Hadapi Tekanan Ganda, Perang Dagang Hantam Jantung Ekonomi China

Hadapi Tekanan Ganda, Perang Dagang Hantam Jantung Ekonomi China

Ekonomi | sindonews | Minggu, 17 Agustus 2025 - 21:39
share

Perekonomian China mengalami perlambatan signifikan pada Juli 2025, di tengah ketidakpastian akibat serangan tarif yang dilancarkan mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Data Biro Statistik Nasional (NBS) menunjukkan penjualan ritel, produksi industri, dan investasi tidak mencapai target, memperburuk tekanan pada ekonomi terbesar kedua di dunia itu.

Pertumbuhan penjualan ritel tahunan turun menjadi 3,7, jauh di bawah perkiraan analis sebesar 4,6, sekaligus melambat dari 4,8 pada Juni. Para ekonom menilai penurunan ini dipicu oleh kekhawatiran konsumen terkait perlambatan berkepanjangan di sektor properti, yang selama ini menjadi salah satu pilar kekayaan rumah tangga di China.

Harga rumah baru anjlok 2,8 pada Juli dibanding periode sama tahun lalu, setelah penurunan 3,2 pada Juni. Ekonom ING, Lynn Song, menilai penurunan harga yang semakin tajam mengindikasikan perlunya stimulus tambahan.

"Sulit mengharapkan konsumen berbelanja lebih percaya diri jika aset terbesar mereka terus kehilangan nilai setiap bulan," ujarnya seperti dikutip dari Telegraph, Minggu (17/8).

Baca Juga:Gaungkan Selatan Global, China dan Brasil Bakal Umumkan Induk BRICS BaruSelain sektor properti, aktivitas manufaktur juga terganggu akibat cuaca ekstrem. Gelombang panas yang memecahkan rekor, badai, dan banjir di sejumlah wilayah menekan produktivitas. Output industri hanya tumbuh 5,7 pada Juli, terendah sejak November 2024, dan turun dari 6,8 pada Juni.

Investasi di bidang peralatan pabrik juga melambat, hanya naik 1,6 pada tujuh bulan pertama 2025, lebih rendah dari perkiraan 2,7. Ekonom memperingatkan ketergantungan China pada belanja pemerintah semakin tinggi, sementara efek stimulus awal tahun mulai memudar.

"Masalahnya, upaya dukungan pemerintah sudah digelontorkan lebih awal pada awal 2025, dan sekarang dampaknya mulai berkurang," kata Xu Tianchen dari Economist Intelligence Unit. Hal senada disampaikan ekonom Capital Economics, Zichun Huang, yang menilai prospek pemulihan tahun ini masih terbatas. "Tidak adanya komitmen untuk dukungan fiskal tambahan dalam pertemuan Politburo terbaru menunjukkan hilangnya dorongan fiskal," ujarnya.

Perlambatan ekonomi ini terjadi meskipun China dan AS sempat mencapai gencatan dagang pada Mei lalu, setelah kedua pihak saling memberlakukan tarif lebih dari 100. Perjanjian tersebut diperpanjang hingga November, namun ketidakpastian kebijakan tetap membebani sentimen bisnis dan rumah tangga.

Ekonom senior Allianz, Mohamed El-Erian, menyebut tren pelemahan ini sebagai sinyal bahaya bagi pembuat kebijakan di Beijing. "Tekanan perang dagang yang meningkat menjadi tantangan besar bagi pertumbuhan,” katanya, dikutip dari Telegraph.Baca Juga:Langka, Jet Tempur Siluman F-35 dan F-22 AS Mengawal Putin Pulang

Selain China, India juga turut terdampak oleh kebijakan tarif AS. Perdana Menteri Narendra Modi, dalam pidato Hari Kemerdekaan dari Benteng Merah, menyerukan kemandirian ekonomi. Ia menargetkan India mampu memproduksi sendiri berbagai kebutuhan strategis, mulai dari pupuk hingga mesin jet dan baterai kendaraan listrik.

"Petani, nelayan, dan peternak adalah prioritas utama kami," tegas Modi. Tarif AS terhadap India diperkirakan akan mencapai 50 pada akhir Agustus, sehingga mendorong pemerintah New Delhi mempercepat agenda substitusi impor.

Kondisi ini menunjukkan dampak kebijakan proteksionis AS merambat ke banyak negara, memicu penyesuaian strategi ekonomi di berbagai belahan dunia. Bagi China, tantangannya kini adalah mengembalikan kepercayaan konsumen dan investor di tengah tekanan domestik dan eksternal yang belum mereda.

Topik Menarik