Selingkuh Itu Gampang, Setia Lebih Menantang

Selingkuh Itu Gampang, Setia Lebih Menantang

Gaya Hidup | netralnews.com | Minggu, 24 Juli 2022 - 11:06
share

JAKARTA - Dinda memandang layar ponselnya. Di sana ada pesan masuk dari Taufik menanyakan kesediaannya untuk bertemu hari ini. Ia bimbang untuk memberi jawaban.

***

Ini akan menjadi pertemuan ketiga dengan Taufik sejak Dinda setuju untuk menemuinya. Ia sekadar mampir di kota ini untuk urusan pekerjaan. Sudah lima belas tahun Taufik meninggalkan kota ini dan Dinda, untuk melanjutkan kuliah di luar negeri, kemudian tinggal di sana. Dinda tidak pernah berharap bahwa mereka akan bertemu kembali.Namun telepon malam itu dari Satria, seorang kawan, memberikan kejutan. Melalui Satria, Taufik meminta bertemu.

Taufik adalah kakak kelas di SMA. Ia termasuk siswa yang populer sehingga banyak siswi yang ingin menjadi pacarnya. Biasalah bak sinetron. Bila ada anak basket yang ganteng, pintar, tentu banyak fans perempuan yang berkerubung, dan berusaha menarik perhatian pria itu. Dinda salah satu dari mereka, namun ia tahu diri bahwa penampilannya biasa-biasa saja. Kelebihannya hanyalah kemampuan untuk berada selalu di peringkat lima besar di angkatannya. Maka ia sangat kaget saat Taufik mendekatinya dan mengatakan bahwa ia telah lama mengamati Dinda. Taufik juga meminta Dinda untuk menjadi pacarnya.

Tentu saja hati Dinda merasa berbunga-bunga. Cinta pertamanya mulai dengan pria idaman, dan Taufik memberinya banyak hal yang bisa dikenang. Taufik menjadi kakak, sahabat, dan pacar, sekali pun tidak jarang mereka berselisih paham. Apalagi Dinda belum paham bagaimana berpacaran - apa yang harus dia lakukan sebagai seorang pacar. Sementara Taufik sudah pernah punya pacar, namun cerita cinta Dinda dengan Taufik tidak lama, karena Taufik melanjutkan kuliah di luar negeri.

"Kenapa kita tidak bisa long distance relationship ? Kita bisa face time, whatsapp , email . Kenapa kamu memilih ntuk memutuskan aku?"

Taufik memandang Dinda dengan raut bingung.

"Menurutku, kamu bisa lebih berkonstrasi kuliah tanpa perlu mengkhawatirkan aku. Aku sendiri juga perlu fokus mempersiapkan diriku untuk kuliah. Sampai sekarang aku masih bingung mau kuliah apa nanti. Aku perlu waktu sendiri untuk tahu mauku apa. Aku tidak mau merepotkan kamu."

Dinda sudah menyiapkan perkataan ini sejak ia memilih untuk putus dari Taufik. Bukan karena ia tidak sayang, tapi ia merasa tidak sanggup menjalani hubungan jarak jauh. Lagipula sejak awal, ia tidak yakin bahwa Taufik akan menjadi pilihan terakhir sebagai pasangan. Perjalanan hidup mereka masih panjang. Mereka masih muda dan perlu banyak belajar.

Taufik kemudian pergi. Selama tiga bulan pertama, ia rajin menghubungi Dinda. Namun setelah itu, telepon dan pesannya secara bertahap berkurang. Kemudian, Taufik menghilang dari hidup Dinda. Kenyataan ini membuat Dinda sedih karena cerita cinta pertamanya akhirnya usai. Namun karena ia yang meminta, ia harus menerimanya. Dinda pun melanjutkan hidupnya tanpa kehadiran Taufik.

***

"Apa kabar?"

