ANALISIS: Descanse Em Paz O Rei, Rest In Peace Pele
TERUS terang, saya bukan salah seorang pengagum Pele, seperti sayapun bukan pengagum Diego Armando Maradona, Lionel Messi ataupun Cristiano Ronaldo. Jika tiga nama terakhir itu saya punya kesempatan melihat permainannya, justru tidak demikian dengan nama pertama yang saya tulis diatas. Edson Arantes do Nascimeno yang di dunia sepak bola dikeal dengan mama Pele dan bagi pendukung tim samba di sebut sebagai o rei atau sang raja, justru tidak pernah saya saksikan sepak terjangnya. Ketika merebut piala dunia tahun 1958, 1962 dan 1970 untuk memastikan Piala Jules Rimet lambing supremasi kejuaraan dunia antar negara itu jadi milik abadi Brasil.
Bahkan, Ketika Pele datang ke Jakarta untuk satu pertandingan Santos melawan timnas, saya yang beruntung jadi salah satu penonton di Sernayan saat itu justru lebih mengelu elukan oom Risdianto, striker timnas yang menjebol gawang Santos, timnya Pele dalam kakalahan 2-3 sekalipun. Di mata seorang anak berusia 7 tahun yang baru kenal sepakbola, pahlawan sepakbola saat itu bukan Pele yang telah mundur dari timnas Brasil, tapi Wlodziemiers Lubanski, kiri luar Polandia bernomor punggung 19, yang membawa negaranya merebut medali emas Olimpiade Munich 1972.
Tapi semakin tau tentang sepak bola, ditambah melihat Brazil yang tak berdaya mempertahankan gelar di Piala Dunia 1974 tanpa Pele, gambaran kehebatan Pele beserta gol golnya baik di Santos mauoun timnas Selecao terus terekam diotak. Ditambah pemberitaan akan kemampuannya mengangkat warna sepakbola di Amerika Serikat saat direkrut oleh Cosmos untuk bermain di North American Soccer League (NASL).
Sampai pada tahun 1977, saat sang legenda ini mengumumkan pengunduran dirinya dari dunia professional sikulit bundar dalam sebuah perayaan di New York Cosmos Stadium yang juga dihadiri oleh The Greatest Muhammad ali dan rekannya di Cosmso, mantan kapten tinnas Jerman Barat, Franz Beckenbauer yang juga turut memperkenalkan dan membesarkan sepakbola di Amerika Serikat.
Ingatan akan Pele berikutnya adalah di era 80 dan 90an dimana dia sering jadi pengkritik timnas Samba, yang berkali kali gagal di piala dunia. Dua piala Dunia 1982 dan 1986 dimana Brazil memiliki tim yang disebut sebagai foto copy tiimnas Samba di Piala Dunia 1970 adalah prediksi sang Raja untuk juara di dua edisi piala dunia itu. Tapi catenaccio Italia di Spanyol 1982 dan four musketeers Prancis di Meksiko 86 menggagalkan prediksi tersebut yang oleh Pele disebut sebagai ketidaksabaran anak asuhan Tele Santana menghadapi tekanan. Pendek kata, Pele mengkritik Brazil yang dianggap terlalu menyerang.
Tapi Sang legenda juga yang terang terangan mengkritik gaya bertahan Brasil di piala dunia 1990 yang gagal di perdelapan final melawan Argentina dan terang terangan memuji Kolombia untuk juara Piala Dunia 1994, karena attacking flow football yang dibawakan Carlos Valderrama dkk. Hasilnya Kolombia tersingkir diputaran pertama dan Brazil yang pragmatis dibawah Carlo Alberto Perreira dengan komando Dunga yang bak defensive midfielder ala Eropa justru jadi juara dunia. Sampai sini intinya adalh Pele lebih baik sebagai pemain ketimbang sang legenda sebagi pengamat.
Walauun demikian satu hal yang tidak bisa dilupakan dari pria kelahiran Tres Coracoes, 23 Oktober 1940 ini adalah keramahan dan sikap baiknya sampai akhir hayatnya. Makanya julukan sebagai footballer dan juga humanitarian melekat kepadanya, donasinya untuk kemanusiaan yang besar dan terus menerus, juga sikap ramahnya saat meledeni para jurnalis manca negara di setiap event besar yang didatanginya.
Saya sempat bertemu dengannya saat pertama klai meliput event besar. Bagi seorang rookie reporter di Euro 96, bertemu dengan Pele adalah anugerah. Walauun ga satupun pertanyaan bisa keluar dari mulut, karena memang ga dapet kesempatan dalam wawancara one on one bagi setiap media itu, satu hal yang sangat menyentuh hati, adalah diakhir acara sang raja mendatangi saya sebelum keluar dari gedung pertemuan hanya karena saya mengenakan replica kaos Brasil tahun 70an. Yang langsung dibubuhi tanda tangannya, karena sesuatu dan lain hal yang menyangkut finansial, kaos replica tersebut harus saya jual tahun 2013. Tapi kenangannya menggambarkan hospitality seorang Edson Arantes do Nascimento.
Kesempatan lainnya bertemu sang legenda adalah saat piala dunia Korea Jepang 2002. Satu sesi wawancara one on one dengan hanya boleh mengajukan tiga pertanyaan menggambarkan bagaimana sang o rei ini adalah penganut Jogo Bonito sejati. Dia bangga Brazil bermain baik yang kemudian jadi juara tapi sangat kehilangan sisi indah dieranya dan era 80an. Model seperi Gilberto Silva mungkin adalah salah satu yang tidak terpikirkan oleh Brazil dulu ujarnya. Tapi sepak bola selalu berkembang, dan Brasil belajar bahwa memiliki penjaga gawang yang bagus dan gelandang bertahan yang trengginas adalah sebuah keharusan di sepakbola sekarang.
Sau hal yang membuat kita berpikir bahwa Pele lebih istimewa darti Maradona Messi dan Ronaldo disamping tiga gelar piala dunianya adalah sikap protesnya yang tidak berlebihan saat di lapangan hijau. Juga respek terhadap lawan bahkan lawan yang mengasarinya sekalipun, seperi saat piala dunia 1966 berhadapan dengan Hungaria dan Portugal, dimana Brasil tersingkir diputara grup. Menghina lawan dalam bentuk gesture juga tidak pernah dilakukan Pele. Serta tidak melakukan segala macam cara untuk memenangkan pertandingan. Untuk satu hal ini, Pele tak bisa dipungkiri adalah GOAT sepakbola melebihi Maradona, Messi maupun Cristiano.
Descanse em Paz o reiRest In Peace The King ( Penulis:Gita Suwondo, Pengamat Sepak Bola dan Penggemar Timnas Brasil )









