Menguak Buku-Buku Bacaan Diponegoro
YOGYAKARTA, NETRALNEWS.COM - Banyak orang kagum dengan produktifitas Diponegoro di pengasingan. Selama di pengasingan Fort Nieuw Amsterdam di Manado (Juni 1830-1833) dia menulis babad yang sangat terkenal yaitu Babad Diponegoro .
Buku setebal sekitar 1.000 halaman itu hanya ditulis selama 9 bulan yaitu mulai 20 Mei 1831 sampai dengan 2 Februari 1832.
Hebatnya buku itu ditulis dalam aksara pegon dalam bentuk tembang mocopat. Suatu karya sastra yang luar biasa sulitnya karena harus menggunakan guru lagu dan guru gatra. Isi dari tembang mocopat itu adalah 2.439 bait yang tediri dari 17 pupuh (stanza).
Buku Babad Diponegoro versi Manado yang ditulis oleh Diponegoro itu berisi sejarah Jawa sejak runtuhnya Majapahit (sekitar 1510-an) hingga sejarah Mataram Islam sampai perjanjian Giyanti (1755).
Di samping menulis sejarah Majapahit dan Mataram Islam, Diponegoro juga menulis tentang kehidupan Sang Pangeran sendiri, sejak kelahirannya hingga awal pengasingannya di Manado. Untuk itulah Babad Diponegoro juga dikenal dengan outobiografi.
Tentu saja penulisan babad itu mempunyai tujuan seperti penulisan buku-buku sekarang ini. Adapun tujuan dari penulisan itu seperti yang tersurat dalam babad itu adalah agar kelak diketahui anak-anaknya dan keturunannya.
Walaupun tujuan dari penulisan itu hanya untuk anak dan keturunannya, tetapi menurut penulis Babad Diponegoro sekarang untuk diketahui masyarakat Indonesia dan masyarakat dunia dalam mempelajari riwayat hidup dan perjuangan Diponegoro melawan Kolonial Belanda.
Sejak tahun 2013, Babad Diponegoro versi Manado sudah menjadi warisan ingatan dunia karena tercatat sebagai MoW (Memory of the World) di UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization).
Ketika pengasingannya berpindah ke Makassar di Fort Rotterdam (1833-1855), Diponegoro juga menulis dua buku yang luar biasa yaitu Hikayat ( Risalah ) Tanah Jawa dan buku yang berjudul Sejarah Ratu Tanah Jawa.
Kedua buku itu memang tidak seterkenal Babad Diponegoro tetapi kedua buku itu mengandung ajaran-ajaran Diponegoro selama di pengasingan. Cara memahaminya tulisannya lebih mudah dibanding Babad Diponegoro karena ditulis dalam bentuk prosa.
Tentu saja produktifitas Diponegoro itu harus ditunjang dengan latar belakang buku-buku yang pernah dia baca sehingga mempunyai ketrampilan dan wawasan sebagai modal dasar menulis sebuah buku.
Menulis dan membaca ibarat sekeping uang logam yang kedua sisinya tidak dapat dipisahkan. Tanpa membaca buku-buku, maka seseorang tidak akan mampu menulis yang dia inginkan.
Dari mempelajari buku-buku itulah Sang Pangeran sangat dikagumi dan dapat begitu mudah menggerakkan pengikutnya untuk berperang dengan kolonial. Tentu saja bakat dan kharisma seperti itu tidak dimiliki oleh setiap orang.
Pertanyaannya, buku-buku apa yang dibaca Sang Pangeran? Berikut sejumlah buku-buku yang dibaca oleh Pangeran Diponegoro. Buku-buku bacaan Diponegoro ini penulis sarikan dari tulisan Rijal Mumazziq Z.
Di usia yang belum genap 20 tahun, Sang Pangeran sudah mempelajari ilmu fiqh dengan mempelajari Taqrib karya Abu Syujaal-Isfahani. Sang Pangeran rupanya tidak sekedar membaca buku itu tetapi juga menyalinnya (mereproduksi).
Sekarang buku itu tersimpan di Moseum Pengabdian Diponegoro di Magelang, tempat Diponegoro ditangkap.
Diponegoro juga mempelajari al-Muharrar karya Imam Ar-Rafii. Tidak itu saja Sang Pangeran juga melahab habis Lubab al-Fiqh tulisan al-Mahamili. Dia juga mempelajari buku Fath al-Wahhab karangan Zakariyya al-Anshari.
