Sejatinya `Jawanisasi` di Indonesia Sudah Berakhir
JAKARTA, NETRALNEWS.COM - Ketika menonton film Soekarno, audience akan disajikan dengan adegan di mana Bung Karno dan Bung Hatta terlibat suatu percakapan dengan mengenai bentuk negara. Bung Hatta menghendaki federasi, namun Bung Karno menolak usulan Hatta karena ketiadaan persatuan dan kesatuan.
Usulan Bung Hatta tersebut memang rasional karena fakta keragaman etnik Indonesia. Selain itu, negara yang multikultural memang rentan mengalami gerakan separatisme.
Merle Calvis Ricklefs dalam bukunya A History of Modern Indonesia menyiratkan bahwa dwitunggal Soekarno-Hatta merupakan prime example, sebuah pemimpin negara multicultural. Hatta merupakan seorang Minang dan mewakili berbagai masyarakat minoritas sedangkan Soekarno adalah orang Jawa dan mewakili etnis mayoritas.
Sayangnya status dwitunggal tamat pada tahun 1956 ketika Bung Hatta memundurkan diri. Kehancuran tersebut menurut Ricklefs merupakan simbolisasi kerusakan konsesi antara mayoritas dan minoritas.
Blueprint \' Jawanisasi\' Peninggalan Orla
Tidak dapat dipungkiri bahwa pernyataan Ricklefs memiliki kebenaran, faktanya Orde Lama Soekarno menyaksikan beberapa kali gerakan separatism yang salah satunya dikompori oleh ketidakadilan pemerintah pusat terhadap daerah. Salah satu contoh yang paling terkenal adalah DI/TII Aceh yang dimotori oleh Daud Beureuh.
Bangsa Aceh memiliki hubungan asam manis dengan bangsa Jawa. Menurut Bernard H.M Vlekke, ketidaksukaan Bangsa Aceh terhadap orang Jawa bermula pada tahun 1873 ketika Perang Aceh meletus; Belanda merekrut orang-orang Jawa sebagai salah upaya untuk menaklukan Bangsa Aceh.
Aceh sebenarnya memiliki kesempatan untuk menjadi negara sendiri ketika Jepang angkat kaki dari Indonesia pada tahun 1945.
Aceh adalah satu-satunya daerah yang tidak dicoba oleh Belanda untuk diduduki kembali. Hal inilah yang membuat Soekarno melakukan lawatan ke Tanah Rencong dan meminta bantuan para saudagar Aceh untuk menyumbangkan harta mereka demi usaha perang kemerdekaan. Sebagai gantinya, Soekarno berjanji untuk memberikan status daerah istimewa berikut penerapan hukum Islam di provinsi tersebut.
Sayangnya, janji manis tersebut tidak dipenuhi. Aceh dimasukan disatukan ke dalam wilayah Sumatera Utara dan diterapkan ke dalam hukum sekuler. Penghilangan daerah istimewa tersebut memicu kemarahan masyarakat Aceh dan membuat mereka bergabung dengan DI/TII.
Tak jauh berbeda dengan DI/TII Aceh, PRRI/Permesta juga turut beroposisi dengan pemerintah pusat karena tindakan mereka yang dinilai lambat dalam mengembangkan wilayah daerah.
Saudagar-saudagar Minang telah menjadi yang terdepan dalam membela kemerdekaan Indonesia. Lain Aceh lain PRRI; pemberontakan di Aceh dapat diselesaikan dengan pemberian status daerah istimewa sedangkan PRRI menggunakan respons militer yang keras.
Di samping Aceh, sebagian Sumatera, dan sebagian Sulawesi. Wilayah lainnya yang menuntut pemisahan diri adalah Papua.
Hatta dalam Risalah BPUPKI dan PPKI telah memprediksi bahwa Papua akan menjadi polisi tidur dalam kestabilan RI karena keputusan memasukkan Papua tersebut dianggapnya sebagai nafsu imperialis.
