Kisah Fientje de Feniks, Wanita Penghibur Tersohor Batavia yang Hidupnya Berakhir Tragis
JAKARTA, celebrities.id - Bagi Anda yang gemar mengulik sejarah, khususnya terkait kehidupan sosial di Batavia pada era kolonialisme, mungkin tak asing dengan nama Fientje de Feniks.
Sosoknya turut diceritakan dalam novel legendaris milik Pramoedya Ananta Toer berjudul Rumah Kaca. Namun, namanya disamarkan menjadi Rientje de Roo dan penggambarannya pun tidak spesifik.
Nama Fientje begitu tersohor sebagai seorang pekerja seks atau wanita tuna susila (WTS) di Batavia. Wanita yang memiliki paras yang terbilang sangat cantic ini bekerja di Oemar Ompong, sebuah rumah bordil di Batavia. Fientje adalah peranakan Eropa, dengan wajah indo yang amat memikat.
Tak heran jika banyak pria tergila-gila dan ingin melewati malam dengannya. Pelanggan Fientje sebagian besar adalah para pejabat tinggi Belanda dan orang-orang yang memiliki jabatan penting di Batavia.
Berbagai sumber menyebut, Fientje memiliki kulit putih bersih dengan rambut panjang berombak. Di kala usianya baru menginjak 19 tahun, dia sudah menjadi wanita penghibur termasyhur di Batavia. Dia juga mematok tarif selangit bagi siapa pun yang ingin menggunakan jasanya.
Kemasyhuran Fientje sebagai wanita penghibur terhenti pada 17 Mei 1912. Dia ditemukan tewas di wilayah Senen, tepatnya di Kali Baru. Kematian Fientje yang sangat misterius ini menjadi berita besar dan mengguncangkan Hindia Belanda. Ada dua surat kabar, yaitu Soerabaische Handelsblad dan Het Niews van den dag voor Nederlandsch Indie, yang meliput dan memuat berita kematian perempuan menawan itu.
Jasad Fientje ditemukan dengan menggunakan sarung dan kebaya. Kematiannya ini merupakan kasus kekerasan hingga menyebabkan kematian pertama yang menyasar wanita penghibur di Batavia. Itulah mengapa, kematian Fientje menyita perhatian khalayak luas ketika itu.
Melansir VOI, bukti fisik yang terlihat di tubuh Fientje menunjukkan bahwa dia tewas akibat dicekik. Setelahnya, pihak kepolisian langsung melakukan pengusutan dan memanggil pemilik rumah bordil, Oemar, sebagai saksi.
Ketika dimintai keterangan, dia terlihat takut saat menyebutkan nama seorang Belanda bernama Gemser Brinkman. Kecurigaan pun mengarah ke tuan Belanda itu.
Selama Fientje hidup, Brinkman termasuk sering mengunjungi rumah pelacuran Oemar. Meskipun banyak perempuan yang siap melayaninya, namun Brinkman tetap memilih Fientje dan enggan tidur dengan yang lain.
Lambat laut, Oemar merasa Brinkman memiliki niat lain dengan ingin menjadikan Fientje sebagai perempuan simpanan. Oemar menolak keinginan Brinkman tersebut dan terjadilah pembunuhan mengenaskan itu.
Mendengar pernyataan Oemar, polisi tak serta merta percaya. Namun, ada satu keterangan pendukung yang kemudian menegaskan bahwa Brinkman adalah dalang pembunuhan Fientje. Ialah Rosna, rekan Fientje di rumah bordil Oemar.
Rosna menyatakan bahwa Brinkman telah kehilangan akal sehatnya dan mencekik Fientje hingga tewas. Brinkman lalu menyuap Sabaroedin, sang wedana di Weltevreden dengan nilai 3 ribu gulden. Dia juga memberikan uang sogokan kepada Asisten Kepala Kejaksaan sebesar 2 ribu gulden.
Sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya dia akan jatuh juga. Begitu bunyi pepatah yang cocok disematkan kepada Brinkman. Usahanya untuk menyuap pihak-pihak terkait tak membuahkan hasil. Saksi yang memberikan keterangan justru semakin memojokkannya.
Akhirnya, dia divonis penjara dan diganjar hukuman mati. Sebelum tiba di hari eksekusi, Brinkman bunuh diri akibat depresi.




