Kisah 300 Tahun Makam Keramat Pangeran Jayakarta Disembunyikan di Jatinegara Kaum

Kisah 300 Tahun Makam Keramat Pangeran Jayakarta Disembunyikan di Jatinegara Kaum

Gaya Hidup | BuddyKu | Rabu, 27 Juli 2022 - 07:43
share

CERITA ABAH: Artikel ini adalah warisan berupa tuturan dari sejarawan sekaligus wartawan senior (Almarhum) Alwi Shahab kepada kami dan kami tulis ulang. Selamat Menikmati.

KURUSETRA -- Salam Sedulur... Pada 31 Mei 1619 Pangeran Pangeran Ahmad Jakatra atau Pangeran Jayakarta mendirikan sebuah negara di pengasingan. Ia membangunnya setelah istananya, perkampungan penduduk dan sebuah masjid dibumihanguskan Belanda. Istana dan perkampungan itu sendiri terletak antara Pasar Ikan Jakarta Kota, yang oleh VOC atau Kompeni di atasnya dibangun Kota Batavia.

Pangeran dan para pengikutnya hijrah ke Jatinegara Kaum, Pulogadung, Jakarta Timur yang saat itu masih berupa rawa-rawa dan hutan belukar. Di tempat yang kini terletak antara penjara Cipinang dan Pulogadung inilah, pangeran mendirikan negara di tempat pengasingannya yang baru itu. Ia menamakannya Jatinegara atau negara sejati.

Di tempat ini, pangeran juga membangun sebuah masjid, mencontoh Rasulullah saat hijrah dari Mekkah ke Madinah. Dari masjid yang kini bernama Ash-Salafiyah pangeran dan pengikutnya bersumpah untuk merebut kembali Jayakarta. Sekalipun upaya ini tidak berhasil, tapi para prajurit Islam ini telah berhasil selama puluhan tahun mengusik Belanda untuk tidak pernah tenang.

Tambahan Kaum hingga menjadi Jatinegara Kaum, karena selama ratusan tahun kampung ini hanya ditinggali para kerabat, sehingga menjadi kampung tertutup. Bahkan untuk menjaga keberadaan makam Pangeran, mereka selama ratusan tahun melakukan pernikahan sesama saudara sepupu.

Sekalipun kini sudah banyak pendatang baru, tapi lebih dari separuhnya masih ditinggali oleh keturunan pangeran. Pada masa pendudukan Jepang (1942), sebutan Batavia diganti dengan Jakarta, sedangkan Mester Cornelis menjadi Jatinegara.


Pelabuhan Sunda Kelapa.
Pelabuhan Sunda Kelapa.

Ketika VOC menaklukkan Jayakarta, daerah ini masih berada di bawah kekuasaan Banten. Karena itu hubungannya dengan Banten tidak pernah putus. Apalagi dengan kedatangan dua putra Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten, masing-masing Pangeran Sageri dan Pangeran Sake pada 1640. Keduanya di samping panglima perang, juga merupakan juru dakwah yang handal.

Pangeran Sageri jadi dai yang beken di sekitar Jatinegara Kaum hingga Bekasi, dan Pangeran Puger di Jawa Barat. Di tempatnya yang baru ini, Pangeran Ahmad Jakatra menyampaikan wasiat kepada anak keturunannya.

Mereka dilarang memberitahukan letak makamnya. Hingga makam pangeran dan keluarganya yang terletak di samping kompleks masjid baru diketahui 1956. Mereka juga diminta untuk berbahasa Sunda dalam pergaulan sehari-hari.

Yang hingga kini masih dipatuhi para orang tua, sementara generasi mudanya tidak bisa berbahasa Sunda. Ini dimaksudkan oleh pangeran untuk merahasiakan identitas mereka, mengingat Belanda selalu mengejar-ngejarnya.

Sedangkan perempuan tidak boleh kawin dengan orang luar, untuk memelihara keturunan. Bila mereka kawin dengan orang luar, maka anak mereka tidak berhak lagi memakai gelar raden.


Raden H Suhandi, sesepuh masyarakat Jatinegara Kaum mempunyai silsilah keturunan pangeran, yang berasal dari Sunan Gunung Jati. Sedangkan Raden H Kamsul Arifin dan Raden Sabarna, dua tokoh masyarakat lainnya mengemukakan, Sultan Ageng Tirtayasa merupakan murid dari Syekh Yusuf dari Makassar yang mengajarkannya tarekat Nagsabandiah.

Tarekat ini, kata mereka masih dianut oleh penduduk, sekalipun mereka sendiri tidak tahu bahwa aliran agama yang mereka anut itu adalah tarekat Nagsabandiah. Karena itu, pembacaan Hikayat Syekh Samin, yang di Jakarta sudah hilang, masih terdapat di sini.

Ada lagi larangan Pangeran Ahmed Jakatra yang hingga kini dipatuhi oleh keturunannya di Jatinegara Kaum. Ia tidak membolehkan mereka memukul gong.

Ketika Mendagri Amirmachmud pada 1978 meresmikan kantor PAM di tepi kali Sodong (Sunter), Jatinegara Kaum, saat gong hendak dipukul, talinya putus. Warga percaya putusnya tali gong hingga batal dipukul akibat pangeran tidak berkenan. Karena itu jangan harap di kampung ini ada wayang golek atau gambang kromong.

BACA BERITA MENARIK LAINNYA:
> Humor NU: Orang Muhammadiyah Ikut Tahlilan Tapi Gak Bawa Pulang Berkat, Diledek Makan di Tempat Saja

> Bolehkah Makan Nasi Berkat dari Acara Tahlilan? Halal Bisa Jadi Haram

> Banyak Pria Jakarta Sakit Raja Singa Gara-Gara Wisata "Petik Mangga"

> Kata Siapa Muhammadiyah tidak Punya Habib, KH Ahmad Dahlan Itu Keturunan Rasulullah

> Pak AR Salah Masuk Masjid, Diundang Ceramah Muhammadiyah Malah Jadi Imam Tarawih di Masjid NU

> Humor Gus Dur: Yang Bilang NU dan Muhammadiyah Berjauhan Hanya Cari Perkara, Yang Dipelajari Sama

> Humor Cak Nun: Soal Rokok Muhammadiyah Terbelah Jadi Dua Mahzab

> Humor Ramadhan: Puasa Ikut NU yang Belakangan, Lebaran Ikut Muhammadiyah yang Duluan

> Muhammadiyah Tarawih 11 Rakaat, Pakai Formasi 4-4-3 atau 2-2-2-2-2-1?

.

Ikuti informasi penting seputar berita terkini, cerita mitos dan legenda, sejarah dan budaya, hingga cerita humor dari KURUSETRA. Kirim saran dan kritik Anda ke email kami: kurusetra.republika@gmail.com. Jangan lupa follow juga Youtube, Instagram, Twitter, dan Facebook KURUSETRA.

Topik Menarik