Mengenal Hari Raya Galungan dan Kuningan, Perayaan Besar Umat Hindu

Mengenal Hari Raya Galungan dan Kuningan, Perayaan Besar Umat Hindu

Gaya Hidup | BuddyKu | Selasa, 7 Juni 2022 - 11:17
share

JAKARTA, celebrities.id Hari Raya Galungan dan Kuningan merupakan hari besar suci umat Hindu yang jatuh setiap enam bulan sekali.

Pada Hari Raya Galungan, umat Hindu memperingati terciptanya alam semesta jagat raya beserta seluruh isinya. Galungan juga sebagai bentuk peringatan kemenangan dharma atau kebaikan melawan adharma atau kejahatan.

Di tahun 2022 ini, Hari Raya Galungan jatuh pada tanggal 8 Juni dan diikuti Hari Raya Kuningan pada tanggal 18 Juni.

Untuk mengetahui lebih lanjut, berikut ini celebrities.id telah merangkum mengenai Hari Raya Galungan dan Kuningan dari berbagai sumber, Selasa (7/6/2022).

Mengenal Hari Raya Galungan dan Kuningan

Hari Raya Galungan dirayakan oleh umat Hindu setiap enam bulan Bali (210 hari), yaitu pada hari Budha Kliwon Dungulan (Rabu Kliwon wuku Dungulan) sebagai hari kemenangan Dharma (kebenaran) melawan Adharma (kejahatan). Perayaan Hari Raya Galungan biasanya identik dengan penjor atau bambu yang sudah dihias yang menghiasi jalan raya di tepi jalan.

Galungan juga dapat dimaknai sebagai bentuk keheningan atas kemakmuran dan kesejahteraan yang dilimpahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Inti Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran dan pendirian yang terang. Dengan bersatunya rohani dan pikiran yang terang inilah wujud dharma dalam diri.

Asal Usul Galungan dan Kuningan

Galungan diambil dari bahasa Jawa Kuno yang artinya bertarung atau disebut juga \'dungulan\' yang artinya menang. Perbedaannya dalam penyebutan yakni Wuku Galungan (di Jawa) dan Wuku Dungulan (di Bali), namun artinya sama yaitu wuku yang kesebelas.

Sementara Hari Raya Kuningan sering disebut Tumpek Kuningan. Kuning dalam kata Kuningan memiliki arti berwarna kuning dan wuku yang ke 12. Wuku adalah kalender Bali yang mana perhitungannya 1 wuku sama dengan 7 hari dan 1 tahun kalender wuku terdapat 420 hari.

Mengutip dari situs Kabupaten Buleleng, asal usul Hari Raya Galungan memang sulit dipastikan kapan tepatnya pertama kali diadakan, oleh siapa dan di mana. Namun Hari Raya Galungan diperkirakan sudah dirayakan oleh umat Hindu di seluruh Indonesia sebelum populer di Pulau Bali.

Sementara menurut lontar Purana Bali Dwipa, Hari Raya Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat (Budha Kliwon Dungulan) di tahun 882 Masehi atau tahun Saka 804. Lontar tersebut berbunyi:
Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali rajya.

Artinya: Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.

Lontar sendiri bisa disebut ibarat pustaka suci (yang disucikan) / kitab pedoman dan disimpan oleh umat Hindu.

Galungan dan Kuningan dirayakan sebanyak dua kali dalam setahun kalender Masehi. Jarak antara Galungan dan Kuningan adalah 10 hari. Perhitungan perayaan kedua hari raya tersebut berdasarkan kalender Bali. Galungan setiap hari Rabu pada wuku Dungulan. Sementara Kuningan setiap hari Sabtu pada wuku Kuningan.

Rangkaian Hari Raya Galungan dan Kuningan

1. Tumpek Wariga

Tumpek Wariga jatuh 25 hari sebelum Galungan. Pada hari Tumpek Wariga Ista Dewata yang dipuja adalah Sang Hyang Sangkara sebagai Dewa Kemakmuran dan Keselamatan Tumbuh-tumbuhan. Adapun tradisi masyarakat untuk merayakannya adalah dengan menghaturkan banten (sesaji) yang berupa Bubuh (bubur) Sumsum berwarna seperti bubuh putih untuk umbi-umbian, bubuh bang untuk padang-padangan, bubuh gadang untuk bangsa pohon yang berkembangbiak secara generatif, dan bubuh kuning untuk bangsa pohon yang berkembangbiak secara vegetatif.

Pada hari Tumpek Wariga, semua pepohonan akan disirami tirta wangsuhpada/air suci yang dimohonkan di sebuah Pura/Merajan dan diberi sesaji berupa bubuh tadi disertai canang pesucian, sesayut tanem tuwuh, dan diisi sasat.

2. Sugihan Jawa

Sugihan Jawa (Sugi dan Jawa) memiliki arti bersih, suci dan Jawa artinya luar. Secara singkat, Sugihan Jawa adalah hari pembersihan/penyucian segala sesuatu yang berada di luar diri manusia (Bhuana Agung). Pada hari ini umat Hindu melaksanakan upacara yang disebut Mererebu atau Mererebon.

