Penerapan ESG, Win-Win Solution bagi Industri Nikel
Industri tambang, termasuk nikel yang tengah booming di Indonesia, kerap menjadi sasaran kritik terkait dampaknya pada lingkungan dan masyarakat di daerah operasinya. Akibatnya, operasi perusahaan tersendat dan kekayaan sumber daya alam gagal menyejahterakan penduduknya.
Berangkat dari kondisi itu, isu keberlanjutan dan tanggung jawab sosial pun berkembang. Perusahaan tak lagi hanya fokus pada produksi dan keuntungan, kelestarian lingkungan, kesejahteraan masyarakat sekitar, kini juga menjadi perhatian utama. Seiring dengan itu, prinsip-prinsip environmental, social, and governance (ESG) menjadi patokan sebagai solusi saling menguntungkan bagi semua pihak.
Baca Juga:China Getol Beli Logam Rusia di Tengah Sanksi Barat, Impor Nikel Naik 2 Kali Lipat
Tren itu diakui oleh Community Affairs General Manager Harita Nickel Dindin Makinudin. Dalam diskusi yang digelar Energy Editor Society (E2S) dengan tema Uncovering ESG Transformation in Indonesia’s Nickel Mining Industry yang digelar akhir pekan ini, Dindin mengatakan bahwa prinsip-prinsip ESG kini diterapkan Harita secara ketat guna memaksimalkan manfaat dari sumber daya alam, bagi perusahaan dan masyarakat.
Dari sisi perusahaan, kata dia, penerapan prinsip ESG berkaitan langsung dengan keberlanjutan bisnis perusahaan. Salah satunya, investor dan industri keuangan, menjadikan kinerja ESG perusahaan sebagai patokan. "ESG kini jadi pertimbangan dalam keputusan berinvestasi. Investor ingin memastikan bahwa investasi yang mereka tanamkan di perusahaan yang berkelanjutan," tuturnya.Tak hanya itu, pasar pun kini menetapkan aturan ketat terkait isu ESG. Para buyer butuh bukti produk yang mereka terima dihasilkan melalui proses yang berkelanjutan. Karena itu, kata dia, Harita menegaskan komitmennya dalam menerapkan standar global dengan melaksanakan penilaian/audit independen berstandar internasional. Mulai dari The Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA), IFRS, RMI RMAP hingga audit lokal dari Kementerian ESDM dan lainnya.
"Komitmen untuk menyelaraskan dengan standar global tidak hanya memastikan manfaat jangka panjang untuk perusahaan, tapi juga untuk masyarakat dan lingkungan," tandasnya.
Prinsip-prinsip ESG yang diterapkan Harita secara optimal, lanjut dia, juga memaksimalkan manfaat dari keberadaan sumber daya alam bagi masyarakat. Dindin menjelaskan, dampak ekonomi dari praktik tambang yang dijalankan Harita sesuai dengan prinsip ESG di wilayah operasinya sangat besar.
Dia bercerita, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Halmahera Selatan, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Halmahera Selatan meningkat dengan drastis setelah adanya aktivitas hilirisasi nikel sejak tahun 2016 yakni mencapai 54,59 berasal dari industri pengolahan. "Pertumbuhan ekonomi tumbuh stabil. Industri pengolahan sangat dominan mendorong perekonomian lokal, artinya hilirisasi sukses memantik pertumbuhan ekonomi di Halmahera Selatan," ujarnya.
Baca Juga:Pemerintah Kembali Izinkan PT GAG Nikel Beroperasi di Raja AmpatKeberadaan perusahaan dengan jumlah karyawan yang cukup banyak di Pulau Obi, lanjut dia, menimbulkan demand yang juga memicu kegiatan ekonomi. "Kebutuhan logistik perusahaan cukup besar, misalnya beras sekitar 20.000 sak per bulan, ayam potong 22.000 kg, kebutuhan ikan dan lain sebagainya, menjadi peluang bagi masyarakat Pulau Obi," cetusnya.
Kebutuhan-kebutuhan tadi, kata Dindin, membuka peluang kerja dan peluang usaha bagi masyarakat. Interaksi saling menguntungkan antara perusahaan dengan masyarakat itu pun kemudian menumbuhkan hubungan yang harmonis. "Dalam catatan kami, dampak ekonomi yang sudah dihasilkan antara lain mencapai 729 wirausahawan binaan perusahaan dan pendapatan terekam setiap bulan mencapai miliaran rupiah, sekitar Rp14 miliar (per bulan) untuk perputaran di lokal," paparnya.
Dalam diskusi yang sama, Direktur Teknik dan Lingkungan Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Hendra Gunawan menegaskan bahwa pemerintah mendukung penerapan prinsip oleh industri nikel. Posisi Indonesia sebagai pemain utama nikel dunia dengan 5,3 miliar ton ore cadangan yang bisa diproduksikan, serta 18,5 miliar ton ore sumber daya, tegas dia, harus didukung oleh komitmen berkelanjutan.
Hendra menegaskan, konsep pertambangan hijau merupakan suatu keniscayaan yang harus dijalankan sesuai dengan kerangka ESG. Sejalan dengan itu, undang-undang pertambangan beserta peraturan turunannya pun terus mendukung dan mendorong pertambangan untuk menerapkan standar ESG sebagai landasan bagi praktik pertambangan yang berkelanjutan. "Mari kita ciptakan iklim pertambangan yang tangguh, kompetitif, hijau, dan berkelanjutan," tegasnya.
Terkait dengan itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey menegaskan bahwa para pelaku usaha nikel di Tanah Air terus berupaya menuju ke arah itu. "Kami telah diskusi dengan Tesla, Mercedes, BMW, pangsa pasar dari Eropa. Market memang membutuhkan ESG standard," ujar Meidy.Sementara itu, akademisi dari Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia (UI) Tri Budhi Soesilo menilai pelaku usaha tambang di Indonesia telah menerapkan ESG dengan cukup baik. Namun, dia mengakui bahwa masih ada persepsi yang berbeda di masyarakat. Masih ada masyarakat yang menurutnya kurang sabar dengan upaya keberlanjutan yang sudah dilakukan oleh perusahaan.
"Karena itu, menggandeng jurnalis sebagai mitra seperti yang dilakukan Harita ini menjadi jalan yang bagus untuk menyebarkan apa yang telah dilakukan perusahaan, sekaligus menyosialisasikan program keberlanjutan lingkungannya," pungkas Tri.










