Diponegoro vs Kiai Mojo: Antara Politik dan Agama, dari Sekutu Berujung Seteru

Diponegoro vs Kiai Mojo: Antara Politik dan Agama, dari Sekutu Berujung Seteru

Gaya Hidup | netralnews.com | Rabu, 20 Juli 2022 - 08:36
share

YOGYAKARTA, NETRALNEWS.COM - Para pengikut sekaligus panglima perang Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa seperti Kiai Mojo dan Sentot dapat diibaratkan sebuah rantai besi kapal yang amat besar dan kuat. Rantai besi itu memang sangat kuat tidak mudah putus walaupun harus mengikat kapal di pelabuhan.

Tetapi, di balik kekuatan rantai itu juga ada kelemahan. Kekuatan rantai terletak pada hubungan gelang rantai antara gelang satu dengan gelang yang lain. Ketika gelang yang menghubungkan satu dengan yang lain itu putus, maka rantai itu sudah tidak punya kekuatan lagi.

Sama seperti rantai besi, hubungan antara Pangeran Diponegoro dengan Kia Mojo dalam perang Jawa membawa daya gedor yang sangat kuat dalam menghadapi tentara Kolonial Belanda.

Bahkan, ketika Kiai Mojo mendukung Pangeran Diponegoro di Selarong pada Agustus 1825, berimbas pada banyaknya ulama sahabat Kiai Mojo yang bergabung dalam resimen elite Sang Pangeran.

Bergabungnya Kiai Mojo memang membawa berkah tersendiri terhadap perjuangan Diponegoro.

Namun di tengah jalan, mereka berdua terjadi perbedaan pandangan yang berujung pada pertengkaran yang sangat keras. Pokok persoalan yang menjadi biang keretakan antara Sang Pangeran dengan Kiai Mojo adalah masalah kekuasaan politik.

Perbedaan pandangan membuat keduanya berpisah, yang akhirnya membuat kekuatan pasukan Diponegoro keropos dan menjadi salah satu penyebab kekalahan perangnya.

Dalam Babad Diponegoro yang juga ditulis oleh Diponegoro, ia mengatakan, perselisihan antara dirinya dengan Sang Kiai terjadi karena Kiai Mojo tidak setuju dengan prinsip-prinsip Diponegoro.

Sang Kiai menentang kedudukan Sang Pangeran sebagai Sultan Erucokro . Kiai Mojo meminta agar Sang Pangeran membagi kekuasaan menjadi 4 macam.

Pertama, Kekuasaan Ratu atau Raja. Kedua, kekuasaan wali atau ulama. Ketiga, kekuasaan pandita atau kekuasaan cendekia dalam bidang hukum. Empat, kekuasaan mukmin yang dipercaya.

Kiai Mojo menyarankan agar Sang Pangeran hanya memilih satu di antara beberapa kekuasaan tersebut. Harapan Kiai Mojo adalah, antara Sang Pangeran dengan dirinya membagi dua kekuasaan yakni kekuasaan raja dan kekuasaan ulama.

Kekuasaan raja dipegang oleh Sang Pangeran dan kekuasaan ulama dipegang oleh dirinya. Kiai Mojo berkaca pada zaman kewalian di Jawa, bahwa antara kekuasaan politik dan kekuasaan agama dipegang oleh orang yang berbeda.

Memang di awal berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, Raden Patah memegang kekuasan politik ( panataraja ) sedangkan Sunan Giri memegang kekuasaan ulama ( panatagama ).

Pembagian kekuasaan antara panatagama dengan panataraja dengan orang yang berbeda sebenarnya ditentang keras oleh Sunan Kalijaga.

Menurut Sunan Kalijaga, panatagama mestinya dipegang juga oleh raja, bukan para wali. Lagi pula panatagama yang di tangan raja itu bukan sebatas bagi agama Islam saja, melainkan bagi semua kepercayaan yang ada di masyarakat kerajaan baik itu Islam, Hindu, Budha dan agama lainnya, termasuk agama penduduk asli yakni animisme.

Usulan Kiai Mojo itu ditolak keras oleh Sang Pangeran. Pangeran Diponegoro mencoba menghentikan ambisi Kiai Mojo mengambil alih kedudukan kekuasaan ulama atau panatagama .

Agar Sang Pangeran tidak kehilangan Kiai Mojo, dia mencoba mencari jalan tengah yakni membujuk Kiai Mojo diberi kekuasaan sebagai penghulu (imam masjid dan pemimpin ritual keagamaan).