Taufik menyodorkan tangannya. Awalnya ia tidak berharap banyak saat Satria menawarkannya untuk bertemu dengan Dinda. Ia sudah melupakan Dinda, apalagi iatidak lagi tinggal di kota ini. Beberapa kali datang ke kota ini pun, ia tidak pernah berusaha untuk menemui Dinda. Satria sesekali bercerita tentang Dinda, namun ia tidak terlalu memperhatikan. Ia yakin Dinda sudah melupakan dirinya.

Kini Dinda duduk di seberang meja berhadapan dengannya. Ia semakin dewasa sesuai dengan usianya, dan rambutnya dipotong pendek. Wajahnya memakai make up tipis. Lipstiknya warna pink gelap. Ia memakai sack dress yang panjangnya di atas lutut sehingga menampakkan kakinya yang tampak lebih panjang dengan paduan sepatu hak tinggi. Taufik mengingat mengapa ia dulu tertarik kepada Dinda.

Dibandingkan dengan perempuan-perempuan lain yang Taufik kenal, Dinda memang tidak secantik mereka. Tapi Dinda memiliki aura yang membuat pria bisa memandangnya tanpa bosan. Ia berperilaku apa adanya, bahkan tawanya selalu lepas.

Dinda juga pintar dan memiliki wawasan luas sehingga ia bisa berjam-jam mengobrol tentang apa saja dengannya. Ia berusaha untuk tidak membuat Dinda kesal karena ingin mempertahankan hubungannya sampai mereka cukup dewasa untuk menikah. Karenanya keputusan Dinda untuk putus membuat Taufik terpukul. Ia tidak menduga sama sekali Dinda tidak punya kepercayaan penuh terhadap hubungan mereka.

Tiga bulan pertama sejak kepergiannya ke luar negeri, ia masih berusaha untuk tetap mengontak Dinda. Namun jadwal Dinda yang padat, dan perbedaan waktu di antara dua negara menyulitkannya membagi waktu. Pada akhirnya ia menyerah, dan lebih berkonsentrasi pada kuliahnya. Pada akhirnya ia lupa tentang Dinda.

"Hai, baik. Kamu sendiri?"

Dinda membalas uluran tangan Taufik. Mereka saling membalas senyum, dan memandangi penampilan mereka. Lima belas tahun perpisahan membuat mereka banyak berubah dari segi fisik.

"Kabar baik. Terima kasih kamu sudah mau menemui aku. Gak nyangka kamu mau."

"Aku gak ketemu kamu lama sekali. Jadi pengen tahu cerita kamu," jawab Dinda sambil menatap Taufik dalam-dalam.

Dulu dia tidak berani untuk lama-lama menatap Taufik. Selalu ada rasa risih dan malu. Bila ia menatap Taufik, wajahnya bersemu merah, dan Taufik akan menggodanya sampai ia harus menyembunyikan wajahnya.

Taufik balas menatapnya.

Ada yang berubah dari dirinya , kata Taufik dalam hati, dan ia yakin bahwa ia menyukai perubahan itu. Sore ini akan menjadi sore yang menyenangkan .

Mereka berdua kemudian larut dalam percakapan yang akrab selayaknya dua sahabat yang lama tidak berjumpa. Banyak hal yang terjadi selama lima belas tahun sehingga banyak cerita yang ingin saling dibagikan. Ada pengalaman senang. Ada pengalaman sedih. Tapi semuanya tentang cerita diri mereka. Beberapa kali mereka tertawa lepas menertawakan pengalaman lucu yang masing-masing alami.

"Aku harus pulang sekarang. Besok aku ada rapat dan masih harus mempersiapkan beberapa bahan rapat."

Dinda menyudahi percakapan mereka. Waktu suah menunjukkan pukul delapan malam. Sudah lebih dari tiga jam mereka mengobrol. Dia harus pulang.

"Bisakah kita bertemu lagi?" tanya Taufik.

***

"Bagaimana ketemuan dengan teman lama kamu?"

