Daripada Berlomba-lomba Punya Anak, Orang Korea Selatan Justru Pilih Child Free, Kenapa?

Daripada Berlomba-lomba Punya Anak, Orang Korea Selatan Justru Pilih Child Free, Kenapa?

Gaya Hidup | indozone.id | Rabu, 18 Mei 2022 - 16:18
share

Ketimbang berlomba-lomba untuk memiliki keturunan, orang-orang di Korea Selatan--negara yang kini tengah memengaruhi budaya di banyak dunia lewat gelombang Korean Wave--justru memilih untuk hidup child free (tidak memiliki anak).

Bahkan, sebagaimana dilansir Reuters, sekitar 52 persen orang Korea Selatan yang berusia 20 tahunan, tidak berencana untuk memiliki anak ketika mereka menikah.

Angka tersebut melonjak dari 29 persen pada tahun 2015, menurut survei yang dilakukan pada 2020 oleh kementerian gender dan keluarga negara tersebut.

Bekukan Sel Telur

Ilustrasi perempuan menggendong bayi. (Freepik)
Ilustrasi perempuan menggendong bayi. (Freepik)

Alternatif lain yang mereka lakukan adalah menunda memiliki anak. Hal itu karena tingginya biaya perumahan dan pendidikan di negara itu.

Lim Eun-young, seorang pegawai negeri berusia 34 tahun, mengaku bahwa dirinya belum siap untuk membangun sebuah keluarga karena memikirkan biaya.

Di sisi lain, karena ia khawatir usia sel telurnya "kedaluwarsa", ia pun memutuskan untuk membekukan beberapa sel telurnya pada November 2021 lalu.

Lim hanyalah satu dari sekitar 1.200 perempuan lajang yang belum menikah yang menjalani pembekuan sel telur tahun lalu di CHA Medical Center. CHA adalah jaringan klinik kesuburan terbesar di Korsel dengan sekitar 30 persen pasar in vitro vertiization (IVF) atau proses bayi tabung.

"Jalan ini melegakan dan memberi saya ketenangan pikiran, bahwa saya memiliki sel telur sehat yang dibekukan di sini," kata Lim.

Membekukan telur untuk menunda waktu reproduksi adalah pilihan yang semakin banyak dieksplorasi oleh perempuan di seluruh dunia. Namun di Korsel, sebagai salah satu negara dengan tingkat kesuburan terendah di dunia, lonjakan dramatis angka perempuan yang menggunakan layanan CHA sangat melegakan beban ekonomi dan kendala sosial yang mengarah pada keputusan untuk menunda atau bahkan tidak memiliki anak.

Tingkat kesuburanjumlah rata-rata anak yang lahir dari seorang perempuan selama masa reproduksinyadi Korsel hanya 0,81 tahun lalu, dibandingkan dengan tingkat rata-rata 1,59 di negara-negara OECD pada tahun 2020.

Angka itu juga terlepas dari jumlah yang sangat besar yang dikeluarkan oleh otoritas Korsel untuk subsidi dan tunjangan untuk keluarga dengan anak-anak.

Pemerintah Korsel menganggarkan 46,7 triliun won (sekitar Rp530,6 triliun) tahun lalu untuk mendanai kebijakan yang ditujukan untuk mengatasi tingkat kelahiran yang rendah di negara itu.

Pendidikan Mahal

Ilustrasi perempuan menggendong bayi. (Freepik)
Ilustrasi perempuan menggendong bayi. (Freepik)

Keengganan warga Korsel untuk memiliki anak utamanya disebabkan sistem pendidikan yang sangat kompetitif dan mahal, bukan hanya untuk sekolah tetapi juga les privat bagi kebanyakan anak sejak usia dini.

"Kami mendengar dari pasangan yang sudah menikah dan menonton acara TV realitas tentang betapa mahalnya membesarkan anak dalam hal biaya pendidikan dan segalanya, dan semua kekhawatiran ini diterjemahkan menjadi lebih sedikit pernikahan dan bayi," kata Lim.

Biaya perumahan juga melonjak. Rata-rata apartemen di Seoul, misalnya, menelan biaya sekitar 19 tahun dari pendapatan rumah tangga tahunan rata-rata Korsel, atau naik dari 11 tahun pada 2017.

Cho So-Young, seorang perawat berusia 32 tahun di CHA yang berencana untuk membekukan telurnya Juli mendatang, juga ingin berada di kondisi finansial yang lebih baik sebelum memiliki anak.

"Jika saya menikah sekarang dan melahirkan, saya tidak bisa memberi bayi saya lingkungan seperti yang saya miliki ketika saya tumbuh dewasa. Saya ingin perumahan yang lebih baik, lingkungan yang lebih baik, dan makanan yang lebih baik untuk dimakan," kata dia.

Tetapi bahkan ketika keuangan kurang menjadi pertimbangan, menikah dipandang sebagai prasyarat untuk memiliki anak di Korsel. Hanya 2 persen dari kelahiran di Korsel terjadi di luar nikah dibandingkan dengan rata-rata 41 persen di negara-negara OECD.

Sulit Dapatkan Donor Sperma

Sayuri dan bayi yang dilahirkannya lewat bank sperma. (Instagram @sayuriakon13)
Sayuri dan bayi yang dilahirkannya lewat bank sperma. (Instagram @sayuriakon13)

Faktanya, sementara perempuan lajang Korsel dapat membekukan sel telur mereka, mereka tidak dapat secara legal menerima donasi sperma dan melakukan penanaman embrio kecuali menikah.

Itulah masalah yang disorot oleh Sayuri Fujita, seorang selebriti Jepang dan ibu tunggal berbasis di Korsel yang harus kembali ke Jepang untuk donor sperma.

Menurut profesor studi kesejahteraan sosial di Seouls Women University Jung Jae-hoon, kebiasaan itu perlu diubah.

Ia mencatat pernikahan di Korsel turun rekor terendah 192.500 tahun lalu, atau menurun sekitar 40 persen dari satu dekade sebelumnya.

Bahkan ketika melihat tingkat pernikahan pada tahun 2019 untuk mengabaikan dampak pandemi, penurunannya masih sangat besar yaitu 27 persen.

"Setidaknya yang bisa dilakukan pemerintah adalah tidak menghalangi orang-orang di luar sana yang bersedia menanggung beban keuangan untuk memiliki bayi," ujar dia.

Artikel Menarik Lainnya:

Topik Menarik