Toleransi: Tak Sekadar Teori, Implementasi Lebih Utama

Toleransi: Tak Sekadar Teori, Implementasi Lebih Utama

Gaya Hidup | netralnews.com | Rabu, 3 Agustus 2022 - 16:21
share

YOGYAKARTA, NETRALNEWS.COM - Pluralitas, sebuah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri dalam masyarakat Indonesia. Perjalanan sejarah kehidupan manusia yang mendiami Nusantara sejak zaman praaksara memang memiliki potensi yang menyebabkan terjadinya keberagaman.

Hal ini juga didukung dengan perkembangan manusia dan upayanya mempertahankan hidup dan beradaptasi dengan lingkungan dan kondisi geografis masing-masing. Meskipun sebenarnya, juga ada potensi kesamaan antar kelompok masyarakat yang tersebar di seluruh wilayah nusantara, namun tetap saja masing-masing memiliki ciri khas yang membedakan satu dengan yang lain.

Kehidupan manusia praaksara yang cenderung nomaden karena ketergantungan dengan alam menyediakan sumber makanan dan alam akan menuntun ke mana mereka akan bergerak. Faktor kesuburan alamlah yang kemudian menjadi penentu utama.

Wilayah Nusantara yang memiliki tanah subur, tentunya menjadi daya tarik tersendiri. Hal ini kemudian menyebabkan Nusantara memiliki keragaman pendatang dari berbagai ras dan kebudayaan yang mereka bawa dari beberapa wilayah di benua asia.

Nusantara kemudian semakin dikenal oleh kelompok-kelompok, suku bangsa lain di dunia, yang kemudian mereka jadikan tempat tujuan untuk melakukan mobilisasi dalam rangka survival mereka.

Melalui jalur Sutra yang sudah menjadi jalur utama perdagangan antara bangsa-bangsa di dunia khususnya India dan Cina, yang berlangsung dari sebelum Masehi sampai era Hindu-Budha, Islam, dan penjelajahan samudera oleh bangsa Eropa yang kemudian melahirkan kolonilaisme-imperialisme, semakin melengkapi pluralitas bangsa Indonesia.

Di bidang agama dan kepercayaan, sebagai dampak dari masuknya pengaruh luar yang masuk ke Nusantara juga menunjukkan keberagamannya. Meskipun bangsa-bangsa yang mendiami Nusantara sebelumnya juga sudah memiliki sistem kepercayaan di dalam masyarakatnya.

Terjadinya sinkretisme tidak bisa dihindari, dan keberagaman tersebut mengharuskan masyarakat untuk menyikapinya dengan baik.

Bagaimana mereka harus bisa hidup berdampingan dengan orang lain atau masyarakat lain yang memiliki perbedaan kepercayaan? Sikap yang paling bijak adalah mengedepankan rasa toleransi, saling menghargai perbedaan, sehingga kehidupan bisa menciptakan harmoni kedamaian.

Sampai sekarang, keragaman di tengah-tengah masyarakat bangsa Indonesia senantiasa kita rasakan dan tidak bisa kita hindari. Dan kita harus belajar banyak dari nenek moyang kita, para leluhur kita bagaimana mereka telah mewariskan nilai-nilai luhur yang bisa kita warisi dan kita implementasikan dengan baik pada masa sekarang.

Nilai-nilai toleransi, saling menghargai, hidup berdampingan dengan damai dan kehidupan di tengah-tengah perbedaan telah mendarah daging dalam diri masyarakat Nusantara sejak zaman dahulu, seperti yang sudah berlangsung dalam kehidupan masyarakat Majapahit di era raja Hayam Wuruk.

Berdasarkan bukti-bukti yang dihimpun dan dikaji oleh para ahli, pada masa kerajaan Majapahit ada indikasi banyak agama dan kepercayaan yan berkembang, di antaranya: kepercayaan lokal, agama Hindu Siwa, agama Budhha, bahkan agama Islam pun sudah mulai masuk. Belum lagi kepercayaan masyarakat-masyarakat minoritas misalnya Cina dan sebagainya.

Dua agama besar yang saat itu dianut oleh mayoritas masyarakat Majapahit, yaitu Siwa dan Budhha. Dan pemerintah kemudian membentuk Dharmmadhyaksa ring kasaiwan (pejabat tinggi yang mengurusi agama Siwa) dan Dharmmadhyaksa ring kasogatan (pejabat tinggi yang mengurusi agama Budhha).

Dalam perjalanan kehidupan beragama di Majapahit tersebut selain adanya lembaga resmi pemerintah yang mengatur, namun di tengah masyarakat kedua agama itu seakan melebur menjadi satu, baik dalam ajaran maupun dalam implementasi kehidupan di masyarakat.

Hubungan ini sebenarnya telah berlangsung sejak masa sebelumnya sehingga seolah-olah agama Buddha telah melebur menyatu dalam agama Siwa, jelas Hasan dalam Beberapa Catatan Mengenai Keagamaan pada Masa Majapahit Akhir.

Suasana itu tergambar pula dalam sumber kesusasteraan dari masa Hayam Wuruk. Menurut Mpu Tantular dalam Kakawin Sutasoma dan Kakawin Arjunawiwaha pada dasarnya kedua agama itu tidak terdapat perbedaan karena keduanya adalah satu.

Isi kitab Sutasoma karya Mpu tantular inilah yang kemudian menginspirasi para faunding father kita untuk menjadikan semboyan Bhineka Tunggal Ika (Berbeda-beda namun tetap satu) menjadi salah satu pedoman dalam kehidupan masyarakat di Indonesia yang plural ini.

Nilai-nilai inilah yang penulis hadirkan di dalam kelas, melalui kegiatan belajar mengajar sejarah. Pluralisme di manapun berada, baik di keluarga, sekolah, dan masyarakat menjadi hal yang tidak terhindarkan dan harus kita hadapi dan sikapi dengan baik.

Perbedaan yang ada tidak boleh kita besar-besarkan dan saling membenarkan diri sendiri, namun bagaimana kita harus bisa menerima dan hidup berdampingan dengan orang lain di sekitar kita dengan damai.

Dan perjalanan sejarah bangsa ini telah banyak mengajarkan dan mewariskan nilai-nilai luhur salah satunya toleransi.

Sebagai manusia bijak, marilah kita senantiasa mengedepankan rasa saling menghargai orang lain yang ada di sekitar kita di tengah adanya perbedaan. Dan nilai-nilai inilah yang senantiasa penulis tanamkan kepada siswa-siswa, tidak hanya sekadar teori namun juga implementasi langsung dalam kehidupan sehari-hari.

Semoga kita menjadi Pancasilais Sejati.

Penulis: Wahyudi Azharief, M.Pd.

Ketua Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) Yogyakarta

Topik Menarik