Sering Jadi Pemberat, Kapan Sektor Teknologi Mampu Sokong IHSG?
IDXChannel - Pada bursa Wall Street, sektor teknologi menjadi salah satu faktor penguat atau pendongkrak kinerja indeks utama kedua terbesar di AS, yakni Nasdaq. Indeks ini memiliki lebih dari 3.000 komponen yang juga menjadi indikator kinerja saham perusahaan teknologi, dan perusahaan pertumbuhan.
Nama-nama besar seperti Microsoft, Google, Amazon, bahkan Netflix mampu memberikan warna bagi para investor. Apalagi, perusahaan-perusahaan tersebut memiliki pangsa pasar yang sangat besar, sekaligus penguasa di bidangnya masing-masing.
Perusahaan induk Google, Alphabet (GOOG) pada laporan keuangannya untuk Kuartal II-2023 membukukan pemasukan sebesar USD74,60 miliar atau setara dengan Rp1.134,58 triliun (Rp15.208 per USD).
Dengan nilai tersebut, Google sukses mendapatkan laba bersih sebesar USD33,42 miliar, setara dengan Rp508,24 triliun. Hasil tersebut membuat harga sahamnya berada di level USD129,56.
Harga lebih baik justru dimiliki oleh Microsoft (MSFT) yang berada di level USD321,01. Perusahaan milik Bill Gates sukses membukukan pemasukan sampai dengan Kuartal II-2023 sebesar USD51,7 miliar, atau setara dengan Rp787,45 triliun.
Sedangkan Amazon (AMZN) dengan saham yang berada pada level USD138,41 ini telah membukukan pendapatan sebesar USD134,38 miliar, atau setara dengan Rp2.046,76 triliun. Dengan hasil tersebut, perusahaan milik Jeff Bezos ini mencatatkan laba USD6,75 miliar, yang setara dengan Rp102,81 triliun.
Perolehan yang diraih oleh perusahaan-perusahaan teknologi tersebut membuat Nasdaq berteger di level 13.644,85 pada penutupan perdagangan Jumat (11/08/2023) kemarin. Nilai ini melejit jauh lebih tinggi selama masa pandemi Covid-19 lalu.
Bagaimana dengan Indonesia?
Sejak meluncur ke bursa pertama kali, sejumlah saham teknologi di Indonesia rata-rata menjadi pemberat bagi indeks harga saham gabungan (IHSG). Mayoritas saham tersebut justru jatuh tidak lama setelah menggelar initial public offering, atau penawaran perdana saham (IPO).
Sebagai contoh, perusahaan pertama yang meluncur ke bursa efek adalah PT Bukalapak.com Tbk (BUKA). Saat IPO, perseroan menawarkan harga senilai Rp850, dengan melemparkan 25,76 miliar saham kepada publik.
Meski sempat menembus level 1.110 setelah IPO, namun hal itu tidak bertahan. BUKA terus terpuruk, bahkan pada akhir perdagangan Jumat (11/08/2023) kemarin berada di level 228.
BUKA saat ini belum melaporkan laporan keuangan tengah tahun atau Semester I-2023. Namun, berdasarkan laporan kuartal I-2023 lalu, perseroan mencatatkan pemasukan sebesar Rp1 triliun, sayangnya BUKA masih mencatatkan rugi berkisar Rp1 triliunan.
Hal yang sama juga terjadi pada PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk, yang kini harga sahamnya berada di level 91. Harga ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan harga penawaran pada IPO lalu yang berada di angka 338.
Sama halnya dengan BUKA, GOTO juga belum merilis laporan keuangan tengah tahun atau Semester I-2023 ini. Namun, pada Kuartal I-2023 lalu, GOTO mencatat pemasukan Rp3,33 triliun. Sayangnya, perseroan masih membukukan rugi Rp3,86 triliun.
Sedangkan PT Global Digital Niaga Tbk (BELI) sedikit lebih baik, di mana nilai saham saat ini berada di level 454, di mana nilai tersebut tidak jauh dari harga penawaran yang dipatok senilai 450 per sahamnya.
Namun, setali tiga uang dengan emiten lainnya, BELI juga mencatatkan rugi Rp878,18 miliar pada Kuartal I-2023 lalu. Meski demikian, perseroan berhasil memperoleh pemasukan sebesar Rp3.83 triliun.
Melihat dari kondisi tersebut, nampaknya masih agak sulit bagi sektor teknologi dapat menjadi penyokong kuat bagi IHSG sebagai mana halnya dengan Nasdaq yang terdorong berkat saham-saham seperti Alphabet, Amazon dan lain sebagainya.
Ketiga perusahaan tersebut sukses mencatatkan untung, dan nilainya pun cukup lebuh baik. Sebaliknya, tiga perusahaan teknologi tanah air justru masih mencatatkan rugi yang tidak sedikit nilainya.
Kira-kira sampai kapan kerugian sektor teknologi di tanah air bisa berubah menjadi profit? Kita tunggu kelanjutannya.
(TYO)