Upacara Ngerebon ini dilaksanakan dengan tujuan untuk nyomia/menetralisir segala sesuatu yang negatif yang berada pada Bhuana Agung disimbolkan dengan pembersihan Merajan, dan Rumah.

3. Sugihan Bali

Sugihan Bali memiliki makna pembersihan diri sendiri/Bhuana Alit. Tata cara pelaksanaannya adalah mandi, melakukan pembersihan secara fisik, dan memohon Tirta Gocara kepada Sulinggih sebagai simbolis penyucian jiwa raga untuk menyongsong hari Galungan yang sudah semakin dekat. Sugihan Bali dirayakan setiap hari Jumat Kliwon wuku Sungsang.

4. Hari Penyekeban

Hari Penyekeban memiliki makna filosofis "nyekeb indriya" yang berarti mengekang diri agar tidak melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan oleh agama. Hari Penyekeban dirayakan setiap Minggu Pahing wuku Dungulan.

5. Hari Penyajan

Penyajan berasal dari kata Saja yang dalam bahasa Bali artinya benar, serius. Hari Penyajan dirayakan untuk memantapkan diri sebelum perayaan hari raya Galungan. Menurut kepercayaan, pada hari Penyajan umat akan digoda oleh Sang Bhuta Dungulan untuk menguji sejauh mana tingkat pengendalian diri umat Hindu untuk melangkah lebih dekat lagi menuju Galungan. Hari ini dirayakan setiap Senin Pon wuku Dungulan.

6. Hari Penampahan

Hari Penampahan jatuh sehari sebelum Galungan, tepatnya pada hari Selasa Wage wuku Dungulan. Pada hari ini, umat akan disibukkan dengan pembuatan penjor sebagai ungkapan syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugerah yang diterima selama ini. Penjor dibuat dari batang bambu melengkung yang diisi hiasan sedemikian rupa.

Selain membuat penjor, umat Hindu juga menyembelih babi yang dagingnya akan digunakan sebagai pelengkap upacara. Penyembelihan babi ini juga mengandung makna simbolis membunuh semua nafsu kebinatangan yang ada dalam diri manusia.

7. Hari Raya Galungan

Di pagi hari umat telah memulai upacara untuk Galungan yang dimulai dari persembahyangan di rumah masing-masing hingga ke Pura sekitar lingkungan. Tradisi yang kerap kita jumpai pada Galungan adalah Tradisi Pulang Kampung , umat yang berasal dari daerah lain, seperti perantauan akan menyempatkan diri untuk sembahyang ke daerah kelahirannya masing-masing.

8. Hari Umanis Galungan

Pada Hari Umanis Galungan, umat akan melaksanakan persembahyangan dan dilanjutkan dengan Dharma Santi dan saling mengunjungi sanak saudara atau tempat rekreasi. Umanis Galungan jatuh pada hari Kamis Umanis wuku Dungulan.

9. Hari Pemaridan Guru

Pemaridan Guru berasal dari kata Marid dan Guru. Memarid sama artinya dengan ngelungsur/nyurud (memohon), dan Guru tiada lain adalah Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Pada hari ini dilakukan nyurud/ngelungsur waranugraha dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Siwa Guru. Dirayakan pada Sabtu Pon wuku Galungan.

10. Ulihan

Ulihan artinya pulang atau kembali. Dalam konteks ini yang dimaksud adalah hari kembalinya para dewata-dewati/leluhur ke kahyangan dengan meninggalkan berkat dan anugrah panjang umur. Dirayakan pada Minggu Wage wuku Kuningan.

11. Hari Pemacekan Agung

Makna pemacekan agung ini adalah sebagai simbol keteguhan iman umat manusia atas segala godaan selama perayaan hari Galungan. Hari Pemacekan Agung dirayakan pada Senin Kliwon wuku Kuningan.

12. Hari Kuningan

Hari Suci Kuningan dirayakan umat dengan cara memasang tamiang, kolem, dan endong. Keunikan Hari Raya Kuningan selain penggunaan warna kuning adalah persembahyangan harus sudah selesai sebelum jam 12 siang. Sebab, persembahan dan persembahyangan setelah jam 12 siang hanya akan diterima Bhuta dan Kala karena para Dewata semuanya telah kembali ke Kahyangan. Warna kuning yang identik dengan hari raya Kuningan memiliki makna kebahagiaan.

13. Hari Pegat Wakan

Hari ini adalah runtutan terakhir dari perayaan Galungan dan Kuningan yang dilaksanakan dengan cara melakukan persembahyangan, dan mencabut penjor yang telah dibuat pada hari Penampahan. Penjor tersebut dibakar dan abunya ditanam di pekarangan rumah. Pegat Wakan jatuh pada hari Rabu Kliwon wuku Pahang, sebulan setelah galungan.

Topik Menarik