Dinda baru saja melepas sepatu. Pertemuannya dengan Taufik sangat berkesan. Sepanjang perjalanan pulang, ia mengingat kembali percakapan mereka. Ia tidak menyangka bahwa Taufik masih bisa menarik hatinya, bahkan mungkin lebih. Seperti dulu, bahkan lebih, ia bisa bertukar cerita apapun dengan Taufik. Bahkan banyak hal baru yang ia dengar dari Taufik.

" It\'s great. Kita banyak share cerita dan ideas ," jawab Dinda.

Di hadapannya duduk Dimas sambil memangku Dara, anak kedua mereka. Pintu kamar tiba-tiba terbuka, dan Doni, si sulung, berlari menghampiri Dinda.

"Mama, lihat gambar aku. Sudah bagus belum? Kata Bu Guru, wananya harus penuh. Tidak boleh kelihatan putih-putih," kata Doni sambil menyodorkan buku gambarnya.

"Mau lihat!" teriak Dara.

" Gak boleh. Nanti gambar aku kotor!"

"Ah mau lihat! Mama, aku mau lihat gambar kakak," jawab Dara sambil berusaha meraih buku gambar Doni.

"Doni, Dara, jangan berantem. Kasihan Mama masih capek pulang dari kantor. Doni, sini Papa saja yang lihat. Dara sama Papa lihat sama-sama gambar kakak."

Dimas merangkul keduanya sambil mengedipkan sebelah matanya ke Dinda. Ia paham kebiasaan Dinda untuk beristirahat sejenak setibanya di rumah dari kantor sebelum berurusan dengan pekerjaan rumah. Tidak pernah ada pembagian tugas di antara Dimas dan Dinda, namun Dimas selalu bersedia membantu Dinda mengurus anak-anak dan mengerjakan perkerjaan rumah. Terutama saat Dinda harus mengejar tenggat waktu tugas kantor.

Banyak teman kantor Dinda iri karena Dimas mau membantu pekerjaan rumah seperti mencuci baju, mencuci piring, mengurus anak, hingga beres-beres rumah sekali pun Dinda tidak meminta.

Dimas selalu bilang bahwa mereka berdua mencari nafkah. Jadi sudah seharusnya pekerjaan rumah juga dikerjakan berdua. Apalagi jabatan Dinda di kantor lebih tinggi daripada jabatannya. Jam kerja Dinda juga lebih panjang daripada Dimas sehingga sering Dimas yang tiba lebih dahulu di rumah daripada Dinda. Asisten rumah tangga mereka tidak tinggal di rumah sehingga setiba mereka di rumah, pekerjaan rumah harus dilakukan sendiri.

Dimas adalah teman kerja Dinda di kantor yang lama. Ia jatuh cinta kepada Dinda pada pandangan pertama sejak awal Dinda bergabung di kantor tersebut, dan mengejar Dinda sampai dengan Dinda mau menjadi kekasihnya. Pada awalnya Dinda tidak tertarik dan tidak ingin berpacaran dengan Dimas. Beberapa teman Dinda mengatakan bahwa Dimas sering berganti-ganti pacar. Tapi Dimas beralasan bahwa saat itu dia mencari pasangan yang tepat. Dia tidak mau berlama-lama berpacaran bila dia rasakan wanita itu tidak memenuhi persyaratannya. Makanya oleh orang luar, ia tampak selalu berganti pacar. Dengan Dinda, Dimas merasakan sesuatu yang berbeda, dan memutuskan untuk menjadikan Dinda sebagai istri.

Sesuai janjinya, Dimas menjadi pasangan yang setia. Namun ia tidak mengekang Dinda sehingga Dinda bisa mengembangkan karirnya. Ia bahkan tidak mengeluh saat tahu bahwa jabatan Dinda di kantor baru lebih tinggi darinya. Sebaliknya ia mendukung karir Dinda, dan selalu berusaha meringankan kewajiban Dinda sebagai istri dan ibu dari Doni dan Dara.

