Bid’ah Atau Sunah Salat Lailatul Qadar? Ini Hukum dan Penjelasannya

Bid’ah Atau Sunah Salat Lailatul Qadar? Ini Hukum dan Penjelasannya

Gaya Hidup | jawapos | Senin, 25 April 2022 - 07:11
share

JawaPos.com Pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan, umat muslim dianjurkan untuk memperbanyak amalan. Amalan sendiri bisa dilakukan dengan berbagai cara, seperti itikaf di masjid, salat sunah, tadarus Alquran, berdzikir dan ibadah sunah lainnya.

Dari salah satu ibadah tersebut, ada ibadah yang selama bertahun-tahun menjadi perdebatan. Adapun ibadah tersebut yakni salat sunah lailatul qadar. Terkait hal ini, terjadi perbedaan antara kalangan mutaqaddimin(klasik) maupun mutaakhirin(kontemporer). Salat sunah lailatul qadar menjadi perdebatan apakah itu bidah atau sunah.

Bagi kalangan yang menganggap bidah, melarang untuk melakukannnya dan berseloroh, tidak ada hadits Rasulullah, dan Rasulullah tidak pernah melakukan hal itu. Sementara bagi kalangan yang mengatakan hal itu sunah, justru menganjurkan untuk dilakukan. Bagaimana penjelasannya?

Dikutip dari NU Online, dalam kitab Riyadush Salihin, Imam Nawawi menulis suatu bab khusus tentang keutamaan beribadah pada lailatul (malam) qadar dan penjelasan tentang malam-malam yang paling diharapkan bisa bertepatan dengannya. Pada pembahasan awal Imam Nawawi menyampaikan hadits Rasulullah, yaitu: Artinya, Barang siapa beribadah pada lailatul qadar, karena iman dan mengharapkan pahala, maka dosanya yang telah berlalu akan diampuni (HR al-Bukhari dan Muslim).

Namun, hadits di atas masih terlalu umum untuk menghukumi sunah melakukan salat lailatul qadar. Tentu membutuhkan beberapa dalil yang lebih pas untuk menghukumi sunah melakukan salat lailatul qadar pada malam yang diharapkan bertepatan dengan malam istimewa tersebut.

Syekh Ismail Haqqi bin Musthafa al-Khalwati dalam kitab Khazinatul Asrar menyebutkan tentang cara shalat lailatul qadar. Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: : Artinya, Dari Ibnu Abbas radiyallahu anhuma, dari nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam, bahwa Rasulullah bersabda: Barang siapa melakukan shalat dua rakaat ketika lailatul qadar, dalam setiap rakaat membaca surat Al-Fatihah 1 kali, dan surat Al-Ikhlas 7 kali, setelah salam membaca istighfar 70 kali, maka ia tidak berdiri dari tempatnya sampai Allah mengampuni dosa-dosanya, dan dosa kedua orang tuanya. Allah subhanahu wataala akan mengutus malaikat untuk ke surga, menanam pohon untuknya dalam surga, membangunkan istana, dan mengalirkan sungai (dalam surga untuknya). Dan ia tidak akan mati sampai bisa melihat semua itu (Syekh Ismail Haqqi, Khazinatul Asrar Jalilatul Adzkar, h. 45).

Secara umum, hadits di atas sudah menyebutkan tata cara mengerjakan salat sunah ketika lailatul qadar. Hanya saja, tidak menyebutkan secara khusus niat salat pada malam tersebut; antara niat salat lailatul qadar, dan niat salat sunnah yang lain. Sehingga bisa diarahkan pada dua salat sunah, yaitu sunah mutlak dan sunah hajat.

Dalam keterangan yang lain, Syekh Ismail Haqqi menjelaskan lebih khusus terkait cara niat salat lailatul qadar. Beliau mengatakan: . Artinya, Ketika Rasulullah memasuki sepuluh hari (akhir dari bulan Ramadhan), beliau ikat erat sarungnya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya. Orang-orang saleh melakukan shalat dua rakaat pada malam tersebut, dengan niat menghidupkan lailatul qadar. Syekh Ismail Haqqi melanjutkan dengan mengutip pendapat Imam Abul Laits dan mempertegas bahwa niat shalat pada malam tersebut adalah shalat lailatul qadar. Artinya, Berkata Imam Abul Laits rahimahullah, paling sedikitnya jumlah lailatul qadar adalah 2 rakaat, paling banyaknya 1000 rakaat, dan yang sedang-sedang 100 rakaat. Paling ringannya bacaan setelah membaca surat Al-Fatihah pada setiap rakaat, yaitu membaca surat Al-Qadr 1 kali, surat Al-Ikhlas 3 kali, dan melakukan salam setiap selesai dua rakaat. Membaca shalawat pada Nabi Muhammad setelah salam, kemudian berdiri sampai ia menyempurnakan rakaat yang dikehendaki; bisa seratus, atau lebih sedikit dan lebih banyak. (Syekh Ismail Haqqi, Tafsir Ruhil Bayan, juz 10, h. 372).

