Normalsegelapparat,  Pesawat Terbang Rintisan

Normalsegelapparat, Pesawat Terbang Rintisan

Gaya Hidup | koran-jakarta.com | Senin, 9 Mei 2022 - 00:00
share

Dalam menciptakan pesawat, Wright bersaudara berutang budi pada Otto Lilienthal yang menciptakan pesawat layang. Untuk mengenang jasanya, salah satu hasil karya direstorasi dan dipamerkan pada sebuah museum di Amerika Serikat.

Sebelum Wright bersaudara (Wilbur Wright dan Orville Wright) berhasil menerbangan pesawat pada 17 Desember 1903 di Kitty Hawk, North Carolina, Amerika Serikat (AS), Karl Wilhelm Otto Lilienthal telah menciptakan alat yang bisa terbang berupa pesawat layang (glider). Dengan sayap yang dibuat menyerupai sayap burung, pada April 1896 alat itu mampu terbang dari ketinggian.
Di AS William Randolph Hearst, maestro penerbitan New York Journal membeli glider dari Lilienthal yang diberi nama Normalsegelapparat atau peralatan melayang normal. Tujuannya untuk membangkitkan antusiasme terhadap penerbangan manusia serta meningkatkan sirkulasi surat kabar saat itu.
Hearst sampai saat ini dikenal sebagai satu-satunya orang AS yang memiliki glider dari Lilienthal, yang dikenal sebagai perintis penerbangan manusia. Pesawat pendahuluan yang masih primitif, diuji di beberapa lokasi di Pantai Timur, termasuk kawasan Staten Island.
Untuk mengemudikan glider, Hearst mengundang atlet New Jersey, Harry Bodine. Ia diminta untuk melakukan beberapa penerbangan, bersama dengan artis William Francis "Frank" Ver Beck, yang dikenal sebagai seniman gambar hewan komedi untuk majalah popular.
Untuk menerbangkan pesawat layang itu, seorang pilot harus memegang pegangan yang melekat pada sayap. Pesawat akan didorong dengan kaki dari puncak bukit seperti gantole atau layang gantung. Membubung dalam jarak pendek dengan kaki menjuntai, pilot akan menggeser berat badannya dalam mengarahkan pesawat dan teknik ini masih berlaku hingga sekarang.
Dalam penerbangan yang mulus, pesawat layang Normalsegelapparat akan terbang beberapa ratus kaki dan kemudian mendarat di tanah. "Tontonan seorang pria yang ditopang dengan sayap putih besar, bergerak tinggi di atas Anda dengan kecepatan kuda balap, dikombinasikan dengan dengungan aneh angin melalui tali mesin, menghasilkan kesan yang tidak akan pernah terlupakan," lapor seorang saksi mata yang antusias terhadap bidang aviasi.

Pelajari Sayap Burung
Bagaimana Otto Lilienthal menciptakan alat glider yang dapat terbang sejauh itu pada 1896? "The Flying Man", demikian orang menjulukinya menemukan ilmu aerodinamika sayap layang dengan mempelajari penerbangan burung. Untuk mengetahuinya, konsep sayap burung salah satu glider-nya yang saat ini tersimpan di Otto Lilienthal Museum di Kota Anklam, Jerman.
Penerbangan dengan pesawat layang buatan Lilienthal yang dibeli Hearst, tidak selamanya mulus. Pada penerbangan oleh Ver Beck pada 3 Mei 1896 menurut laporan New York Journal, mampu terbang hingga ketinggian 50 kaki atau 15,25 meter, namun kemudian beberapa kerangka sayapnya yang berbahan kayu pecah.
"Dia turun, tidak terlalu lambat atau sangat anggun," tulis media tersebut. Atas kejadian itu glider Lilienthal yang dimiliki Hearst, dianggap tidak aman dan disimpan.
Editor majalah Cosmopolitan, John Brisben Walker lalu membelinya dan menampilkan glider Lilienthal di acara pertama Aero Club of America. Kemudian, pada 1906, Smithsonian\'s National Air and Space Museum memperoleh glider itu sebagai sumbangan dari Walker.
Musim gugur ini, pengunjung Smithsonian\'s National Air and Space Museum dapat melihat pesawat layang gantung yang baru saja dilestarikan dengan pilot boneka dan harta berharga lainnya.
Christopher Moore, seorang kurator di departemen aeronautika, menyebut jumlah pesawat layang Lilienthal tidak lebih dari lima yang diketahui ada di dunia saat ini. Artefak terbang ini sangat penting sebelum penerbangan perdana pesawat Wright bersaudara itu.
"Glider Lilienthal adalah salah satu hal pertama yang akan Anda lihat saat masuk," kata Moore. "(Glider) itu seperti melompat ke arahmu. Itu sesuatu yang primitif, tetapi ada seorang pria yang menerbangkannya. Itu tepat di depan Anda," ujar dia. hay/I-1

Dunia Penerbangan Berutang pada "The Flying Man"