***

Di tempat tidur, Dimas memeluk Dinda.

"Senang bertemu dengan teman lama? Saya kira kamu akan lebih lama ketemuannya. Siapa saja yang datang?"

Dinda terdiam. Haruskah ia berkata jujur bahwa teman lama itu adalah Taufik, dan hanya dia yang menemui Taufik? Dimas tahu mengenai teman-teman dekat Dinda sebelumya, tapi ia tidak tahu mengenai Taufik.

"Ia senang dong . Bayangin , aku gak ketemu dia sudah lima belas tahun."

Dinda sengaja tidak menjawat pertanyaan yang terakhir.

"O iya, gantian besok aku yang pulang telat ya," kata Taufik lagi, "Ada ketemuan dengan teman-teman kuliah. Biasalah dengan Rudi, Amir, Erik, Ita, Fani. Kemungkinan Lani juga datang."

Dinda membelalakkan matanya. Lani adalah salah satu mantan Dimas yang masa pacarannya lebih lama dibanding dengan pacar-pacar lainnya.

"Lani, mantan kamu?"

Dimas mempererat pelukannya. Ia tahu Dinda tidak suka ia bertemu dengan mantan-mantannya, terlebih Lani.

"Iya. Teman aku yang namanya Lani kan cuma satu. Tapi belum tentu juga dia datang," elak Dimas.

***

Dua hari setelah acara kumpul-kumpul Dimas dengan teman-temannya, termasuk Lani yang ternyata datang, Dinda menerima telepon dari Taufik. Ia mengajak Dinda untuk bertemu kembali usai kerja. Kesal dengan pertemuan Dimas dengan Lani, Dinda langsung mengiyakan permintaan Taufik.

Tapi di pertemuan kedua, Taufik lebih banyak bertanya tentang pernikahannya dengan Dimas. Dengan kekesalan yang masih memuncak, Dinda bercerita tentang hubungan Dimas dan Lani, dan masalah-masalah yang ia alami bersama Dimas. Taufik mendengarkan dengan saksama tanpa menyela. Taufik sendiri mengaku bahwa ia belum menikah. Tapi Dinda yakin ia punya banyak hubungan asmara.

"Jadi kenapa kamu menikah dengan dia?" tanya Taufik.

"Karena sudah waktunya aku menikah dan dia adalah orang yang tepat untuk menjadi suamiku," jawab Dinda.

" Do you love him? " tanya Taufik lagi.

" Hmm... I guess so. Perhaps. Yes, " jawab Dinda lagi setengah bercanda.

"Tapi aku adalah cintamu, Dinda."

Dinda tertegun. Tidak sanggup berkata-kata. Ia tidak menyangka Taufik berkata sedemikian rupa.

"Kamu adalah cintaku dulu. Past tense . Kita sudah berpisah lama."

"Tapi aku masih selalu memikirkan kamu. Setelah pertemuan pertama kita, aku menyesali kealpaanku untuk tidak menjaga hubungan dengan kamu. Kamu menjadi wanita seperti yang aku idamkan."

Taufik menatap dalam mata Dinda. lalu ia menjulurkan tangannya, meraih tangan Dinda. Dengan tatapan bingung, Dinda menatapnya balik. Tapi ia membiarkan Taufik memegang tangannya.

" I am married now. I have two children ."

"Bukan berarti aku tidak boleh mencintai kamu, kan ?" desak Taufik.

Perlahan Dinda menarik tangannya dari pegangan tangan Taufik. Ia tidak bisa membohongi dirinya bahwa ia tertarik pada Taufik yang sekarang duduk di hadapannya, dan bahwa Taufik menempati ruang di hatinya sebagai cinta pertamanya. Tapi ia tidak bisa lari dari kenyataan bahwa ia sudah menjadi istri Dimas.