Syekh Ismail Haqqi juga menegaskan dengan mengutip penjelasan dalam kitab al-Muhith, yaitu tidak dimakruhkan mengerjakan shalat sunnah lailatul qadar secara berjamaah. Beliau mengatakan:
Artinya, Dalam kitab al-Muhit, tidak dimakruhkan bermakmum pada imam dalam salat sunah mutlak. Seperti salat sunnah lailatul qadar, raghaib, malam pertengahan dari bulan Syaban, dan sesamanya. Karena, apa yang dinilai baik oleh orang mukmin, maka di sisi Allah juga bernilai baik. Oleh sebab itu, jangan mengikuti pendapat orang-orang yang tidak memiliki sifat senang terhadap ibadah, karena mereka seperti orang impoten yang tidak mengetahui kenyamanan bermunajat kepada Allah swt, serta tidak bisa merasakan manisnya taat dan keutamaan waktu. (Syekh Ismail Haqqi, Tafsir Ruhil Bayan, juz 10, h. 372).

Penjelasan Syekh Ismail yang terakhir perlu dibahas ulang. Pada penjelasan di atas, secara tersurat Syekh Ismail berpendapat bahwa salat sunah lailatul qadar kedudukannya sama dengan salat raghaib, malam pertengahan dari bulan Syaban, dan sesamanya. Sedangkan para fuqaha menganggap bahwa salat tersebut merupakan amalan bidah yang harus ditinggalkan, dan hadits yang dijadikan pijakan merupakan hadits batil yang sama sekali tidak pernah disampaikan oleh Rasulullah.

Seperti Syekh Zainuddin al-Malibari, secara tegas beliau mengatakan demikian. Dalam kitab Irsyadul Ibad dijelaskan: . . . Artinya, Termasuk perbuatan bidah tercela, dan pelakunya mendapatkan dosa, bahkan wajib bagi pemerintah untuk melarangnya, yaitu: shalat raghaib, yaitu shalat sunnah 2 rakaat antara waktu shalat isya dan maghrib pada malam Jumat pertama dari bulan Rajab, shalat malam 100 rakaat pada pertengahan bulan Syaban, shalat pada jumat akhir bulan Ramadhan, dengan niat mengganti shalat 5 waktu yang pernah ditinggalkan, dan shalat 4 rakaat atau lebih banyak pada hari Asyura. Sedangkan hadits-hadits yang menjelaskan tentang shalat tersebut merupakan hadits palsu (maudu), dan jangan tertipu pada orang-orang yang menganjurkannya (Syekh Zainuddin al-Malibari, Irsyadul Ibad ila Sabilir Rasyad, h. 68).

Salat Sunah Mutlak Tidak hanya itu, dalam kaidah fiqih dinyatakan, pokok dalam setiap ibadah, jika tidak dianjurkan, maka ibadahnya tidak sah. Dengan kaidah ini para fuqaha sepakat bahwa setiap ibadah yang landasan dalilnya tidak bisa dinyatakan valid, maka ibadahnya tidak sah, dan haram hukumnya. Lantas bagaimana cara agar salat lailatul qadar menjadi sah dan tidak haram?

Syekh Abdul Hamid al-Qudsi memberikan cara agar lebih berhati-hati dalam melakukan ibadah, sehingga tidak terjerumus pada ibadah yang batil. Dan cara ini tidak menghilangkan terhadap keutamaan sebagaimana shalat dengan menggunakan niat di atas.

kitab Kanzun Najah was Surur dijelaskan, .

Artinya, Barang siapa yang hendak melakukan salat pada waktu-waktu tersebut, maka hendaklah niat melakukan salat sunnah mutlak secara sendiri (tidak berjamaah), tanpa ada ketentuan jumlah (rakaat) tertentu. Dengan kata lain, salat sunnah mutlak tidak dibatasi dengan waktu, sebab, dan batasan rakaat shalat. (Syekh Abdul Hamid al-Qudsi, Kanzun Najah was Surur, h. 90).

Penjelasan Syekh Abdul Hamid di atas menjadi jalan tengah demi menghindari pendapat para ulama fiqih yang mengatakan bahwa, salat-salat sebagaimana yang telah disebutkan merupakan amaliah bidah madzmumah. Juga tidak menutup mata dan meninggalkan pendapat ulama yang menganjurkannya secara keseluruhan. Pendapat kedua ulama sama-sama diikuti tanpa mengesampingkan salah satu dari keduanya.

Topik Menarik