Ki Juru Martani Sosok yang Tidak Haus Kekuasaan

Ki Juru Martani Sosok yang Tidak Haus Kekuasaan

Gaya Hidup | netralnews.com | Minggu, 15 Mei 2022 - 08:31
share

MALANG, NETRALNEWS.COM - Beberapa hari ini masyarakat Indonesia disuguhi oleh pemberitaan bahwa beberapa menteri Presiden Jokowi (Joko Widodo) tidak fokus dengan pekerjaaannya sebagai menteri yang notabene sebagai pembantu presiden yang bertugas mengaplikasikan program-program progresif presiden, tetapi malah sibuk dengan pencitraan dirinya dengan sering muncul di media massa yang disinyalir hanya mengejar kepentingan pribadi politik jangka pendek dengan menggunakan fasilitas negara sebagai menteri yakni ingin mencalonkan diri sebagai presiden pada Pemilu 2024.

Banyak media yang menganjurkan apabila mereka ingin mencalonkan diri sebagai presiden ada baiknya mereka secara jantan dan legowo mundur dari jabatannya sebagai pembantu presiden.

Apabila kita berkaca dari sejarah Mataram Islam dengan menengok ke belakang pada abad ke-16, maka kita akan menemukan sosok yang sederhana, cerdas, penasihat ulung bak Krisna dalam pewayangan Mahabarata dan tidak ambisius mengejar kekuasaan. Dialah Ki Juru Martani.

Siapa sebenarnya dia? Dia adalah sepupu sekaligus ipar dari Ki Ageng Pemanahan, ayahanda Senapati. Ki Juru Martani atau dikenal Tumenggung Mandaraka sepeninggal Ki Ageng Pemanahan ialah penasihat tiga generasi raja Mataram yakni Senapati, Ayakrawati dan Sultan Agung.

Kemunculan Ki Juru Martani diawali ketika dia bersama Ki Pemanahan dan Ki Penjawi mengikuti sayembara yang digelar raja Pajang, Adiwijaya (Pajang sekarang di daerah Surakarta). Sayembara itu isinya siapapun yang berhasil membinasakan Arya Penangsang adipati Jipang (sekarang di Blora) maka akan mendapatkan hadiah dua tanah perdikan yakni Daerah Pati dan Alas Mentaok.

Karena kejelian dan kepintaran Ki Juru Martani yang juga diberi julukan king maker, Arya Penangsang yang mempunyai kesaktian luar biasa (kebal oleh senjata apapun) karena menjadi murid kesayangan Sunan Kudus dapat dikalahkan. Dia akhirnya tewas tertusuk di perutnya oleh tombak Kiai Plered dalam perang berkuda dengan Sutawijaya, kelak bernama Senapati yang dilibatkan dalam perang tersebut.

Setelah kemenangan perang itu, Ki Penjawi mendapatkan Pati, dan beberapa lama kemudian Ki Pemanahan mendapatkan Alas Mentaok. Beruntung Ki Penjawi mendapatkan daerah Pati (sekarang Kabupaten Pati Jawa Tengah) karena sudah berpenduduk 10.000 sehingga sudah terbentuk sebuah perkotaan.

Dia tinggal menikmati kekuasaan dan kejayaan. Sementara Ki Pemanahan harus mutung (kesal) dulu karena Adiwijaya tidak segera memberikan Alas Mentaok kepadanya.

Raja Pajang itu khawatir terhadap ramalan Sunan Giri menjadi kenyataan. Sunan yang saat itu berwenang pemberi restu raja-raja Jawa yang berkuasa di Jawa, pernah meramalkan apabila sekarang Mataram menjadi vasal (bawahan) Pajang maka besok dibalik, Pajang menjadi vasal Mataram.

Untuk itulah Adiwijaya mengulur-ulur waktu sehingga Ki Pemanahan tidak segera mendapat Alas Mentaok. Baru setelah Ki Pemahan bertapa di Kembang Lampir (sekarang di Gunungkidul, DIY) Sunan Kalijaga turung gunung dan menasihati Adiwijaya agar segera memberikan Alas Mentaok (kelak setelah dirambah menjadi Kerajaan Mataram) dengan janji Ki Pemanahan setia kepada Raja Pajang.

