Paradoks SEA Games, Lebih sebagai Kebersamaan Kawasan Ketimbang Kompetisi Olahraga

Paradoks SEA Games, Lebih sebagai Kebersamaan Kawasan Ketimbang Kompetisi Olahraga

Gaya Hidup | netralnews.com | Selasa, 10 Mei 2022 - 10:46
share

JAKARTA, NETRALNEWS.COM - Kendati beberapa hari terakhir ini kompetisi SEA Games 2021 di Vietnam sudah bergulir dengan empat medali emas pertama sudah dalam genggaman Malaysia, perhelatan olahraga Asia Tenggara edisi Vietnam ini baru dibuka resmi 12 Mei nanti.

SEA Games 2021 adalah ajang multi-cabang kawasan pertama yang diadakan di Asia pada era pandemi. Seharusnya diadakan tahun lalu, SEA Games di Vietnam ini ditunda satu tahun karena pandemi.

Sejak pertama kali diadakan dalam nama Pesta Olahraga Semenanjung Asia Tenggara (SEAP Games) pada 1959 atau delapan tahun sebelum Persatuan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) berdiri, SEA Games sudah 30 kali diadakan. Vietnam 2021 adalah edisi yang ke-31.

Namun, sampai terakhir diadakan di Filipina tiga tahun lalu pada 2019, pesta sukan satu kawasan ini diselimuti paradoks.

Di satu sisi, perhelatan ini menjadi simbol penguatan persahabatan dan kerja sama kawasan melalui Olimpiade skala kawasan dan digaungkan oleh liputan media yang besar dari periode ke periode. Di sisi lain, SEA Games hampir selalu identik dengan kontroversi dan masalah menyangkut sportivitas, terutama dalam hal pemilihan cabang olahraga oleh tuan rumah penyelenggara.

SEA Games sendiri mengompetisikan tiga kategori cabang olahraga.

Pertama, cabang-cabang wajib yakni atletik dan renang. Kedua, cabang-cabang yang dipertandingkan dalam Olimpiade dan Asian Games. Ketiga, cabang-cabang olahraga khusus Asia Tenggara yang berusaha dilestarikan kawasan ini.

Biasanya, panitia penyelenggara SEA Games mengubah cabang-cabang dalam dua kategori terakhir, dengan memasukkan sejumlah nomor atau cabang yang biasanya dianggap paling kuat menyumbangkan medali kepada tuan rumah demi memperbesar koleksi medali.

Praktik seperti ini memunculkan sinisme bahwa ternyata kepentingan nasional negara tuan rumah lebih besar ketimbang kepentingan mengapresiasi kinerja atlet dan bahkan kohesi kawasan.

Pada tahap tertentu malah membuat tujuan SEA Games dan aspirasi menjunjung aspek-aspek sportivitas menjadi urusan belakangan.

Praktik seperti itu terlihat tidak berkurang pada SEA Games 2021 di Vietnam.

Memang 40 cabang dan 500 nomor yang dipertandingkan pada Vietnam 2021 jauh lebih sedikit dibandingkan dengan Filipina 2019 yang mengompetisikan 56 cabang olahraga dan 530 nomor.

Namun, tetap saja, keputusan memangkas nomor-nomor Olimpiade dan Asian Games terus berlanjut, digantikan oleh nomor atau cabang yang memungkinkan tuan rumah memanen medali.

Demi potensi medali

Salah satu cabang Olimpiade yang tak akan dilombakan dalam SEA Games Vietnam adalah layar. Menurut Wakil Direktur Badan Olahraga Nasional Vietnam Tran Duc Phan, negaranya tidak memenuhi syarat untuk menyelenggarakan kompetisi dalam cabang olahraga ini.

Keputusan itu sontak menyumbat keran medali untuk Singapura yang merasa kekuatannya bakal berkurang karena layar tak dilombakan di Vietnam.

Cabang olahraga ini sudah mempersembahkan 55 medali emas, 50 medali perak dan 31 medali perunggu kepada Singapura, sejak cabang ini masuk SEA Games pada 1989.

Negara-negara lain juga begitu, termasuk Indonesia yang mengaku bakal kehilangan 30 potensi emas pada SEA Games Vietnam.

Asumsi ini didasarkan kepada hilangnya tujuh cabang yang menyumbangkan emas kepada Indonesia pada SEA Games 2019 karena cabang-cabang seperti traditional boat race, sambo, surfing, skateboarding, water polo, dan waterski tak dipersaingkan di Vietnam.

Tak hanya itu, sejumlah nomor yang mempersembahkan medali emas kepada Indonesia pada SEA Games 2019 tidak lagi dimainkan di Vietnam 2021.

Beberapa cabang olahraga seperti pencak silat, boling, judo, menembak, dan wushu juga tak mempertandingkan lagi nomor-nomor yang membuat Indonesia memperoleh medali emas pada SEA Games 2019.