Tetapi, usulan Sang Pangeran itu ditolak oleh Kiai Mojo dengan mengatakan bahwa dia tidak berasal dari keluarga penghulu sehingga hal itu tidak bisa dilakukan. Kiai Mojo meminta diakui sebagai imam masyarakat Islam seluruh Jawa. Tentu saja permintaan Kiai Mojo itu ditolak dengan keras oleh Sang Pangeran.

Karena tidak sepakat di antara kedua tokoh itulah, akhirnya Kiai Mojo memutuskan berpisah dengan Sang Pangeran.

Dalam naskah tempat pengasingan Sang Kiai di Kampung Jawa Tondano, Minahasa sebuah daerah tempat pengasingan Kiai Mojo pada 1839 sejak Kiai Mojo berpindah dari pengasingan yang pertama antara tahun 1830-1839, naskah itu menyebutkan bahwa Perang Jawa bukan lagi perang fi sabilillah (perang jihat, perang di jalan Allah) karena Pangeran Diponegoro sudah mengejar tujuan duniawi dan masih terus melanggar syariat Islam.

Naskah itu menyebut upaya Sang Pangeran untuk mendirikan keraton di Kulonprogo merupakan bukti ambisi duniawi tersebut.

Naskah itu juga menyebutkan bahwa Sang Pangeran masih terlalu suka pada takhayul dan kepercayaan Jawa. Hal ini dibuktikan dengan memiliki banyak keris pusaka yang sebagian dia dapatkan melalui pertapaan dan persentuhan dengan dunia gaib. Kata naskah itu, bahwa hal itu tidak layak bagi seorang penganut Islam yang saleh.

Sebenarnya tuduhan yang ditujukan kepada Diponegoro bahwa dia suka takhayul juga tidak sepenuhnya benar.

Pernah terjadi sebelum Perang Jawa (1825-1830) ketika ayahandanya sekarat karena sakit keras. Saat itu Pangeran Demang (Paman ayahanda Diponegoro) karena mendapat petunjuk dari seorang dukun berperilaku aneh dengan cara membaca mantra-mantra dan menjilati pusar Sultan Hamengku Buwono III, ayah Pangeran Diponegoro, agar Sultan itu sembuh dari penyakitnya.

Melihat ritual itu, Diponegoro sebagai putranya tidak berkenan, sehingga segera menutup pusar ayahandanya itu dengan kain selimut dan memaksa Pangeran Demang saudara kakeknya itu menghentikan ritualnya.

Memang Pangeran Diponegoro penganut mistik Islam Jawa. Walaupun dia penganut Islam kejawen, tetapi dia tidak setuju dengan beberapa praktik adat istiadat kebatinan Jawa yang selalu diliputi kepercayaan takhayul pada masa itu.

Di ujung seteru antara Sang Pangeran dan Kiai Mojo, akhirnya Sang Kiai lebih memilih berpisah dengan pasukan Diponegoro dan memilih perundingan damai dengan Belanda pada Oktober-November tahun 1828.

Dalam perundingan itu, Kiai Mojo menuntut diberi pasukan dengan kekuatan 500 orang termasuk 300 orang resimen Bulkio yang elite itu. Dia berangkat sendiri melakukan perundingan di Melangi pada 10 November 1828. Namun perundingan di Melangi tidak pernah terjadi karena Kiai Mojo akan ditangkap oleh pasukan Belanda.

Kiai Mojo tidak tinggal diam, dia dan pengikutnya bergegas ke Pajang tempat daerah asal-usulnya, tetapi di daerah sekitar kaki Gunung Merapi dia dicegat oleh pasukan Belanda dan diberi pilihan ditangkap atau bertempur mati-matian.

Kiai Mojo memilih menyerah karena pasukannya tidak mungkin menghadapi pasukan Belanda. Kiai Mojo dipenjara dengan sangat mengenaskan yang panas dan sumpek dalam ruangan bawah tanah Stadhuis di Batavia (sekarang Museum Fatahilah).

Belanda membujuk Kiai Mojo agar menggunakan pengaruhnya untuk menggembosi kekuatan pasukan Diponegoro agar para panglimanya berpihak kepada Belanda, tetapi Kiai Mojo menolaknya. Akhirnya Kiai Mojo diasingkan ke Manado dan meninggal dunia di Tondano di usia 59 tahun pada 20 Desember 1849.

Penulis: Lilik Suharmaji

Founder PUSAM (Pusat Studi Mataram) tinggal di Yogyakarta.

Topik Menarik