Sang Pangeran juga membaca buku-buku tentang politik seperti At-Tibr al-Masbuk fi Nas karya Imam al-Ghazali. Hasil bacaan karya Ghazali inilah yang kelak dia ajarkan kepada para bangsawan pendukungnya saat pecah Perang Jawa.
Untuk memperdalam ilmu politiknya, Sang Pangeran juga membaca buku Taj-al-Salatin tulisan Bukhari al-Jauhari. Buku ini berisi etika menjalankan pemerintahan bagi para penguasa.
Sang Pangeran juga membaca buku Bustanus Salatin karangan Syekh Nurruddin Ar-Raniri. Buku yang terdiri dari 7 jilid ini berisi sejarah awal Islam di wilayah Melayu-Indonesia.
Dia juga belajar buku Sulatan al-Salatin yang berbahasa Melayu. Rupanya buku ini sangat mengesankan bagi Sang Pangeran. Untuk itulah dikhabarkan Sang Pangeran setelah melahab buku itu, dia mengajarkan calon raja Yogyakarta yang masih adik lain ibu yang kelak bergelar Sultan Hamengku Buwono IV.
Setelah semakin matang jiwanya, Diponegoro mulai menyukai tasawuf dengan membaca buku al-Tuhfat al-Mursalah ila Ruh-an Nabi hasil tulisan Muahammad bin Fadlullah al-Burhanpuri, yang tinggal di India.
Kitab ini banyak digunakan dalam penguatan ruhaniah pengikut Tarekat Syattariah. Buku ini dikenal juga sebagai buku Topah . Diponegoro juga mempelajari etika seorang negarawan dan ketatanegaraan dengan membaca buku At-Tibr al-Masbuk karya Imam Ghazali.
Selain buku-buku berbahasa Arab dan Melayu, Sang Pangeran juga belajar karya para pujangga-pujangga Jawa misalnya Bharatayuda , Serat Rama, Bhoma Kawya, Arjuna Wiwaha, Arjuna Wijaya, Joyo Lengkoro.
Buku Joyo Lengkoro nampaknya sangat menginspirasi Sang Pangeran karena naskah berbahasa Jawa ini berisi aspek-aspek kenegarawanan dalam bentuk kisah seorang pangeran muda yang berkelana (lelono) ke seluruh Jawa dan berjumpa dengan guru sekuler, guru agama, dan guru mistik.
Dalam buku Kuasa Ramalan , Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1785-1855 Jilid 1 (2012) menurut Peter Carey buku Joyo Lengkoro berisi pendidikan yang sangat ideal untuk mendidik para kesatria Jawa elit keraton, agar menjadi pemimpin yang peka terhadap lingkungan dan peduli dengan rakyatnya.
Dari membaca Joyo Lengkoro itulah sebelum Perang Jawa meletus, Diponegoro berkelana dari pesantren ke pesantren dan dari pertapaan ke pertapaan.
Sebenarnya dahulu R.M. Sujana yang kelak menjadi Sultan Mangkubumi, eyang buyut Diponegoro tidak mau hidup enak-enak di dalam keraton. Untuk menempa dirinya, dia meninggalkan keraton Kartasura menuju Desa Masiran dan hidup sebagai anak angkat seorang petani.
Ketika hidup di luar benteng keraton dan menyamar sebagai orang biasa ini, dia bukan sekedar membantu menjadi petani tetapi juga melakukan laku prihatin.
Tidak berhenti sampai di situ. Untuk mencari pengalaman barunya dan laku prihatin ( lelono ), Sujana muda kemudian pindah ke desa lain. Kali ini yang menjadi tempat persinggahannya adalah Desa Pedan. Letak desa ini di sebelah tenggara Kota Klaten.
Agar tidak diketahui banyak orang, Sujana muda tinggal bersama seorang penjual kuda. Sujana muda belajar memelihara kuda dengan benar sehingga dalam waktu yang tidak lama, Sujana dapat menguasai ilmu cara memelihara kuda dengan baik dan benar.
Dari laku lelono itulah yang menempa R.M. Sujana menjadi raja terbesar kedua setelah Sultan Agung dalam dinasti Mataram dan keturunannya.
Penulis: Lilik Suharmaji
Founder PUSAM (Pusat Studi Mataram) tinggal di Yogyakarta.






