Jejak Gubernur Sulut dalam Penyelesaian Pemberontakan Permesta
TIDAK selamanya cara diplomasi gagal menyelesaikan konflik, terutama ketika Republik Indonesia baru berdiri. Berbagai gerakan yang berseberangan dengan pemerintah pusat terus bermunculan, seperti gerakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Semesta (PRRI/ Permesta ).
Dari hubungan dua sahabat, Frits Johanes (Broer) Tumbelaka dan Letkol DJ Somba, penyelesaian gerakan Permesta bisa diwujudkan pada Peristiwa Malenos, 4 April 1961.
Diketahui, gerakan Permesta lahir (2 Maret 1957) akibat ketidakpuasan dan klimaks pertentangan dengan pemerintah pusat, dalam hal ini Kabinet (Perdana Menteri) Djuanda.
Tapi komplotan gerakan yang digawangi Somba, Alexander Evert Kawilarang serta Ventje Sumual itu akhirnya pecah pada Februari 1961. Alasannya, Permesta tak ingin mendukung berdirinya Republik Persatuan Indonesia (RPI).
Tidak hanya ingin menggabungkan kekuatan PRRI/Permesta dengan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) pimpinan Kahar Mudzakar di Makassar, tapi juga ingin memisahkan diri dari RI. Hal itu yang tak disenangi para petinggi Permesta seperti Somba dan Kawilarang, kecuali Sumual.
Di sisi lain dikutip dari buku Permesta dalam Romantika, Kemelut dan Misteri, Broer Tumbelaka, Gubernur Sulawesi Utara yang pertama, membuka pertemuan pada medio Maret 1961 dan sejak saat itu, terus membuka pintu belakang demi menyelesaikan konflik pemerintah dengan Permesta.
Pertemuan yang tepatnya berlangsung di Desa Lahendong itu, sedianya tak hanya dihadiri Somba dan Tumbelaka, tapi juga dihadiri sejumlah warga desa dan masing-masing pasukan. Bahkan, pasukan Permesta dan TNI saling berangkulan tanda rindu persatuan.
Keberhasilan Tumbelaka menjalin kontak dengan Somba, tak lepas dari hubungan persahabatan mereka yang belum putus, semenjak masih berdinas dalam tubuh TNI di Surabaya.
Dari situlah, penyelesaian bisa terjadi pada 4 April 1961 di Malenos, Minahasa. Permesta diwakili Somba dan pemerintah diwakili Pangdam XIII Merdeka, Kolonel Sunandar Priyosudarmo.
Somba mengajak Kawilarang untuk berdamai lewat pesan kawat. Empat hari kemudian, Kawilarang datang dengan berjalan kaki.
Di bawah bendera merah putih ini terlalu banyak kawan sudah jadi korban. Bendera ini sama haknya dengan (Presiden) Soekarno. Bendera ini kita punya. Itu dan Pancasila tidak akan dilepaskan, tegas Kawilarang.
Semua pengikut Permesta diberi amnesti dan abolisi lewat Keppres 322/1961. Sementara Sumual yang sempat ikut gerakan RPI, akhirnya menyerahkan diri pada medio Oktober 1961 dan juga ikut diampuni kecuali para anasir RPI yang berafiliasi dengan DI/TII.
Sebagaimana konflik di manapun, gerakan ini menimbulkan derita pada rakyat. Menurut keterangan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Mayjen Abdoel Haris Nasution, sekira 15 ribu korban jiwa di Minahasa, 394 desa di seluruh Sulawesi Tengah dan Utara musnah. Sekitar 2.499 nyawa prajurit TNI melayang dan di pihak PRRI/Permesta 22.174 tewas.





