Mengupas PP Nomor 21 Tahun 2022

Mengupas PP Nomor 21 Tahun 2022

Gaya Hidup | netralnews.com | Rabu, 3 Agustus 2022 - 09:06
share

JAKARTA, NETRALNEWS.COM - Sebagai bentuk kepedulian dan keseriusan menangani dinamika problematika anak berkewarganegaraan ganda (ABG), Pemerintah secara perlahan tapi pasti mulai mengurai permasalahan yang melingkupi ABG.

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) berupaya melakukan terobosan dalam penanganan problematika ABG yang mengemuka. Hal yang cukup efektif untuk mengokohkan solusi atas problematika ABG adalah dengan menetapkan ketentuan perundang-undangan.

Ketentuan teranyar terkait ABG adalah ditetapkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2022, yang bertujuan sebagai jalan keluar bagi ABG yang belum mendaftar atau sudah mendaftar tetapi belum memilih kewarganegaraan, sebagaimana Pasal 41 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI.

Seperti diketahui, dari sekitar empat ribuan ABG yang terdata, di antaranya ada yang tidak atau terlambat memilih kewarganegaraan. Untuk itulah mereka diberi kesempatan mengajukan permohonan kewarganegaraan sampai 31 Mei 2024.

Sementara bagi ABG yang tidak terdata, mungkin datanya lebih banyak dari jumlah tersebut. Pasalnya, saat ini perkawinan campur antarbangsa sudah tersebar secara merata dan luas sampai ke pelosok desa di seluruh Indonesia dan bahkan sampai ke mancanegara.

Hal lain ialah kemungkinan adanya ABG yang lahir dan bertempat tinggal di Indonesia dalam kapasitas yang besar, dimana mereka tidak memiliki dokumen keimigrasian.

Agar aturan ini dapat diimplementasikan seoptimal mungkin dan tujuan penetapan regulasi ini tercapai, maka perlu ditetapkan ketentuan turunan yang memudahkan dalam memfasilitasi ABG tersebut

Secara generik PP tersebut dapat mengakomodasi tujuan dari penerbitan kebijakan itu. Namun, masih terdapat dua hal yang perlu dikupas secara lebih mendalam.

Pertama, Pasal 3A Ayat (3) huruf d yang dapat disarikan bahwa permohonan kewarganegaraan, antara lain harus melampirkan surat keterangan keimigrasian (Skim) yang dikeluarkan oleh kantor imigrasi (kanim) yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal pemohon.

Dalam Skim tersebut harus ada pernyataan bahwa pemohon telah bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia paling singkat lima tahun berturut-turut atau paling singkat 10 tahun tidak berturut-turut.

Persyaratan Skim antara lain harus memiliki Izin Tinggal Terbatas (Itas) dan Izin Tinggal Tetap (Itap). Jika mengacu pada UU Keimigrasian, maka jelas dinyatakan bahwa Itap tidak diberikan kepada orang asing yang tidak memiliki paspor kebangsaan (dokumen keimigrasian).

Artinya, jika ABG tidak memiliki dokumen keimigrasian, maka dia tidak dapat diberikan Itap.

Hal itu dapat pula bermakna bahwa seseorang dapat dikategorikan ABG jika terdapat dokumen yang menunjukkan bahwa yang bersangkutan memiliki orang tua berkewarganegaraan asing. Sementara itu, data dan dokumen orang asing secara nomenklatur dan faktual tersimpan pada Ditjen Imigrasi.

Sekarang, mari kita lihat pada ayat berikutnya dari aturan tersebut.

Kedua, Pasal 3A Ayat (4) yang berbunyi dalam hal anak, sebagaimana dimaksud pada ayat (l), lahir di wilayah negara RI dan tidak memiliki persyaratan surat keterangan keimigrasian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d, maka pemohon harus melampirkan biodata penduduk yang dikeluarkan oleh dinas kependudukan dan pencatatan sipil (Dukcapil).

Pada kalimat "pemohon harus melampirkan biodata penduduk yang dikeluarkan oleh dinas kependudukan dan pencatatan sipil", jika dicermati secara struktur organisasi, maka pernyataan itu sekilas nampak memudahkan ABG melakukan pencatatan data kependudukan di Disdukcapil seperti warga negara Indonesia (WNI) pada umumnya.

Di benak pembaca pun dapat dipastikan bahwa akan terbayangkan hal yang sama. Namun, bila dikaji lebih jauh, ada hal menarik yang patut disampaikan.

Jika merujuk pada Permendagri yang menjadi dasar pencatatan data kependudukan ABG di Disdukcapil, maka untuk melakukan pencatatan data kependudukan di Disdukcapil itu pemohon harus memiliki Itas dan Itap. Artinya, pencatatan data kependudukan ABG dilakukan sesuai dengan aturan yang berlaku pada Disdukcapil yakni dengan mensyaratkan adanya dokumen keimigrasian.

Bagaimana Disdukcapil dapat menerbitkan data kependudukan bila ABG tidak melampirkan Itas dan Itap?

