib anak perempuan, termasuk pernikahan," ujarnya kepada BBC.

I

ni berarti bahwa anak perempuan yang dipaksa untuk menikah mungkin menghadapi masalah serius, termasuk kekerasan dalam rumah tangga. Mereka akan mendapati bahwa hampir tidak mungkin untuk mendapatkan putusan cerai dari pengadilan Iran.

Perempuan yang dijatuhi hukuman mati bahkan seringkali kehilangan dukungan dari orang tua mereka, yang ingin menjunjung tinggi apa yang mereka anggap sebagai \'kehormatan keluarga\'.

"Dalam kondisi ini, beberapa perempuan menjadi korban kekerasan selamanya," terangnya.

Sementara yang lainnya mempertimbangkan untuk membunuh suami mereka.

"Beberapa dari perempuan ini mengaku bahwa mereka melakukan pembunuhan sendiri atau dibantu oleh seseorang. Tetapi hampir semuanya menekankan bahwa seandainya ada cara untuk mendukung mereka melawan kekerasan yang mereka alami, mereka tidak akan melakukan pembunuhan," lanjutnya.

Sebagai contoh bagaimana beberapa perempuan diperlakukan oleh pengadilan, Amini mengutip kasus seorang gadis berusia 16 tahun, Atefeh Sahaleh, yang mengalami pelecehan seksual oleh sejumlah pria.

Bukannya mencari keadilan untuk gadis remaja itu, hakim memutuskan pada 2004 bahwa ia telah melakukan hubungan seks di luar pernikahan.

"Ia dijatuhi hukuman mati karena mengaku berhubungan seks dengan beberapa pria, padahal ia sebenarnya diperkosa," ujarnya.

Amini berkta, menurut KUHP Islam di Iran, jika satu orang mengaku berhubungan seks di luar pernikahan, dia (laki-laki maupun perempuan) akan dihukum dengan 100 cambukan. Dan jika tindakan ini diulang tiga kali, pada keempat kalinya mereka dapat dijatuhi hukuman mati.

"Tetapi dalam kasus Atefeh, bahkan hukum yang tidak manusiawi ini tidak diterapkan, karena saya menemukan dia hanya dua kali diberi 100 cambukan sebelum hakim memutuskan bahwa dia harus dieksekusi," terangnya.

"Untuk yang keempat kalinya, sang hakim sendiri, namanya Haji Rezaei, yang melingkarkan tali di leher Atefeh, lanjutnya.

Amini menyesalkan bahwa diskriminasi dalam hukum, pengadilan, dan tradisi "memainkan peran dalam membawa para perempuan ini ke jalan buntu, menjadikan mereka penjahat atau korban," tetapi ia tidak yakin bagaimana cara memahami eksekusi-eksekusi yang gegabah ini.

"Selama bertahun-tahun saya mengikuti kasus-kasus ini dari penjara ke penjara, saya benar-benar tidak pernah mengerti manfaat apa yang didapatkan pemerintah Iran dari hukuman brutal seperti itu," katanya.

Antusiasme untuk pembalasan tidak berakhir di situ. Aktivis anti-hukuman mati, Narges Mohammadi, mengunggah video ke sebuah platform streaming yang menunjukkan putra seorang perempuan yang dijatuhi hukuman mati karena membunuh suaminya menendang bangku dari bawah kaki ibunya sendiri di tiang gantungan.

Mohammadi percaya keluarga suami yang terbunuh itu memberi banyak tekanan pada putranya dan kerabatnya untuk mengembalikan "kehormatan keluarga".

Topik Menarik