Rumah Sahabat Kocheng, Pernah Dicurigai Jual Kucing Buat Pakan Buaya
Budiyana adalah pendiri Rumah Sahabat Kocheng. Sebagai seorang aktivis penyelamat kucing ia harus menghadapi permasalahan rumit. Mulai dari kena protes tetangga, terpaksa menghuni rumah angker, sampai dituduh menjual kucing untuk pakan buaya.
***
Budiyana (40) mewarisi mimpi istrinya, yang sudah meninggal empat belas tahun silam untu membangun rumah bagi para kucing. Mimpi tersebut membuatnya sampai ke Wates, Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta, dan menyewa tiga bangunan tua di sebuah daerah dekat Rusunawa Giripeni. Walaupun relatif seram, tapi untuk sementara hanya tempat itulah yang memungkinkan ia hidup tenang bersama puluhan kucing yang ia rawat.
Selasa (22/3/2022), saya bersama kawan menyambangi kediaman Budiyana dan kucing-kucingnya. Rumah yang ia sewa sungguh terasing dari pemukiman sekitar. Untuk ke sana, kami harus melewati jalan setapak yang penuh batu. Hujan lebat membuat batu-batu tersebut licin sehingga kami harus esktra hati-hati. Pohon-pohon rindang dan semak belukar mengapit jalan menambah kesan suram pada tempat tersebut.
Begitu sampai, kami langsung masuk ke rumah utama untuk menemui Budiyana. Tapi wawancara baru bisa dilakukan sehabis isya karena ia sedang menelepon seorang kolega untuk urusan kerja.
Selagi menunggu, kami duduk di ruangan penuh kucing. Ada sekitar 70 kucing di rumah ini. Mereka semua terlihat mengantuk. Barangkali karena efek hujan lebat dan udara dingin yang menusuk. Beberapa dari mereka bergelung di dekat jendela, dan ada pula yang rebahan di atas kandang, bangku, maupun di belakang televisi. Hampir semua kucing itu bersikap tenang, kecuali beberapa bayi yang mengeong, tampaknya mereka sedang memanggil-manggil sang induk.
Saya tidak biasa berada dalam ruangan dengan banyak sekali kucing, tapi saat itu saya merasakan suasana yang hangat. Apa lagi ketika seekor kucing mungil berwarna kuning naik ke bahu saya dan tidur di sana ketika wawancara berlangsung. Saya jadi agak mengkhayalkan diri sebagai seorang tokoh anime dengan sahabat binatangnya.
Mas, di sini kalau adopsi kucing aturannya gimana? tanya saya sambil mengelus kucing kecil di bahu. Biasanya kan, ada tuh komunitas atau orang mau open adopt dengan syarat tertentu seperti dicek dulu kondisi rumah adopter dan sebagainya.
Oh, kalau saya sih nggak begitu, Mas, jawab Budiyana. Saya nggak ada tuh harus ngecek kondisi rumah adopter atau suruh mereka tanda tangan di atas materai segala. Saya paling lihat orangnya, kalau dia kelihatan sayang kucing ya monggo , nanti saya bakal tanya kabar aja. Yang penting dirawat, nggak ditelantarkan.
Budiyana tidak terlalu suka dengan orang yang hanya ingin mengadopsi kucing dengan ras yang bagus. Bila kebetulan ada yang menanyakan itu, ia pasti akan segera menjawab bahwa kucing di tempatnya jelek semua. Menurutnya, orang semacam itu kemungkinan hanya ingin merawat kucing bagus, dan kalau sudah tidak bagus bisa jadi kucing tersebut bakal ditelantarkan.
Saya memang niatnya nolong, Mas. Jadi di sini kebanyakan ya kucing jelek dan sakit. Kita pokoknya merawat kucing liar, tapi nggak semua, tutur Budiyana.
Berdirinya Rumah Sahabat Kocheng
Budiyana lalu menceritakan awal mula perjalanannya sebagai cat lover . Sebagaimana saya singgung di awal, salah satu tujuan lelaki asal Kuningan itu adalah mewujudkan cita-cita sang istri yang sudah meninggal belasan tahun silam. Budiyana mengaku sudah lama sekali menyukai kucing, bahkan sejak kanak-kanak. Namun sang istri lah yang membuat ia berkeinginan untuk membuat rumah kucing.
Istri saya itu luar biasa kalau sama kucing, Mas. Sampai ada kucing mau nyebrang jalan aja, dibantu lho, kenang Budiyana. Saya sendiri nggak tahu kenapa, pokoknya dari awal ketemu aja, dia udah sayang banget sama kucing. Tapi, kan memang kalau kita suka sesuatu nggak selalu harus ada alasannya.
Budiyana pernah bekerja di Bandung sebagai tukang parkir dan menjadi asisten koki di sebuah hotel. Kedua profesi tersebut ia lakoni secara bergiliran saban harinya. Di Bandung, ia sudah mulai merawat kucing liar dan ia bahkan memiliki seekor kucing favorit bernama Zaskia. Namun kucing itu pada suatu hari tertabrak kendaraan dan mati. Kelak, Budiyana akan mengabadikan Zaskia sebagai ikon untuk rumah kucingnya di Jogja.