Indonesia pun menjadi pragmatis dengan tidak terlalu banyak mengirimkan atlet dan hanya mengutus atlet-atlet yang memiliki rekam jejak prestasi yang tinggi nan pasti. Target yang dipasang pun tak ambisius. Hanya membidik empat besar.

Tetapi, sekalipun dihadapkan kepada paradoks seperti itu, pesta olahraga se-Asia Tenggara ini semakin populer saja.

Dari sekitar 800 atlet dan ofisial yang mengikuti ajang ini sewaktu masih bernama SEAP Games pada 1959 yang diikuti enam negara, kini SEA Games diikuti sebelas negara termasuk Timor Leste dan melibatkan 5.000-an atlet.

SEA Games juga sudah bisa mengompetisikan 30 sampai 40 cabang, bahkan di Filipina pada 2019 mencapai rekor 56 cabang olahraga. Tak cukup di situ. SEA Games juga mengundang puluhan juta penonton, sementara jutaan lainnya menyaksikannya secara online dan via televisi.

Anggaran yang dialokasikan pun cukup besar. Untuk SEA Games ke-31 ini, Vietnam menganggarkan dana 805 miliar dong (34 juta dolar AS). Angka ini telah dipangkas gara-gara pandemi dari semula 1 triliun dong (42,5 juta dolar AS).

Bahkan negara-negara miskin seperti Laos pada 2009 dan Myanmar pada 2013 berani mengeluarkan anggaran besar saat menjadi tuan rumah SEA Games.

Semua negara berlomba memompakan anggaran besar demi sebuah panggung raksasa di mana identitas nasional dan daerah diproyeksikan menjadi lebih mengglobal.

Untuk solidaritas kawasan

Kebanyakan panggung olahraga dunia acap tak lagi didekati lewat pendekatan sosial, budaya, dan sejarah, tetapi sudah melibatkan dimensi hubungan internasional dan gengsi ekonomi.

Tetapi SEA Games sejak lama difungsikan untuk memperkuat solidaritas kawasan.

Dan tak seperti Olimpiade, SEA Games mengutamakan transaksi budaya, bukan prinsip-prinsip keunggulan olahraga.

Asumsi ini tergambar jelas pada prinsip penggiliran hak menjadi tuan rumah SEA Games di mana tuan rumah berhak menyeleksi cabang-cabang olahraga berdasarkan seberapa besar potensinya dalam menyumbangkan medali kepada tuan rumah.

Ironisnya strategi ini ditujukan demi mengamankan pendanaan pemerintah.

Sedemikian pentingnya prinsip kohesi kawasan, sampai prinsip-prinsip olahraga konvensional, seperti prestasi atletik, sportivitas dan kesetaraan kondisi kompetisi pun menjadi urusan belakangan.

Namun mirip ASEAN, SEA Games memang lebih difungsikan sebagai sarana menata keberagaman di Asia Tenggara.

Faktanya, tak seperti Uni Eropa, negara-negara Asia Tenggara lebih heterogen dari sisi politik. Ada demokrasi liberal, ada sosialisme komunis berpartai tunggal, ada pula yang diperintah junta.

Pun dalam corak budaya. Ada berpenduduk mayoritas muslim (Indonesia, Malaysia dan Brunei), mayoritas Katolik (Filipina), dan mayoritas Budha (Singapura, Thailand, Myanmar, Laos dan Kamboja), sementara mayoritas Vietnam bukan penganut agama-agama besar, melainkan pengikut apa yang disebut agama rakyat atau folk religion.

Oleh karena itu, dalam perbedaan sedemikian besar ini, ASEAN lebih merupakan ajang konsultasi ketimbang solusi masalah seperti ditemui pada Uni Eropa.

ASEAN menolak campur tangan dalam urusan domestik masing-masing. Sebaliknya menjunjung kedaulatan nasional masing-masing yang membuat sejumlah masalah regional tak diatasi cepat, termasuk junta Myanmar yang menggulingkan pemerintahan sah dan kemudian memicu konflik berdarah di negeri itu.

Dalam sistem regional seperti ini, yang lebih dipentingkan adalah mengakomodasi perbedaan guna menguatkan homogenitas sehingga tercipta rasa yang satu atau kebersamaan.

Akibatnya, konflik dan kontroversi diredam sedapat mungkin, persis sering terjadi pada SEA Games di mana laku tidak sportif acap tak bisa diatasi yang dalam tahap-tahap tertentu malah dimaklumi.

Meskipun demikian, sepertinya ada konsensus di Asia Tenggara bahwa olahraga adalah tempat yang tepat dalam mengakomodasi konflik.

Tak heran, SEA Games lebih dilihat dari perspektif kebersamaan kawasan ketimbang kompetisi olahraga an sich . Entah sampai kapan.

Penulis: Jafar M Sidik

Topik Menarik