Tolak Konvensi ILO, Koalisi Ojol dan DPR Tegaskan Status Ojol sebagai Mitra

Tolak Konvensi ILO, Koalisi Ojol dan DPR Tegaskan Status Ojol sebagai Mitra

Ekonomi | sindonews | Rabu, 11 Juni 2025 - 13:23
share

Ketua Umum Koalisi Ojol Nasional (KON) Andi Kristiyanto menyampaikan sikap tegas menolak intervensi lembaga internasional terhadap sistem kemitraan ojek online (ojol) di Indonesia. Penolakan itu disampaikan sebagai respons atas pernyataan Dirjen PHI dan Jamsos Kemnaker, Indah Anggoro Putri, yang mewakili Menteri Ketenagakerjaan dalam forum ILO.

Indonesia diketahui mendukung Konvensi ILO, yang dianggap KON bertentangan dengan realitas kemitraan ojol. “ILO nggak ada urusannya dengan nasib ojol di Indonesia, karena ojol bukan pekerja dan bukan buruh. Kami tolak intervensi ILO,” katanya dalam keterangannya kepada wartawan, Rabu (11/6/2025). Baca juga:Delegasi Buruh di Jenewa Lega Konferensi ILO Adopsi Konvensi untuk Atur Pekerja Platform

Andi juga menilai ada pihak-pihak tertentu yang berupaya mengarahkan opini publik agar ojol dianggap sebagai pekerja tetap. Ia meminta pemerintah dan DPR tidak terpengaruh oleh narasi yang dianggap ditunggangi kepentingan tertentu.

Dukungan terhadap posisi Koalisi Ojol juga datang dari anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Gerindra, H Obon Tabroni. Legislator dapil Bekasi itu menegaskan bahwa ojol bukan pekerja, melainkan mitra.

“Awalnya saya ragu, tapi setelah mendengarkan masukan dari Koalisi Ojol, saya sadar bahwa benar mereka bukan buruh. Mereka mitra,” ujar Obon, yang kini tergabung dalam tim revisi UU Ketenagakerjaan.Koalisi Ojol Nasional juga membacakan petisi berisi empat poin penolakan. Termasuk menolak politisasi isu ojol, keberatan atas pemotongan 10 tanpa kajian, serta menolak pengakuan ojol sebagai pekerja tetap.

Direktur Eksekutif Modantara Agung Yudha, menyebut dampak penerapan konvensi ILO bisa merembet ke UMKM, layanan publik, hingga meningkatnya angka pengangguran. Menurut Agung, jika reklasifikasi dipaksakan, hanya 10–30 mitra pengemudi yang bisa terserap sebagai karyawan.

Sisanya, 70–90, diprediksi akan kehilangan pekerjaan. “Pemaksaan kebijakan ini dapat menyebabkan efek domino berupa menurunnya pendapatan jutaan UMKM, meningkatnya pengangguran, dan hilangnya kepercayaan investor,” katanya.

Industri pengantaran dan mobilitas digital disebut menyumbang hingga 2 dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Jika sistem kemitraan diganti total, kontribusi ini diperkirakan menurun drastis, dengan potensi kerugian mencapai Rp178 triliun. Baca juga:7,28 Juta Orang Indonesia Jadi Pengangguran per Februari 2025

Beberapa temuan dampak serupa juga terjadi di negara lain. Di Spanyol, setelah reklasifikasi, Uber memutus kemitraan dan Deliveroo hengkang dari pasar. Di Inggris dan AS, harga layanan naik dan volume pemesanan menurun drastis.

Penurunan pendapatan UMKM, gangguan layanan logistik, dan risiko krisis sosial menjadi kekhawatiran utama. “Kita tidak bisa serta merta meniru negara lain tanpa kajian menyeluruh. Indonesia perlu melakukan regulatory impact assessment terlebih dulu,” tuturnya.

Topik Menarik