Nasihat Sunan Kalijaga itulah yang meluluhkan kerasnya hati Adiwijaya untuk segera menyerahkan Alas Mentaok kepada Ki Pemanahan.

Lalu apa yang didapat Ki Juru Martani dari kerja kerasnya sebagai anggota tim dalam mengalahkan Arya Penangsang?

Dia tidak mendapatkan kekuasaan apa-apa, tidak mendapatkan wilayah manapun, tidak mendapatkan jabatan sebagai adipati dan sebagainya. Dia cukup legowo sebagai pendamping Ki Pemanahan dalam menyulap hutan belantara menjadi sebuah perkampungan dan mentransformasi menjadi sebuah kadiapten.

Pada tahun 1582, Ki Pemanahan meninggal dunia. Segera Ki Juru Martani esok harinya mengajak Senapati menghadap Raja Pajang, Adiwijaya. Karena hari itu hari Senin maka Ki Juru Martani dan Senapati tapa pepe di bawah pohon beringin Alun-alun Utara Kerajaan Pajang.

Setelah beberapa lama, mereka dipertemukan dengan Raja Adiwijaya dan menceriterakan bahwa Ki Pemanahan telah wafat.

Raja Pajang kemudian menyerahkan kekuasaan Mataram kepada Senapati anak angkatnya itu, dan memberikan gelar Panembahan Senapati. Sedangkan Ki Juru Martani diangkat sebagai penasihat resmi Senapati dengan gelar Tumenggung Mandaraka.

Berkat tangan dingin Ki Juru Martani, Senapati dapat menaklukkan musuh-musuhnya termasuk Pajang. Senapati dapat menyatukan kembali wilayah-wilayah Pajang yang melepaskan diri satu demi satu setelah sepeninggal Adiwijaya sebagai raja Pajang.

Penaklukkan- penaklukkan dilakukan Senapati dengan mudahnya karena dengan nasihat Ki Juru Martani. Di antaranya penaklukkan Pajang, Madiun, Mangir, kerajaan-kerajaan Bang Wetan dan pesisir utara Jawa.

Setelah berkuasa selama 15 tahun akhirnya Senapati mangkat atau meninggal dunia dan kekuasaan diturunkan kepada Anyakrawati.

Lalu Ki Juru mendapatkan jabatan apa? Dia tetap setia sebagai penasihat raja.

Bisa saja saat itu Ki Juru Martani meminta Anyakrawati untuk menjadi bupati di salah satu wilayah Mataram, tetapi itu tidak dilakukan karena dia sangat setia kepada pendiri Mataram untuk selalu di belakang layar demi suksesnya Kerajaan Mataram.

Dengan semua nasihat yang diberikan Ki Juru Martani Anyakarwati dapat meredam berbagai pemberontakan yang justru dilakukan oleh kerabatnya sendiri di antaranya Pangeran Puger dari Demak dan Pangeran Jayaraga Bupati Ponorogo.

Pada tahun 1613, Anyakrawati meninggal dunia dan takhta Mataram diturunkan kepada Sultan Agung.

Setelah menjadi penasihat utama Sultan Agung beberapa saat, sayangnya Ki Juru Martani akhirnya dipanggil Tuhan Yang Maha Esa.

Dia tidak pernah menjadi penguasa walaupun kesempatan itu ada di depan matanya. Apabila dia memang haus kekuasan bisa jadi dia meminta kepada raja menjadi bupati bawahan Mataram atau bahkan bisa merebut kekuasaan Mataram apabila dia memang mempunyai DNA sebagai pemberontak.

Dia adalah cerminan sosok yang setia, tidak haus kekuasaan dan kehormatan.

Yogyakarta Mei 2022

Penulis: Lilik Suharmaji

Founder Pusat Studi Mataram

Topik Menarik