Sepasang Mata Iblis

Sepasang Mata Iblis

Gaya Hidup | mojok.co | Kamis, 13 Januari 2022 - 11:25
share

Mou punya waktu sepuluh hari untuk libur Natal dan Tahun Baru. Di saat seperti itu, semua orang tahu, Mou tak bisa diganggu. Dia akan pergi ke negeri asalnya untuk bertemu dan bercengkerama dengan keluarganya. Di saat habis liburan seperti itu, semua anggota tim baik tim pelatih maupun tim skuatnya, balik ke pusat pelatihan dengan kondisi yang lebih segar dan bugar.

Sesekali dalam masa libur itu, Mou mengirim pesan selamat tahun baru dengan kalimat yang renyah dan sederhana. Menyapa mereka satu per satu lewat telepon. Tidak ada pembicaraan tentang sepakbola. Mou benar-benar hanya mau, semua anggota timnya menghabiskan waktu pendek itu untuk keluarga mereka. Liburan seperti ini, ujar Mou suatu ketika, adalah saat-saat untuk menebus dosa pada keluarga. Karena selebihnya, waktu mereka hanya dihabiskan untuk sepakbola.

Begitu masa libur usai, Mou langsung rapat dengan tim manajemen yang dipimpin oleh Pinto. Rapat yang sangat singkat. Pinto hanya menjelaskan siapa saja para pemain yang akan berusaha dia dapatkan di jendela transfer Januari. Sejak lama Mou berpesan, dia membutuhkan pelapis yang baik di bek kanan. Dan dia juga berharap ada pemain tengah yang lebih punya pengalaman dan daya jelajah yang tinggi, dengan fisik yang kuat. Dia tidak memerlukan lagi pemain depan. Jika itu didapatkan, timnya masih punya potensi untuk masuk ke tiga besar. Paling apes empat besar. Persaingan sangat ketat.

Selesai rapat dengan tim manajemen, Mou rapat dengan tim pelatih. Di ruangan yang penuh dengan bau kopi, karena hampir semua anggota tim pelatih adalah penyuka kopi, para asistennya sudah duduk meriung. Ada Yamadipati, asisten pelatihnya. Orang yang mungkin dalam waktu tiga atau empat tahun lagi, besar kemungkinan akan mendapatkan lisensi dan kepercayaan dari kesebelasan entah mana, untuk menjadi kepala pelatih. Bersama Mou, Yamadipati tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk menyerap ilmu.

Ada juga Aditya Rizki, asisten yang khusus menangani dan memonitor strategi dan catatan pemain dari sisi teknologi. Dia termasuk yang bertanggungjawab atas teknologi drone , yang dipakai untuk menganalisis hasil latihan. Lalu ada Ahmad Khadafi, asisten pelatih kiper. Dua perempuan, juga hadir di sana, Dokter Prima yang bertanggung jawab terhadap masalah kesehatan dan kebugaran pemain, dan Audian, seorang psikolog yang memonitor kondisi kejiwaan pemain. Lalu ada Ega Balboa, pelatih fisik pemain. Masing-masing mempresentasikan hasil diagnosis dan kondisi pemain, sebelum keesokan harinya, semua tim kembali berlatih.

Semua laporan baik-baik saja. Dua pemain pilar yang cedera, sudah siap bermain melawan salah satu kesebelasan terbesar pada pertemuan pertama setelah libur jeda. Satu pemain inti, yang dibekap cedera panjang, sudah dapat rekomendasi dari rumah sakit tempat dia menjalani operasi, yang mungkin akan bisa dimainkan sebulan lagi. Semua tampak baik-baik saja. Semua optimistis, mereka akan bisa memberi kejutan di kandang Setan Merah, tim yang akan mereka hadapi. Semua tergantung pada racikan Mou.

Mou menutup rapat itu setelah Aditya memutar sebuah video pendek berdurasi 30 menit, berisi resume kompilasi 10 pertandingan terakhir Tim Setan Merah. Kirim ke emailku. Ujar Mou kepada Aditya, lalu rapat pun ditutup sambil bertepuk tangan, sebagaimana biasa.