Bagi Karl Wilhelm Otto Lilienthal sebagai pembuat pesawat layang (glider) dengan nama Normalsegelapparat, penerbangan merupakan hal sangat penting dalam hidupnya.
"Menciptakan pesawat terbang bukanlah apa-apa," kata Lilienthal pada 1895. "Membangunnya adalah sesuatu. Tapi terbang adalah segalanya," demikian kalimatnya yang tertulis di sebuah foto yang tersimpan di Science & Society Picture Library, di London, Inggris.
Wright bersaudara (Orville Wright dan Wilbur Wright) pencipta pesawat terbang pertama yang menggunakan mesin dan dikendalikan manusia, terus mengawasi terobosan yang dilakukan Lilienthal di Jerman dari seberang samudra Pasifik di AS. Keduanya mempelajari apa yang dilakukannya untuk terbang.
"Dari semua orang yang merintis penerbangan pada abad ke-19, Otto Lilienthal adalah yang paling penting. Dia tanpa diragukan lagi adalah pelopor terbesar, dan dunia berutang besar padanya," tulis Wilbur Wright pada 1912.
Lahir pada 23 Mei 1848, di kota yang tidak diketahui di Jerman, Lilienthal disebut sebagai "The Flying Man". "Ia dikenal sebagai penerbang pertama yang berhasil melayang dalam sejarah umat manusia. Normalsegelapparat dirancang mirip seperti burung masih diterbangkan orang sampai hari ini," kata Christopher Moore, seorang kurator di departemen aeronautika
Menurut Moore, Lilienthal adalah seorang insinyur terlatih, yang berhasil meraih banyak penghormatan. "Dia dilihat sebagai orang yang akan memecahkan masalah," kata Moore. "Dia sangat berpengaruh, dia akan kuliah untuk kelompok ilmiah. Publik hanya berpikir itu hal yang keren bahwa orang ini melakukan penerbangan ini,"imbuh dia.
The Flying Man menemukan ilmu aerodinamika sayap dengan mempelajari penerbangan burung, oleh karenanya glider buatannya itu memang memiliki penampilan seperti burung. Hal itu disampaikan oleh Gustav Lilienthal, saudara Otto Lilienthal, dimana keduanya menulis buku berjudul Bird Flight as the Basis of Aviation: A Contribution Towards a System of Aviation.
Cara burung menggerakkan tubuh dengan sayapnya menjadi kunci yang memungkinkan manusia terbang. Lilienthal bahkan pernah mencoba membuat alat terbang yang sayapnya mengepak, walau percobaan itu kemudian gagal.
"Mereka menganalisis bagaimana burung terbang dan mencoba menerjemahkannya ke dalam penerbangan manusia," kata Moore. "Sayangnya, manusia tidak dibangun seperti burung sehingga mereka juga tidak bisa terbang seperti mereka," kata dia.
Usaha Lilienthal menciptakan pesawat layang dimulai pada 1891. Ia membuat sepuluh glider yang salah satunya kini tersimpan di Smithsonian\'s National Air and Space Museum. Mulai November 2019, pesawat itu menjalani konservasi modern selama 18 bulan untuk pemulihan agar kembali seperti awalnya pada 1896, termasuk mengembalikan kerusakan bekas kecelakaan yang pernah dialami.
"Ketika Ver Beck kehilangan kendali atas glider, dia merusak hampir setiap tulang rusuk di sisi kanan," kata Malcolm Collum, kepala konservator museum. "Setelah proyek konservasi selesai, Anda dapat melihat semua tulang rusuk yang patah di sisi kanan," kata Collum. "Sepertinya tidak banyak yang berubah sama sekali dalam satu abad terakhir," lanjut dia.
"Seperti yang terlihat sekarang, ini seakurat tahun 1896," kata Collum. "Anda dapat melihat bukti dari kecelakaan itu. Apa yang pada dasarnya kami ungkapkan adalah bagaimana tampilannya segera setelah kecelakaan itu," jelas dia.
Untuk melestarikan glider Lilienthal selama 126 tahun ke depan, adalah proses yang melelahkan dan rumit yang membalikkan beberapa ketidakakuratan dari pekerjaan restoratif sebelumnya. "Sayangnya, glider kami pernah menjadi sasaran dua restorasi yang sangat amatir di masa lalu," kata Collum. "Itulah yang kami lakukan pada dasarnya mengungkap dan membedah restorasi sebelumnya," ungkap dia.
Menurut catatan Smithsonian, seorang karyawan membangun kembali glider Lilienthal pada 1919. Tetapi untuk perawatan konservasi ini, kurator menetapkan bahwa penstabil horizontal telah hilang setelah kecelakaan, dan salinan yang dilakukan pada 1919 tidak akurat dan posisinya salah. Sirip vertikal asli terlalu rusak untuk dipasang kembali, sehingga disimpan di gudang.
"Tetapi tulang rusuk yang patah dari kecelakaan itu, yang merupakan bagian dari sejarah dan identitas glider tetap dipertahankan, " kata Collum. "Sebagai artefak yang langka dan istimewa, kami menganggap peristiwa seperti itu sebagai bagian dari sejarah operasionalnya," imbuh dia.
Sama seperti pesawat tempur yang kembali dan memiliki kerusakan tempur seperti lubang peluru, hal itu dianggap penting untuk diubah. Selama upaya restorasi sebelumnya, Collum mengatakan, banyak detail sejarah manufaktur yang terlewatkan. hay/I-1

Topik Menarik