Industri Rokok Terjepit Regulasi, Jutaan Pekerja Terancam PHK
Penolakan terhadap sejumlah pasal tembakau dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 terus menguat. Pemerintah Kabupaten Kudus, serikat pekerja, hingga pelaku industri menilai regulasi tersebut mengancam keberlangsungan Industri Hasil Tembakau (IHT) dan kesejahteraan jutaan pekerja yang menggantungkan hidup di sektor ini.
Bupati Kudus, Sam'ani Intakoris, menyebut pasal-pasal tembakau dalam PP tersebut berpotensi menimbulkan kerugian besar, terutama bagi daerah yang perekonomiannya sangat bergantung pada industri rokok.
"Di Kudus, IHT menyerap tenaga kerja yang sangat banyak. Harus ada kajian khusus dan komunikasi lintas sektor untuk mengantisipasi dampak regulasi ini," ujar dia dalam acara HUT Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman (FSP RTMM-SPSI), dikutip Sabtu (31/5).
Baca Juga:Orientasi Ekspor, Sampoerna Rogoh Kocek Rp5,3 Triliun Produksi IQOS Cs di RI
Sam'ani menegaskan Pemkab Kudus telah menyiapkan skema bantuan sosial bagi pekerja IHT melalui Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT). "Kalau DBHCHT Kudus naik Rp1 triliun, pekerja bisa mendapat bansos selama 12 bulan," katanya.Langkah tersebut dianggap sebagai bentuk komitmen pemerintah daerah dalam melindungi buruh. DBHCHT juga dipandang sebagai instrumen strategis jangka panjang yang tak hanya menopang pendapatan daerah, tetapi juga menjaga stabilitas sosial dan ekonomi di wilayah penghasil tembakau.
Ketua Umum FSP RTMM-SPSI, Sudarto, bahkan menyarankan agar pasal-pasal tembakau dalam PP 28/2024 dibatalkan jika terbukti menghambat penyelamatan industri padat karya. Ia menyoroti pembatasan iklan, penjualan, dan rencana plain packaging dalam rancangan turunan aturan tersebut dinilai mempersempit ruang gerak IHT.
"Kebijakan ini bisa menghambat penyerapan hasil panen petani dan memicu efisiensi tenaga kerja yang berujung pada PHK," kata Sudarto.
Ia menambahkan bahwa revisi atau deregulasi merupakan langkah wajar demi menjamin keberlanjutan sektor padat karya yang selama ini menjadi penyangga ekonomi rakyat.
Ketua Pimpinan Unit Kerja (PUK) SP RTMM PT Djarum Kudus, Ali Muslikin, menyebut pasal-pasal dalam PP 28/2024 sebagai ancaman langsung terhadap kesejahteraan buruh. Ia mengungkapkan para pekerja telah menyampaikan penolakan melalui aksi unjuk rasa ke Kementerian Kesehatan namun belum ada tindak lanjut yang konkret.Di luar kritik terhadap regulasi, seruan moratorium kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) juga menggema. Sudarto menilai kondisi ekonomi saat ini tidak mendukung kebijakan fiskal yang semakin membebani industri. “PHK besar-besaran sedang terjadi. Kalau cukai terus naik, pendapatan buruh makin turun,” katanya.
Hal senada disampaikan Ali Muslikin. Ia berharap tidak ada lagi kenaikan tarif cukai pada tahun mendatang. Ia mengingatkan, lonjakan tarif dapat mempercepat penurunan produksi dan menambah ancaman PHK. "Beban fiskal yang tinggi bisa mencekik industri. Kami harap tahun depan tak ada kenaikan," katanya.
Baca Juga:Ancaman PHK Massal Bayangi Industri Hasil Tembakau
Bupati Kudus juga mendukung penuh moratorium tersebut dan menekankan pentingnya pemberantasan rokok ilegal yang merugikan industri legal. Ia berharap kebijakan pemerintah mempertimbangkan kondisi riil di lapangan serta kontribusi besar industri legal terhadap penerimaan negara.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada Februari 2025 jumlah pengangguran di Indonesia meningkat menjadi 7,28 juta orang, naik 83 ribu dibandingkan tahun sebelumnya. Situasi ini memicu kekhawatiran akan bertambahnya gelombang PHK jika regulasi terus menekan sektor padat karya.
"Industri Hasil Tembakau menyumbang sekitar Rp240 triliun ke APBN. Hampir 10 persen dari penerimaan negara. Kalau industri ini terus dicekik, saya tidak tahu negara mau dapat pemasukan dari mana," pungkas Ali.










