Angin Segar dari Program B35 hingga China-India, Saham Sawit Bisa Tokcer Lagi?

Angin Segar dari Program B35 hingga China-India, Saham Sawit Bisa Tokcer Lagi?

Ekonomi | BuddyKu | Kamis, 26 Januari 2023 - 16:06
share

IDXChannel Permintaan Crude Palm Oil (CPO) di berbagai negara menurun belakangan. Kendati demikian, pemerintah Indonesia sedang menggalakkan program B35 yang turut menjadi angin segar bagi industri ini di tengah pelemahan permintaan CPO.

Mengutip riset MNC Sekuritas dengan tajuk Plantation Sector Updates: Low-Key View as Prices Moderate yang dirilis pada Selasa (24/1), jumlah impor CPO China dari Indonesia merosot 24,4 persen secara year on year (yoy) menjadi 4,4 juta metrik ton (mt) selama 11 bulan 2022.

Adapun, penurunan tersebut didorong oleh meningkatnya produksi minyak nabati yang mengimbangi permintaan untuk minyak sawit.

Sementara, di India dan sejumlah negara eropa juga mengalami penurunan permintaan impor minyak sawit dari Indonesia.

Melansir data MNC Sekuritas, impor CPO dari Indonesia di India turun hingga 10,7 persen yoy menjadi 5,9 juta mt. (Lihat data di bawah ini.)

Sedangkan di sejumlah negara Eropa, permintaan impor minyak sawit dari Indonesia juga diprediksi menurun 4 persen menjadi 5,3 juta mt di tahun 2023 karena pembatasan penggunaan minyak sawit sebagai bahan bakar biodiesel.

Walaupun memang, ada penurunan permintaan sawit terutama dari sejumlah negara di Eropa, adanya peningkatan permintaan ekspor dari China dan India diprediksi dapat mengimbangi penurunan tersebut.

Kendati demikian, kami melihat potensi peningkatan permintaan ekspor sebesar 58,6 persen yoy mengingat permintaan Eropa yang lebih rendah akan diimbangi oleh potensi China dan India yang menyumbang 29 persen dari volume ekspor nasional, tulis MNC Sekuritas.

Di samping adanya penurunan permintaan, MNC Sekuritas juga menyebutkan adanya penurunan produksi CPO di Tanah Air sepanjang 10 bulan di 2022.

Adapun, total produksi CPO di Indonesia turun sebesar 2,3 persen yoy menjadi 41,6 juta mt diikuti oleh penurunan volume ekspor CPO sebesar 12,5 persen menjadi 21,4 juta mt.

Selain itu, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) memproyeksikan, penurunan produksi CPO akan terus berlangsung sepanjang 2023 dengan penurunan sebesar 1,9 persen yoy menjadi 51,5 juta mt, mengingat kenaikan harga pupuk akibat konflik geopolitik.

Sejurus dengan produksi CPO domestik yang merosot, sejumlah perusahaan perkebunan sawit juga mencatatkan penurunan hingga 2,9 persen yoy sepanjang 9 bulan 2022.

Adapun, perusahaan yang melaporkan penurunan produksi adalah PT Astra Argo Lestari Tbk (AALI), PT London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP), dan PT Dharma Satya Nusantara Tbk (DSNG).

Kami juga melaporkan adanya penurunan produk turunan CPO dari perusahaan tersebut yang mencapai 8,4 persen secara yoy, tulis riset tersebut.

Peluang B35 di Tengah Penurunan Permintaan CPO

Kendati permintaan hingga produksi CPO melemah belakangan ini, industri perkebunan sawit masih mendapat angin segar dari naiknya permintaan biodiesel untuk program B35.

Menurut MNC Sekuritas, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memprediksi permintaan biodiesel bakal naik hingga 19,3 persen yoy akibat adanya peralihan dai B30 ke B35.

Asal tahu saja, pemerintah sedang berupaya meningkatkan presentase pencampuran Bahan Bakar Nabati (BBN) ke dalam Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis minyak solar dari 30 persen (B30) menjadi 35 persen (B35).

Adapun, program pemerintah tersebut akan mulai diberlakukan pada 1 Februari 2023.

Sementara untuk program B35, melansir dari keterangan Kementerian ESDM, target penyaluran biodiesel mencapai 13,15 juta kiloliter (kL).

Di samping itu, MNC Sekuritas juga menyebutkan, kebutuhan bio solar juga diperkirakan bakal meningkat sebesar 3 persen menjadi 37,6 miliar kL.

Oleh karena tu, kami mengantisipasi kenaikan permintaan CPO domestik di tahun 2023 yang membantu untuk mengurangi surplus tangki persediaan, tulis riset tersebut.

Sedangkan, untuk harga CPO, MNC Sekuritas memperkirakan akan tetap stabil di MYR3.500/mt hingga MYR4.500/mt ditopang ole stabilnya pasokan global dan hasil panen yang relatif stabil.

Adapun, MNC Sekuritas juga memberikan rating netral untuk industri ini seiring dengan potensi penurunan pendapatan perusahaan yang dipengaruhi oleh harga pupuk yang tinggi.

Kami memilih DSNG sebagai pilihan utama seiring dengan skor ESG yang lebih baik dari kompetitornya di industri ini," tulis MNC Sekuritas.

Sementara, ditilik dari kinerja sahamnya, DSNG memang mengungguli emiten sawit lainnya seperti LSIP dan AALI.

Melansir data Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Kamis (26/1), kinerja saham DSNG secara year to date (YTD) melesat 9,17 persen. (Lihat grafik di bawah ini.)

Sedangkan, emiten sawit lainnya LSIP dan AALI masih mencatatkan kinerja saham yang menghijau sepanjang 2023.

BEI menyebutkan, saham LSIP dan AALI masing-masing menguat sebesar 3,94 persen dan 1,87 persen secara YTD.

Selain itu, MNC Sekuritas juga menyebutkan sejumlah peluang yang mendorong kinerja DSNG ke depannya, seperti permintaan CPO yang lebih tinggi, harga CPO yang sesuai harapan, hingga proses penanaman sawit kembali yang lebih cepat.

Periset : Melati Kristina

(ADF)

Disclaimer : Keputusan pembelian/penjualan saham sepenuhnya ada di tangan investor.

Topik Menarik