Keyakinan Konsumen Merosot ke Titik Terendah, Tanda Ekonomi Lagi Berat, PHK di Mana-mana
Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Agustus 2025 yang menyentuh titik terendah dalam tiga tahun terakhir menjadi sinyal bahaya bagi perekonomian Indonesia.
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat menyebutkan penurunan ini sebagai "alarm kebakaran" yang mengindikasikan melemahnya daya beli masyarakat.
"Bagi ekonomi yang 54 persen PDB-nya ditopang konsumsi rumah tangga, penurunan IKK adalah alarm kebakaran semakin lama dibiarkan, semakin besar potensi kerusakan," ujar Achmad dalam keterangannya, Kamis (11/9).
Baca Juga:Keyakinan Konsumen RI Terjun Bebas ke Level Terendah dalam Hampir 3 Tahun, Pertanda Apa?
Menurutnya, kekhawatiran utama masyarakat bukanlah semata-mata soal harga, melainkan ketidakpastian pendapatan akibat persepsi ketersediaan lapangan kerja yang semakin menyempit. Hal ini menyebabkan masyarakat menahan belanja dan memilih menabung.Achmad mengibaratkan perekonomian Indonesia sebagai mobil dengan dua mesin, yaitu konsumsi dan investasi. Menurut dia, penurunan IKK menandakan tangki bahan bakar pada mesin konsumsi mulai menipis. Hal ini akan membuat pelaku usaha menahan investasi, sehingga laju ekonomi terancam melambat.
"Dalam bahasa sederhana, turunnya IKK adalah 'psikologi dompet' yang berubah dari mode belanja ke mode bertahan," jelas Achmad. "Efeknya menyebar ritel melemah, pabrikan menunda produksi, jasa logistik melambat, hingga bank memperketat kredit konsumsi," imbuhnya.
Untuk mengatasi hal ini, Achmad menyarankan resep kebijakan yang tepat waktu dan terarah. Pertama, pemerintah harus segera menjaga daya beli masyarakat dengan mempercepat penyaluran bantuan sosial. "Timing lebih penting daripada besaran, obat manjur tak berguna jika datang terlambat," ungkap dia.
Baca Juga:Dipakai Buat Bayar Utang, Cadangan Devisa Indonesia Tersisa USD150,7 Miliar
Kedua, pemerintah harus menciptakan lapangan kerja nyata dalam 3–12 bulan ke depan. Ia menyarankan perluasan program padat karya, percepatan proyek infrastruktur lokal, dan pemberian insentif rekrutmen kepada sektor padat karya.Terakhir, Achmad menekankan pentingnya meneguhkan ekspektasi masyarakat melalui kebijakan yang kredibel dan konsisten. Pemerintah perlu memberi sinyal jelas bahwa fokus utama adalah pada ketersediaan lapangan kerja dan harga pangan. "Pemerintah perlu memberi sinyal jelas bahwa fokus utama adalah pekerjaan dan harga pangan," ungkap Achmad.
Ia menambahkan bahwa sinyal ini harus ditopang oleh eksekusi yang rapi, regulasi yang tidak berubah-ubah, dan koordinasi yang baik antara pemerintah pusat dan daerah. Menurut Achmad, pertumbuhan inklusif tidak hanya dilihat dari angka PDB, melainkan dari rasa aman masyarakat atas pekerjaan dan masa depan. "Kita tidak perlu panik, tetapi harus waspada dan bertindak," tegasnya.