Lagi Viral Gen ZTaiwan Jalan Menunduk seperti Budaya Indonesia, Netizen: Beneran Apa Ngejek?
Selagi berada di Bandung, ia beberapa kali kena protes tetangga akibat menampung kucing-kucing liar. Mau tidak mau Budiyana harus pindah. Ia bahkan sempat hampir berkelahi dengan salah seorang tetangga yang menggetok kepala kucingnya gara-gara melukai burung peliharaannya.
Meski harus melalui jalan terjal, pada akhirnya ia berhasil membuat rumah kucing di Bandung dan memperoleh bantuan dari sejumlah relawan. Bahkan banyak pecinta kucing yang mau berdonasi. Rumah tersebut masih aktif menampung kucing-kucing liar sampai sekarang. Saya jadi penasaran dan bertanya bagaimana cara ia membuat para relawan bertahan.
Harus ada pemasukan dari segi ekonomi, Mas, kalau itu, jawabnya. Kemudian, ia menuturkan bahwa, salah satu pemasukan tersebut, adalah usaha dagang Thai Tea yang dijalankan para relawan.
Budiyana hijrah ke Yogyakarta usai lebaran Idul Fitri 2021 yang lalu. Ia ingin menemani anaknya yang sebentar lagi akan kuliah di Kota Pelajar. Bersama dengan itu, ia juga melihat bahwa di Yogya belum ada tempat yang secara khusus menyediakan rumah bagi kucing, khususnya, kucing liar.
Sebenarnya di Yogyakarta ada komunitas maupun individu yang bergerak di ranah aktivisme kucing. Namun, menurut Budiyana, mereka belum memiliki alamat yang jelas, yang bisa dituju bila sewaktu-waktu ada orang kepengin menyerahkan kucing yang butuh pertolongan. Budiyana sendiri menamai tempatnya Rumah Sahabat Kocheng.
Siapa pun kalau mau mengantar kucing kemari, saya terima, bahkan kalau perlu saya jemput, tegas lelaki tersebut. Kalau ada kucing sakit, saya juga siap merawat. Kalaupun nanti ia mati, paling tidak ia mati di tempat yang lebih layak.
Terpaksa m enghuni r umah s eram
Mengenai rumah terpencil dekat Rusunawa Giripeni, Budiyana mengaku memperoleh rekomendasi tempat tersebut dari seseorang yang menghibahkan kucing kepadanya. Rumah-rumah tersebut disewakan dengan harga yang luar biasa murah: Rp200.000 per bulan untuk tiap bangunan. Memang, bangunannya masih setengah jadi, tapi setidaknya itu cukup untuk Budiyana dan kucing-kucingnya.
Ketika pertama kali menempatinya, ia sendiri merasa ngeri. Bayangkan saja, rumahnya lama tak berpenghuni, jauh dari pemukiman, minim penerangan, listri kerap mati, dan ditambah fakta bahwa ia sendirian. Selama dua minggu awal, Budiyana bahkan sering menahan buang air tiap malam. Bila jam telah menunjuk pukul 21:00, ia memilih untuk meringkuk saja di kasur, menautkan earphone ke telinga, dan menutup mata rapat-rapat.
Supaya pembaca makin mendalami kengerian rumah yang Budiyana tempati, saya akan mendeskripsikannya sebagai berikut: rumah utama terbilang baru setengah jadi, karena itu lantainya masih semen dan dinding-dindingnya juga belum dicat, sehingga secara keseluruhan rumah tersebut berwarna kelabu. Sebuah kandang sapi berdiri di samping rumah utama, tapi agak menjorok ke belakang.
Kemudian, persis di depan rumah utama, ada bangunan rumah kayu yang mengingatkan saya pada rumah orang-orang kampung zaman baheula . Rumah kayu ini rencananya akan dijadikan tempat untuk mengkarantina kucing-kucing yang baru datang.
Bangunan ketiga disulap menjadi dapur, terletak di bagian Barat, dan posisinya menghadap rumah utama dan rumah karantina. Secara bentuk, bangunan ketiga mirip dengan rumah karantina. Sedangkan toilet dan kamar mandi posisinya berada jauh di belakang dapur. Jika Budiyana ingin buang air malam-malam, ia harus keluar rumah utama, lalu berjalan di tengah kegelapan untuk menuju toilet.
Begitulah pada awalnya Budiyana harus melewati kengerian malam demi malam. Sudah begitu, tiap kali ada seseorang mampir dan orang tersebut kebetulan mampu melihat makhluk tak kasat mata, biasanya ia tidak akan betah untuk tidak menjelaskan apa saja yang dilihatnya. Dan akibatnya, kesan horor tempat itu jadi kian kuat.
