Pemerintah RI Larang Bisnis Thrifting, Seberapa Terancam Industri Tekstil RI?
IDXChannel - Bisnis thrifting pakaian impor mendapat sorotan keras dari pemerintah Indonesia. Bahkan impor pakaian bekas saat ini digolongkan sebagai aktivitas ilegal.
Hal tersebut mengacu pada Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 40 Tahun 2022 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor yang berlaku mulai 21 Juni 2022.
"Hal ini (thrifting) akan mengganggu sektor industri yang padat karya," kata Menkop UKKM Teten Masduki, Senin (13/3/2023).
Teten menilai usahathriftingbisa berdampak pada berkurangnya pasar industri tekstildalam negeri dan menyebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor ini.
"Kalaumarket(tekstil) ini diambil oleh produk dari luar, akan banyak pengangguran. Kalau banyak pengangguran, daya beli masyarakat akan turun. Selain itu ekonomi nasional akan terganggu, dan masyarakat juga akan sulit mendapatkan lapangan kerja,"kata Teten.
Presiden Jokowi juga menegaskan larangan aktivitas thrifting karena akan mengganggu bisnis industri tekstil.
"Itu mengganggu industri tekstil di dalam negeri. Sangat mengganggu, yang namanya impor pakaian bekas mengganggu," kata presiden asal Solo tersebut saat menghadiri Pembukaan Business Matching Produk Dalam Negeri, Rabu (15/3).
Impor Meroket dan Digandrungi Generasi Muda
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mengimpor pakaian bekas dan barang tekstil bekas sebanyak 26,22 ton per 2022. Berat impor baju bekas ini menyaingi berat impor pakaian dan aksesorisnya (rajutan) serta pakaian dan aksesorisnya (non-rajutan) pada Januari 2023 yang masing-masing mencapai 12 ton dan 11 ton.
Mengutip data ekspor-impor BPS, nilai impor baju bekas meroket 607,6% secara year on year (yoy) pada periode Januari hingga September 2022.
Komoditas dengan kode HS 63090000 ini menyumbang nilai total impor mencapai USD272,146 ribu atau setara Rp4,18 miliar (kurs Rp15.361,95 per USD).
Adapun nilai impor pakaian bekas terbesar berasal dari Australia sebesar USD225.941 atau sekitar Rp3,5 miliar pada periode yang sama.
Beberapa negara juga terpantau menjadi sumber impor baju bekas seperti Jepang, Amerika Serikat, Singapura, Malaysia, Tiongkok, Prancis, Thailand, Belanda, dan Inggris.
Update data BPS, per Januari 2023, nilai pakaian bekas yang diimpor berhasil mencapai USD1.965 atau setara Rp 30,2 juta. Angka ini merupakan akumulasi impor dari 6 negara di antaranya Prancis, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Amerika Serikat, dan Vietnam.
Menurut data Statista, pada 2021, nilai pasar global pakaian bekas dan dijual kembali diperkirakan bernilai USD96 miliar. Nilai ini diproyeksikan akan meningkat pesat di tahun-tahun mendatang, lebih dari dua kali lipat dari tahun 2021 hingga 2025, sebelum mencapai nilai USD218 miliar pada 2026.
Banyak pertumbuhan industri pakaian bekas terkait dengan kebutuhan gaya hidup generasi muda. Dalam survei global Statista 2021, generasi yang paling ingin membeli pakaian bekas adalah Generasi Z dan milenial.
Dengan thrifting baju bekas, ini dipandang sebagai cara yang lebih murah dan ramah lingkungan. Ini diperkuat dengan laporan McKinsey dalam The State of Fashion 2019, di mana sembilan dari sepuluh konsumen Generasi Z dan Gen Y lebih peduli terhadap perubahan iklim dibandingkan generasi yang lebih tua.
Harga pakaian bekas yang lebih murah juga menjadi faktor popularitas dan membuat pakaian yang terlalu mahal menjadi lebih mudah diakses.
Pertumbuhan internet juga menjadi faktor berkembangnya bisnis thrifting. Salah satu cara populer yang digunakan generasi muda untuk membeli pakaian bekas adalah melalui aplikasi smartphone, yang memberi pembeli lebih banyak pilihan dan kenyamanan.
Loyonya Industri Tekstil dan Fesyen Nasional
Wajar jika pemerintah menggencarkan kampanye anti thrifting bahkan mengaturnya lewat sejumlah regulasi. Mengingat, pertumbuhan industri tekstil dan pakaian jadi sepanjang 2022 hanya sebesar 9,34%.
BPS mencatat, produk domestik bruto (PDB) atas dasar harga konstan (ADHK) dari industri tekstil dan pakaian jadi sebesar Rp34,85 triliun pada kuartal tiga tahun lalu.
Nilai ini bertumbuh 8,09% dibandingkan periode tahun sebelumnya sebesar Rp32,24 triliun yoy.
Meski masih tumbuh positif, kenaikannya melambat dibandingkan pada kuartal sebelumnya yang sebesar 13,74% (yoy). Hal itu salah satunya disebabkan oleh turunnya utilisasi di masing-masing subsektor industri tekstil.
Secara rinci, utilisasi industri serat mengalami penurunan 20%. Industri pemintalan ( spinning )mencatatkan penurunan utilisasi sebesar 30%.
Kemudian, utilisasi industri penenunan ( weaving ) dan perajutan( knitting ) terkontraksi 50%. Sedangkan, utilisasi industri garmen dan pakaian bayi masing-masing mengalami penurunan sebesar 50% dan 20-30%.
Di Indonesia, beberapa perusahaan tekstil tercatat melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan kapitalisasi pasar (market cap) jumbo. (Lihat tabel di bawah ini.)
Kinerja emiten tekstil ini juga tak terlalu menggembirakan dalam beberapa waktu terakhir.
Bahkan, ada beberapa emiten yang harus terkena suspensi oleh BEI, salah satunya PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex yang sedang mengalami masalah utang.
Selain itu, dampak loyonya industri tekstil, terdapat beberapa perusahaan yang memangkas jam kerjanya menjadi 3-4 hari dari sebelumnya 7 hari. Akibatnya, terdapat 92.149 ribu orang yang terdampak PHK dari industri ini.
Kondisi tersebut tak lepas dari menurunnya ekspor tekstil, khususnya ke Amerika Serikat dan Eropa.
Namun, lesunya ekspor memang dipengaruhi oleh kondisi perekonomian beberapa negara maju tersebut. Oleh karenanya, bisnis thrifting tidak bisa serta-merta dijadikan kambing hitam. (ADF)