Saat Hati Anda Pilu Didera Kegagalan, Belajarlah pada Sukarno dan Kartini!

Saat Hati Anda Pilu Didera Kegagalan, Belajarlah pada Sukarno dan Kartini!

Gaya Hidup | netralnews.com | Jum'at, 5 Agustus 2022 - 08:31
share

MALANG, NETRALNEWS.COM - Siapa yang tidak mengenal Sukarno dan Kartini? Bagi yang belum kenal pastilah mereka tidak pernah mempelajari sejarah Indonesia secara baik dan benar. Mereka adalah para tokoh yang memiliki kontribusi luar biasa dalam mewarnai identitas bangsa Indonesia sebelum kemerdekaan hingga mengisi kemerdekaan sekarang.

Adakah persamaan di antara mereka? Iya, ada yaitu sama-sama pernah bermimpi belajar ke negeri Belanda dan sama-sama mengalami kegagalan berangkat ke sana. Saat itu, negeri Belanda merupakan tempat primadona pelajar Indonesia dalam melanjutkan studinya di perkuliahan.

Oleh sebab itu, mari mengulik hikmah di balik kegagalan mimpi mereka berangkat ke Negeri Belanda.

Sukarno

Beliau gagal berangkat ke Negeri Belanda karena tidak memperoleh izin dari sang ibu Ida Ayu Nyoman Rai, tepatnya tanggal 11 Juni 1921, sehari setelah Sukarno lulus HBS. Berikut cuplikan percakapan antara beliau dengan ibunya.

Aku (Sukarno) memohon kepadanya, Ibu, semua anak-anak yang lulus dari HBS dengan sendirinya akan pergi ke negeri Belanda. Itu merupakan hal yang biasa. Bila kita akan belajar di sekolah tinggi, kita harus pergi ke negeri Belanda.

Tidak. Sama sekali tidak! Anakku tidak boleh pergi ke negeri Belanda. Serunya.

Apa salahnya ke luar negeri?

Tidak salah, katanya. Tapi banyak jeleknya kalau pergi ke negeri Belanda. Apakah yang membuatmu tertarik? Keinginan untuk mencapai gelar universitas ataukah harapan untuk mendapat seorang perempuan kulit putih?

Aku ingin masuk perguruan tinggi, Bu.

Kalau itu yang kau ingini, kau bisa masuk perguruan tinggi di sini. Pertama kita harus ingat pada kenyataan dasar yang menentukan segala sesuatu dalam hidup kita. Uang! Pergi ke luar negeri memerlukan biaya yang sangat besar. Selain itu, engkau adalah anak yang dilahirkan dengan darah Hindia. Aku ingin supaya engkau tinggal di sini di antara bangsa kita sendiri. Jangan lupa anakku, bahwa tempatmu, nasibmu, pusakamu berada di kepulauan ini.

Kartini

Peristiwa ini terjadi 18 tahun sebelum Sukarno memutuskan tidak jadi berangkat ke Negeri Belanda, tepatnya tanggal 25 Januari 1903 (saat itu Sukarno berumur kurang dari 2 tahun). Mirip dengan Sukarno, Kartini memutuskan hal yang sama.

Sebenarnya, Kartini beserta adiknya Rukmini jika mau, tinggal berangkat saja ke negeri Belanda karena sudah mendapat bantuan dari Tuan van Kol (anggota parlemen Belanda) dan mendapat subsidi dari Idenburg (Menteri Jajahan alias Seberang lautan).

Namun, pembatalan tersebut tidak lepas dari nasihat dan pengaruh Mr. Abendanon yang tidak setuju Kartini berangkat ke negeri Belanda. Alasannya adalah justru nantinya akan merugikan cita-cita Kartini.

Abendanon (Direktur Pendidikan, Industri dan Agama Hindia Belanda-Pejabat setingkat menteri) karena kedekatan dengan keluarga Kartini sehingga beliau dianggap sebagai ayah angkatnya sendiri.

Kartini pun menuliskan kekhawatirannya jika ia tetap berangkat ke Negeri Belanda lewat surat ke Abendanon tanggal 27 Januari 1903 yaitu:

Bila kami telah tiba di negeri Belanda, kami betul-betul akan dilupakan orang benar. Dan apakah yang akan kami dapati di negeri Belanda? Kesedihan bergunung-gunung yang tidak sedikit juapun kami duga. Keadaan Bapakku yang baru-baru ini sakit keras, pun menyuruh kami berpikirpergi ke negeri Belanda itu diurungkan untuk sementara waktu dan harapan kami tidak lama lagi akan tiba di Betawi.

Hikmah Ketidakberangkatan Keduanya

Seandainya Sukarno dan Kartini ditanya bagaimana mereka menghadapi kegagalan mewujudkan mimpi mereka? Ternyata mereka hampir memiliki jawaban yang sama.

Sukarno berujar dalam otobiografinya yaitu Dan begitulah aku mendaftarkan diri ke perguruan tinggi di Bandung. Mungkin suara Ibu yang kudengar. Tetapi sesungguhnya tangan Tuhanlah yang telah menggerakkan hatiku.

Sedangkan Kartini menjawab dalam bentuk tulisan yaitu Janganlah berputus asa, dan janganlah menyesali untung, janganlah hilang kepercayaan hidup. Kesengsaraan itu membawa nikmat. Tidak ada yang terjadi berlawanan dengan Rasa Kasih. Yang hari ini serasa kutuk, besoknya ternyata rahmat. Cobaan itu adalah usaha pendidikan Tuhan. (surat kepada Nyonya Abendanon tanggal 4 Juli 1903).

Setelah itu Sukarno kuliah di Sekolah Teknik Tinggi di Bandung, di sana mengantarkan beliau untuk menikah dengan Inggit Garnasih dan mendirikan PNI hingga perjuangan beliau mengantar ke pintu gerbang kemerdekaan Indonesia.

Sedangkan untuk Kartini, semula beliau diminta ke Betawi untuk sekolah pendidikan guru sebagai ganti tidak berangkat ke negeri Belanda. Di saat surat izin dan bantuan dari Gubernur Jenderal telah turun, justru Kartini dan adiknya membatalkan niatannya bersekolah ke Betawi. Hal ini dikarenakan pernikahan beliau dengan Bupati Rembang Raden Ario Adipati Djojo Adiningrat.

Walaupun Kartini meninggal tanggal 17 September 1903 (empat hari setelah melahirkan putra laki-lakinya), tampaknya cita-cita beliau sudah terpenuhi dengan berdirinya sekolah perempuan dan dukungan suami yang menjadikan pernikahannya bahagia.

Demikianlah sekelumit cerita mereka berdua terkait kegagalannya melanjutkan pendidkan di Negeri Belanda.

Memang jika berandai-andai akan jadi siapa Sukarno dan Kartini jika jadi berangkat ke Negeri Belanda? Namun kegagalan tersebut justru menjalani takdir pilihan mereka dengan berserah kepada Tuhan dan justru menjadikan hidup mereka semakin bermakna.

Penulis: Risang Tunggul Manik

Pengajar dan Pemerhati Sejarah

Sumber:

1.Adams, Cindy. 2014. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Jakarta: Yayasan Bung Karno. Penerbit Media Pressindo.

2.Pane, Armijn. 2005. Habis Gelap Terbitlah Terang . Jakarta: Balai Pustaka

3. www.cantika.com/cerita-kartini-yang-batal-sekolah-di-belanda-setelah-bertemu-abendanon


Topik Menarik