Tapi untunglah, berkat donasi para pecinta kucing, Budiyana bisa mengusahakan penerangan yang lebih baik dan sedikit mengurangi kengerian daerah tersebut. Sementara ini ia juga ditemani oleh beberapa orang yang membantunya seperti Atun (24) dan Haryanti (35) yang bertugas mengurus kucing-kucing. Selain mereka, ada Dwi Priyandono (40), suami Haryanti, yang sedang melakukan sedikit renovasi pada rumah karantina.
Karena pengalaman sering dikomplain tetangga, ya saya pikir berarti rumah kucing memang sebaiknya jauh dari pemukiman biar aman, kata lelaki yang gemar mengenakan topi koboi tersebut sembari tersenyum.
Namun perkara kucing rupanya tidak berhenti sampai di situ. Ketika Budiyana mulai mengumumkan adanya Rumah Sahabat Kocheng di Yogyakarta melalui media sosial seperti Tiktok, ia pun harus menuai berbagai serangan dari warganet yang tak menyukai aktivitasnya.
Sisi g elap d unia a ktivis k ucing
Budiyana mendeklarasikan hadirnya Rumah Sahabat Kocheng pada awal 2022. Mula-mula ia aktif mengunggah berbagai konten soal kucing di Tiktok sambil mengajak warganet yang punya masalah dengan memelihara kucing, misal kena protes tetangga atau sudah tak sanggup mengurus karena persoalan ekonomi, supaya menghibahkan kucing tersebut ke rumahnya daripada ditelantarkan begitu saja.
Saat menceritakan hal itu, ia ingat sejumlah komentar nyinyir dari warganet. Ada yang menakut-nakuti dengan bilang, Apa tidak takut Mas kalau nanti semua orang Jogja pada buang kucing ke situ? Ada pula yang ragu dengan aktivitas Budiyana dan bertanya, Emang punya basic apa soal ngurus kucing?
Soal nyinyiran yang pertama ternyata toh tidak terbukti. Menurut Budiyana, tidak semua orang dari Jogja mau mengantar kucing ke Wates. Hanya orang-orang pilihan, lanjutnya, yang bersedia jauh-jauh kemari untuk menyerahkan kucingnya. Sedangkan soal nyinyiran yang kedua, ia hanya menjawab dengan berseloroh, Saya punya basic ngerawat Dinosaurus!
Perihal nyinyiran sebenarnya bukan hal baru yang ia peroleh. Semasa di Bandung, ia juga sempat dituduh memakai donasi para pecinta kucing untuk kepentingan pribadi. Padahal, Budiyana mengaku tidak pernah membuka donasi, meskipun ia tidak akan menolak bila ada orang yang hendak memberi donasi.
Kalau orang sudah berani tampil di depan publik, memang harus siap mendapat haters . Saya itu masih mending, haters saya masih kalah jauh dibanding pendukung saya. Budiyana kemudian mencontohkan tokoh pecinta kucing lain yang juga memiliki banyak haters seperti Bimbim Clow.
Tetapi, dalam perkembangannya, ia tidak sekadar mendapat nyinyiran warganet melainkan juga tuduhan-tuduhan sengit. Satu di antaranya datang dari sebuah komunitas pecinta hewan di Yogyayang oleh permintaan narasumber namanya tidak akan saya sebut. Komunitas ini sempat mencurigai Budiyana menampung kucing-kucing untuk dijual sebagai pakan reptil seperti buaya.
Namun dengan cerdik, ia membalik tudingan tersebut dengan berkata: Lho, mana yang lebih mencurigakan? Alamat saya jelas dan orang bisa berkunjung kapan saja. Sedangkan komunitas yang menuduh saya justru alamatnya tidak jelas, kontak juga tidak jelas. Terus gimana orang kalau mau menghubungi, pengin tahu kegiatannya?
Kini Budiyana sudah tidak begitu peduli dengan para haters . Ia memilih untuk lebih fokus mewujudkan cita-citanya membikin wisata edukasi kucing. Budiyana dengan antusias menceritakan rencananya membangun kafe kucing, klinik kucing, petshop , dan tempat jual merchandise kucing di sekitar area Rumah Sahabat Kocheng.
Ia berharap ketika semua itu sudah terwujud, tempatnya bisa jadi rujukan edukasi soal kucing bagi para pelajar. Namun mimpi tersebut, imbuhnya, tidak cuma berhenti saat ia sudah sukses di Yogya. Sebab ia berencana membangun Rumah Sahabat Kocheng di kota-kota lain di Indonesia.
Setelah menceritakan mimpinya, Budiyana terdiam dan ia menatap langit-langit rumah dengan sorot pandang yang menerawang jauh. Suasana jadi agak hening sampai suara bayi-bayi kucing kembali terdengar dan saling bersahutan. Beradu dengan deru angin dan hujan.
Reporter: Khumaid Akhyat Sulkhan
Editor: Purnawan Setyo Adi