" Please, let me love you. "

Wajah Dinda bersemu merah. Ia tidak menyangka Taufik akan berkata itu. Perlahan Dinda bangkit dari duduknya, meraih tasnya dan berjalan menuju pintu keluar. Ia tidak sanggup menjawab permintaan Taufik karena ia tidak menemui jawaban yang tepat.

***

Setibanya di rumah, Dinda mendapatkan Dimas sedang asyik menelepon seseorang. Percakapannya terdengar akrab. Tapi melihat Dinda datang, Dimas buru-buru mengakhiri percakapan.

"Halo, Sayang. Aku gak dengar kamu pulang."

"Kamu sedang telepon siapa? Kok seru banget," tanya Dinda.

"Lani menelepon, lalu kita cerita tentang teman-teman lama. O iya, dia menanyakan kamu," jawab Dimas enteng.

Dinda menghela napas panjang. Ia memilih untuk tidak menanggapi perkataan Dimas. Di benaknya masih bekelebat bayangan wajah Taufik. Bahkan di ponselnya ada beberapa pesan yang belum ia baca, dan missed call yang semuanya dari Taufik.

Melihat Dinda tidak memberi tanggapan, Dimas melanjutkan cerita tentang apa yang ia bicarakan dengan Lani. Ia senang bahwa Dinda tidak cemburu lani meneleponnya. Biasanya ia tidak bisa bercerita tentang Lani karena Dinda akan langsung merengut dan tidur menjauh darinya. Padahal Dimas tidak mau menyembunyikan pertemanannya dengan Lani. Terlebih ia ingin selalu bisa membantu Lani, apalagi kondisi Lani sangat ringkih bila berhadapan dengan masalah.

Lani adalah pacar Dimas semasa kuliah. Lani sangat mencintai Dimas, dan ingin menjadi pasangan hidup Dimas. Namun orang tua Lani memaksanya untuk melanjutkan kuliah ke luar negeri. Lani lalu menikah dengan anak teman bisnis ayahnya. Dimas dengan rela melepas Lani karena ia ingin membangun karirnya usai kuliah, dan tidak mau direpotkan dengan masalah asmara.

Awalnya Dimas hanya tahu perihal Lani dari cerita teman-teman mereka bahwa Lani tidak hidup bahagia dengan suaminya. Hal ini mengganggu Dimas karena ia tidak pernah membalas telepon dan pesan-pesan Lani. Ada perasaan bersalah di diri Dimas sehingga saat Lani kembali menghubunginya, Dimas meresponnya.

Kali ini Lani menelepon untuk minta bertemu. Suaminya marah besar saat tahu Lani bertemu dengan Dimas, dan hendak menceraikannya. Lani menjadi galau dan tidak tahu harus berbuat apa.

"Lani minta aku bertemu dengannya," kata Dimas.

"Kamu memberitahu atau meminta izin? Kalo sekadar memberitahu, tidak perlu izin aku, kan ?" jawab Dinda kesal.

"Dia sedang punya masalah, dan minta aku bantu," jelas Dimas.

Aku pun punya masalah . Dinda membatin.

Apakah ia harus memberitahu Dimas, atau menyelesaikan dulu permasalahan ini sendiri, lalu memberitahu? Inginkah ia memberitahu Dimas? Sepuluh tahun Dinda memendam rindu kepada Taufik sebelum ia memutuskan menikah dengan Dimas.

"Dinda, aku dan Lani hanya berteman. Aku hanya concern saja. Tapi kalau kamu tidak mengizinkan, aku tidak akan pergi."

Dinda tertegun. Ia belum bisa memberi jawaban. Sementara itu, ponsel Dinda kembali berdering. Pesan masuk dari Taufik.


Catatan:

Dikutip dari buku The Writers, 2021, Kutunggu Jandamu, Kumpulan Cerita Apresiasi untuk Sopir Truk , hlm 13-25.

Topik Menarik