Sementara Disdukcapil tidak mempunyai rekam jejak dokumen keimigrasian, maka Ditjen Imigrasi yang memiliki rekam jejak dokumen keimigrasian. Selain itu, aturan turunan pasal dan ayat tersebut belum ditetapkan oleh Disdukcapil.

Untuk merumuskan kebijakan yang terbilang baru bagi Disdukcapil, tentu hal itu tidak dapat dilakukan secara cepat, mengingat reglemen pada Disdukcapil secara hierarki masih belum terbuka ruang untuk dilakukan akselerasi perundang-undangan terkait aturan dimaksud.

Akan lebih mudah dan cepat apabila dilakukan diskresi kebijakan pada Ditjen Imigrasi; karena secara yuridis formal, kebijakan yang berlaku pada Ditjen Imigrasi terbuka ruang untuk melakukan akselerasi terkait poin ABG tersebut. Secara historis pun, data perlintasan orang asing telah tercatat di Ditjen Imigrasi.

Oleh karena itu, dalam perumusan Rancangan Permenkumham terkait hal itu perlu ditambahkan bahwa yang bersangkutan harus melampirkan dokumen keimigrasian agar sejalan dengan kebijakan tertinggi di bidang keimigrasian.

Jika yang bersangkutan tidak memiliki dokumen keimigrasian, maka perlu meminta surat keterangan dari kanim terdekat yang menyatakan bahwa yang bersangkutan adalah ABG dalam kategori pasal dan ayat di atas. Hal itu bertujuan, selain memfasilitasi ABG, juga tanpa mengabaikan preskripsi keimigrasian yang berlaku.

Jika pada kalimat pemohon harus melampirkan data penduduk oleh Disdukcapil, yang nantinya akan dirumuskan turunan Permenkumham tidak dilakukan diskresi, maka ABG yang akan melakukan pencatatan biodata penduduk di Disdukcapil dapat dipastikan akan stagnan karena ketiadaan dokumen keimigrasian.

Hal lain ialah jika ketentuan pencatatan data penduduk dilakukan perubahan, tentu akan membutuhkan waktu lebih lama dan proses lebih panjang karena Disdukcapil adalah instansi di luar Ditjen Imigrasi, yang tentu perlu bersinergi dan berkolaborasi.

Akan lebih efektif dan efisien apabila turunan dari pasal dan ayat di atas dituangkan dalam kebijakan Ditjen Imigrasi selaku pemangku kepentingan dominan. Kausanya, penetapan PP 21 Tahun 2022 bertujuan untuk mempermudah dan mempersingkat proses permohonan kewarganegaraan bagi ABG.

Terdapat catatan penting, yaitu Direktorat Izin Tinggal Keimigrasian telah selesai melakukan pembahasan Rancangan Permenkumham tentang Anak Berkewarganegaraan Ganda dan Surat Keterangan Keimigrasian.

Bila Rancangan Permenkumham itu belum ditandatangani oleh Menkumham, maka elaborasi pasal dan ayat di atas yang terdapat pada PP Nomor 21 Tahun 2022 dapat diselipkan satu atau dua pasal dalam Rancangan Permenkumham tersebut.

Maksudnya, jika memungkinkan, turunan dari pasal dan ayat tersebut dapat dimuat dalam Rancangan Permenkumham yang telah matang; sehingga dapat memangkas proses perumusan yang mungkin akan dilalui bila harus dibuat Rancangan Permenkumham baru tentang pasal dan ayat di atas.

Mengapa kedua ayat di atas perlu dikaji dari perspektif ketentuan keimigrasian dan aturan pada dinas Dukcapil? Karena hal ini menyangkut nasib puluhan ribu ABG yang saat ini membutuhkan kehadiran negara secara signifikan untuk menyelesaikan problematik yang dialami.

Tentu saja, kebijakan yang akan ditetapkan itu hendaknya dapat memprediksi kemungkinan kemudahan ataupun hambatan yang akan dihadapi publik.

Memang, Pasal 3A ayat 4 merupakan bagian kecil dari PP ini. Namun, itu akan memberikan efek signifikan terhadap ABG kelak.

Jika aturan turunan yang akan dirumuskan dapat menyintas prosedur permohonan kewarganegaraan dari ABG menjadi lebih mudah, kemudian dibarengi dengan sosialisasi secara masif pada berbagai platform agar prosedur ini terinformasikan dengan baik sebelum masa berlakunya berakhir; maka dapat diprediksi bahwa ribuan atau mungkin puluhan ribu ABG yang tertinggal dalam mengajukan permohonan kewarganegaraan RI dapat terangkut.

Dengan demikian, tujuan penetapan kebijakan ini menjadi efektif karena tanpa menyisakan kendala baru.

Penulis: Fenny Julita,S.Sos., M.Si.

Analis Keimigrasian Ahli Madya, Direktorat Jenderal Imigrasi, Kementerian Hukum dan HAM RI.

Topik Menarik