Hal ini memang tidak dapat dipungkiri karena terdapat kecurangan-kecurangan dalam Pepera seperti masuknya tenaga-tenanga asing dari Jawa berikut intimidasi terhadap orang asli Papua. Alhasil, tak lama kemudian setelah masuk RI, Papua langsung bergejolak.
"Jawanisasi" Besar-Besaran Orba
Pada tahun 1967, MRPS memberhentikan Soekarno sebagai presiden dan dia digantikan oleh Soeharto. Soeharto adalah seorang presiden yang dikenal karena masa kekuasaannya yang panjang dan karakteristik pemerintahannya yang otoriter.
Salah satu oposisi pemerintahan Soeharto yang otoriter adalah Abdurahman Wahid atau yang lebih dikenal sebagai Gusdur. Greg Barton dalam bukunya Biografi Gus Dur mengutip bahwa tokoh yang ditelitinya pernah mengatakan bahwa Soeharto memerintah Indonesia bak seorang Raja Jawa.
Hal tersebut barang tentu tidak keluar tanpa dasar. Thornton dan David Leonard menerbitkan tesis pada 1972 berjudul Javanization of Indonesian Politics etnis Jawa mendominasi banyak posisi penting dalam pemerintahan. Sebagai kelas penguasa mereka menjalankan pemerintahan yang terpusat yang dipengaruhi oleh kultur politik mereka sendiri yang tersentralisasi.
Kronologi Lengkap Dugaan Perselingkuhan Inara Rusli dan Insanul Fahmi, Suami Wardatina Mawa
Dengan demikian pembangunan hanya terjadi di suatu daerah saja. Salah urus merupakan hal yang lumrah dalam sistem pemerintahan yang otoriter; eksploitasi SDA yang berlebihan, pengabaian terhadap penduduk lokal, dan represi aparat menyebabkan ketidakpuasan di berbagai daerah.
Situasi tersebut juga makin diperparah ketika program transmigrasi etnis Jawa dicanangkan oleh pemerintah Orde Baru. Dengan demikian memicu masyarakat daerah merasa cemburu dan tersaingi.
Kemunculan GAM pada tahun 1976 berikut OPM yang muncul pada tahun 1969 merupkan puncak daripada ketidakpuasan daerah. Alih-alih menjalankan dialog, Jakarta merespons keras ketidakpatuhan daerah dengan menerapkan DOM di kedua wilayah tersebut.
DOM memang menyebabkan korban jiwa, namun hal itu belum seberapa dibandingkan korban jiwa yang muncul ketika Orba runtuh.
Efek dari kebijakan salah urus Orba selama 3 dekade mewariskan perang antar etnis lainnya pada akhir dekade 90-an; sebut saja beberapa contoh disamping Aceh dan Papua seperti konflik di Poso dan konflik di Sampit.
Akhir "Jawanisasi"
Meskipun sebentar, Indonesia pernah memiliki seorang presiden yang bukan berasal dari Jawa. Habibie yang berasal dari Sulawesi menggantikan Soeharto pada Mei 1998.
Dengan cepat, Habibie membuka kran demokrasi yang dahulu terkekang semasa pemerintahan Soeharto. Salah satu UU yang paling vital dirumuskan presiden ke-3 itu adalah Tap MPR No. XV/MPR/1998, tentang penyelenggaraan Otonomi daerah.
Para penerus Habibie juga turut meredakan permasalahan "Jawanisasi" tersebut karena munculnya kompromi dengan daerah.
Sebagai contoh, Gus Dur mempraaksarai pembentukan Otonomi Khusus Papua berikut membolehkan pengibaran bendera Bintang Kejora di Papua selama tidak lebih tinggi dari pada bendera Merah Putih dan konflik antara GAM-RI juga menemui titik terangnya ketika MOU ditandatangani yang mana mengembalikan otonomi berikut status daerah istimewa Aceh.
Penulis: Muhamad Wafi Fahriawan
Mahasiswa Sejarah Universitas Negeri Malang










