Selat Hormuz Jadi Sorotan, Harga Minyak Bisa Tembus USD100 per Barel?
IDXChannel - Harga minyak mentah melonjak tajam pada Jumat (13/6/2025) pekan lalu setelah Israel melancarkan serangan militer besar-besaran ke Iran, menargetkan fasilitas nuklir dan peluncur rudal balistik.
Serangan ini memicu balasan berupa tembakan misil ke wilayah Israel dan memunculkan kekhawatiran akan potensi konflik yang lebih luas, yang dapat mengganggu ekspor minyak dari kawasan Timur Tengah.
Harga minyak jenis Brent ditutup pada USD74,23 per barel, naik 7,02 persen, sementara WTI menguat 7,62 persen ke USD72,98 per barel pada Jumat.
Di tengah sesi perdagangan Jumat lalu, kedua acuan tersebut sempat melesat lebih dari 13 persen dan 14 persen, menyentuh level tertinggi sejak Januari. Menurut catatan FXEmpire, lonjakan tersebut menjadi pergerakan intraday terbesar sejak 2022, saat invasi Rusia ke Ukraina mengguncang pasar energi global.
Selat Hormuz Jadi Sorotan
Fokus investor kini tertuju pada Selat Hormuz, jalur penting yang dilalui hampir 20 juta barel per hari—sekitar seperlima dari konsumsi global.
5 Penguasa Tambang Nikel di Raja Ampat, Ada Konglomerat China, BUMN hingga Perusahaan Hantu
Analis memperingatkan bahwa jika Iran mencoba membatasi lalu lintas kapal di jalur strategis ini, dampaknya akan signifikan bagi pasar. Rabobank menyoroti kerentanan negara-negara produsen utama seperti Arab Saudi, Kuwait, Irak, dan Iran yang sangat bergantung pada jalur sempit tersebut untuk ekspor minyaknya.
Sebagai anggota utama OPEC, Iran mengekspor lebih dari 2 juta barel per hari. Cadangan kapasitas dari OPEC+ pun diperkirakan setara dengan jumlah tersebut. Meski pejabat Iran menyebut infrastruktur minyak tidak mengalami kerusakan, risiko serangan lanjutan—terutama ke terminal ekspor seperti Pulau Kharg—tetap tinggi.
Analis dari Societe Generale, Ben Hoff, menyebut potensi pola balasan “energi untuk energi” bisa memperparah kekhawatiran dari sisi pasokan.
Sementara itu, produksi minyak AS menunjukkan tren penurunan. Data Baker Hughes mencatat penurunan jumlah rig pengeboran untuk minggu ketujuh berturut-turut, dengan jumlah rig aktif kini hanya 439—terendah sejak Oktober 2021. Hal ini menandakan prospek pasokan domestik yang makin ketat dan dapat memperbesar volatilitas pasar jika pasokan dari Timur Tengah terganggu.
Mengutip analisis FXEmpire, sentimen pasar juga tercermin dari aktivitas opsi (options). Data CME menunjukkan lebih dari 33.000 kontrak opsi call WTI untuk pengiriman Agustus 2025 pada harga USD80 diperdagangkan pada Jumat—volume tertinggi sejak Januari. Ini mencerminkan keyakinan pasar bahwa harga minyak berpotensi naik lebih tinggi seiring memanasnya tensi geopolitik.
Ketegangan saat ini menciptakan batas bawah yang kuat bagi harga minyak. Analisis FXEmpire memperkirakan, minyak Brent berpotensi menguji level USD100 jika Selat Hormuz atau infrastruktur energi di kawasan tersebut terkena dampak langsung. Pelaku pasar disarankan bersiap menghadapi volatilitas lanjutan, terutama jika eskalasi konflik berlanjut dan mengganggu jalur distribusi vital.
JPMorgan Peringatkan Potensi Harga Minyak Tembus USD130
Jika gangguan di jalur Hormuz terjadi secara berkelanjutan, pasar bisa bergeser dari kondisi surplus ringan menjadi defisit yang serius.
JPMorgan memperkirakan hingga 1,7 juta barel per hari bisa keluar dari pasar jika konflik terus berlanjut, yang berpotensi mendorong harga minyak ke USD130 per barel—level yang belum terlihat sejak lonjakan komoditas pada 2008.
Guncangan harga minyak yang baru ini berpotensi menimbulkan dampak makroekonomi besar. “Jika harga minyak menembus dan bertahan di atas level USD100, inflasi AS bisa kembali melonjak ke kisaran 5 persen,” ujar Kepala Perdagangan di GSC Commodity Intelligence, Phil Carr.
Kenaikan biaya energi akan merambat ke seluruh rantai pasok, memaksa bank sentral menunda rencana pemangkasan suku bunga. Federal Reserve (The Fed), yang sebelumnya memberi sinyal jeda kebijakan, bisa terpaksa menahan diri lebih lama—membangkitkan kembali kekhawatiran stagflasi justru saat pasar mulai mengantisipasi tren disinflasi. (Aldo Fernando)