Mou, kita akan mengalahkan mereka seperti kita akan mengalahkan Atalantis? Khadafi bertanya dengan nada ragu.

Mou menggelengkan kepala.

Kita akan menahan imbang di kandang lawan? Khadafi masih penasaran, tampaknya pertanyaan itu juga mewakili pertanyaan semua orang yang ada di ruangan itu.

Mou menggelengkan kepala. Sebaiknya kalian bubar. Sampai bertemu di lapangan besok pagi. Pastikan mereka bugar. Itu tugasmu. Soal menang atau kalah, itu jadi tugas dan bebanku.

Semua orang terdiam. Mou pun pergi meninggalkan ruangan berbau kopi itu, lantas berjalan menuju ruangannya.

Mou duduk. Diangkatnya kedua kaki di meja, lalu kepalanya mendongak ditopang oleh bantalan senderan kursi. Matanya menatap nanar pada atap.

Mou tahu persis kesebelasan yang akan dihadapinya. Setan Merah adalah salah satu lawan terberat. Sejak tujuh tahun lalu, tim hebat ini nyaris tidak diperhitungkan dalam perebutan scudetto . Tapi sejak lima tahun lalu, mereka membangun tim dari bawah, dan di tahun lalu serta tahun ini, semua yang telah mereka bangun memperlihatkan hasil di bawah pelatih yang sangat disegani, Paoli.

Paoli memainkan strategi yang sangat ganjil. Kadang mereka bermain dengan tempo yang sangat cepat. Tapi kadang sangat lambat. Dia mengombinasikan pemain-pemain muda dengan pemain tua. Salah satu pemain tua yang nyaris tidak masuk akal dibeli oleh Setan Merah adalah Ibra Kadabra. Striker yang usianya hampir 40 tahun. Pengalamannya segudang. Semua hal nyaris dimiliki oleh Ibra, posturnya tinggi dan kuat. Larinya kencang. Tendangan kaki kanan dan kirinya sama-sama sangat kencang. Dia tidak mudah dijatuhkan, tapi sering pula menjatuhkan diri. Dia adalah ancaman bagi semua kiper di Liga Utama, bahkan sejak Ibra berusia 20 tahun.

Kini, Ibra sudah tidak sehebat itu. Dia hanya mengandalkan permainan posisi di depan gawang lawan, membuat kekacauan di saat tendangan bola mati, dan membuat sepakan-sepakan tak terduga dari luar kotak penalti. Bagi banyak pelatih lain, Ibra sudah tidak terlalu berarti. Tapi Mou memandangnya berbeda. Mou memberi julukan khusus pada Ibra: Striker yang memiliki sepasang mata iblis.

Istilah sepasang mata iblis itu didapatkan dari sebuah tulisan di blog yang rasanya tidak mungkin dibaca banyak orang. Blog itu bernama Di Belakang Gawang. Ditulis oleh seorang sastrawan dan seorang ilmuwan yang telah lama bersahabat, yakni Mahfud Ikhwan dan Darmanto Simaepa. Mereka berdua adalah fans Setan Merah. Dari sana, Mou sepakat bahwa membeli Ibra adalah kejelian seorang Paoli, sehingga tim itu akhirnya bisa bertengger di posisi runner up.

Sebetulnya tidak aneh jika Ibra disebut sebagai orang bermata iblis. Semua di dirinya adalah serangan, termasuk tatapan matanya yang sangat tajam dan terlihat bengis. Hal itu yang membuat banyak pemain belakang dan penjaga gawang merasa kalah mental duluan.

Oleh Paoli, Ibra ditempatkan sebagai ujung tombak seorang diri, dengan pelapis pemain muda yang sangat tajam bernama Diaz. Tapi pada praktiknya, Ibra lebih sering berlari di depan gawang, dengan posturnya yang tinggi, dia mengacaukan pertahanan lawan, memberi umpan-umpan yang sengaja dimentalkan ke arah Diaz atau pemain lain, lalu dia membuat manuver palsu yang membuat para pemain belakan lawan mengawalnya, lalu tiga pemain tengah Setan Merah akan merangsek dan menciptakan banyak peluang yang bisa dikonversi menjadi gol-gol indah.

Ibra dibeli dan dipasang sebagai peneror. Itu kesimpuan Mou. Tapi begitu musuh lengah, dengan jam terbangnya yang tinggi, dan penempatan diri yang paripurna, Ibra menjadi pemain yang tiba-tiba bisa lepas dari kawalan, dan kemudian mencetak gol.

Dia masuk ke jantung pertahanan lawan dengan tatapan matanya yang menyerupai sepasang mata iblis, demikian tulis Mahfud dan Darmanto, tapi memiliki gerakan aneh yang menyerupai siluman. Hampir sebagian besar gol yang diciptakan oleh Setan Merah terjadi karena dua hal: umpan tak terduga Ibra, atau kemampuan dia melepaskan diri dari kawalan bek. Dia adalah perpaduan iblis dan siluman. Atau bisa juga perpaduan antara elang dengan belut. Mengancam dan licin.

Mou mengakui tulisan itu sebagai salah satu tulisan terbaik yang pernah dia baca soal Ibra. Seorang striker seperti Ibra, memang jenis striker selalu membahayakan. Seorang legenda sepakbola pernah berkata, Pelatih hebat bisa menghasilkan para pemain hebat, tapi striker yang berbahaya, memang diciptakan khusus oleh Tuhan.

Tentu legenda itu berlebihan, bisa jadi karena dia seorang mantan striker. Tapi Mou sepakat, semua pelatih untuk anak usia muda bisa menumbuhkan dan mengembangkan kiper, bek, dan para gelandang. Tapi khusus untuk striker, seorang pelatih hanya bisa menemukan lalu memberikan kepercayaan.

Itu yang membuatnya mendatangkan Tami Abraham ke Serigala Malam. Abra, sejak remaja sudah dia pantau sebagai salah satu orang yang akan menjadi striker yang mematikan. Tubuhnya tak kalah jangkung dibanding Ibra, dia juga bisa mencetak gol dari bagian tubuh apa saja: kaki kanan, kaki kiri, dada, sundulan. Pergerakannya di daerah penalti lawan membuat musuh selalu merasa waswas. Kelemahan Abra adalah dia masih muda. Usianya belum 25 tahun. Dia masih butuh jam terbang. Sementara Ibra sangat matang di lapangan. Tapi Ibra, juga punya kelemahan. Usia. Striker hebat hanya punya musuh di dirinya sendiri yang tidak bisa dilawan: menua.

Maka bagi Mou, pertandingan melawan Tim Setan Merah adalah adu laga antara Ibra versus Abra. Paoli punya Ibra, dia punya Abra.

Dalam waktu dua tahun ke depan, hampir dipastikan Ibra bakal menggantung sepatunya, lalu menatahkan namanya sebagai salah satu striker paling berbahaya di dunia bahkan ketika usianya melewati 40 tahun. Sementara bagi Abra, dua tahun lagi, dia akan menjadi salah satu striker yang bakal dilirik banyak kesebelasan hebat untuk mengisi posisi striker. Di bawah Mou, Abra akan menjadi striker hebat.

Masalahnya adalah Ibra dan Abra akan bentrok pada minggu depan. Sementara Paoli punya sederet bek yang solid, dan Mou punya barisan belakang yang butuh waktu.

Mungkin karena itulah, Mou menggelengkan kepala saat ditanya apakah Romajaya akan menggulung Setan Merah atau bermain dengan imbang. Sebab terkadang, imbang saja sudah merupakan hasil yang bagus. Seandainya tidak ada Ibra, Mou akan menjawab dengan tegas seperti saat timnya mau melawat ke Atalantis: Kita datang untuk menang.

Topik Menarik