Indef Sebut Industri Hulu Sawit RI Lagi ‘Kacau Balau’

Indef Sebut Industri Hulu Sawit RI Lagi ‘Kacau Balau’

Ekonomi | BuddyKu | Selasa, 9 Agustus 2022 - 07:13
share

IDXChannel - Meski harga minyak goreng terpantau sudah mengalami penurunan harga, tapi di sisi hulu harga beli tandan buah segar (TBS) sawit di tingkat petani yang rata-rata masih berada di kisaran Rp 1.2000 per kilogram (kg). Harga tersebut jauh lebih rendah ketimbang harga TBS sawit di malaysia yang saat ini setara dengan Rp 4.500.

Untuk kembali menaikkan harga TBS Sawit, Kementerian Keuangan (Kemenkeu), menyetop sementara pungutan ekspor sawit dengan harapan menggairahkan kembali ekspor sawit nasional, sehingga pabrik bisa melepas cadangan yang selama ini hanya tersimpat di tangki penyimpanan.

Peneliti Institut for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda mengungkapkan, pengelolaan dana sawit saat ini tidak sejalan dengan ide utama ketika pungutan ekspor sawit ini direncanakan.

"Pemanfaat dana dari kelapa sawit saat ini bisa dibilang jauh dari kata \'bagus\' bahkan cenderung \'kacau balau\'," kat Huda, dihubungi di Jakarta, Selasa (9/8/2022).

Ada sejumlah aspek yang menjadi sorotan dan mendasari penilaiannya. Selain tidak tepat sasaran, Nailul Huda memandang, pemanfaatan dana sawit ini hanya menguntungkan segelintir pihak.

"Sama sekali tidak tepat sasaran dengan kita melihat dana pengelolaan dari kelapa sawit banyak yang kembali pada produsen pengolah dana sawit sekaligus eksportir kelapa sawit. Bahkan ada perusahaan yang untung dari subsidi biodiesel kelapa sawit," ungkap Huda.

Pemerintah, lanjut dia, hanya fokus pada pengembangan biodiesel dengan porsi yang cukup besar. Di sisi lain, aspek lain seperti pemberdayaan petani malah mendapat porsi yang minim.

"Pemanfaatan saat ini lebih banyak digunakan untuk subsidi program biodiesel. Padahal ada sasaran lainnya seperti peningkatan SDM petani, peremajaan sawit, dan lainnya, yang porsinya sangat kecil sekali. Belum lagi untuk porsi lainnya. Jadi alokasi saat ini sangat timpang sekali. Kacau balau," tegas Huda.

Daripada untuk mensubsidi biodiesel, lanjut dia, dana sawit ini sebenarnya punya peran yang lebih penting sebagai penyeimbang kala harga minyak goreng di tengah masyarakat melambung tinggi dan harga TBS sawit petani terjun bebas.

"Justru petani lah yang berhak mendapatkan keuntungan paling besar dari dana sawit bukan pengusaha. Salah satu contohnya juga bisa dijadikan tools untuk stabilisasi harga minyak goreng atau TBS bagi petani. Jauh lebih bermanfaat bagi masyarakat luas dibandingkan diberikan ke pengusaha kelapa sawit," tutur dia.

Berangkat dari sana, ia menyarankan agar pemerintah mulai melakukan evaluasi terhadap penerapan pungutan ekspor produk sawit.

"Maka sudah seharusnya pemerintah mengevaluasi BPDKS secara menyeluruh. Terutama setelah kejadian fenomenal kemarin dimana kelangkaan minyak goreng terjadi dan harga minyak goreng melambung tinggi. Evaluasi bukan hanya di perdagangan, tapi dari pemanfaatan dana pungutan dari sawit," tegas dia.

Dalam laporan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) di tahun 2019 berjudul Salah Kaprah Dana Sawit, disebutkan bahwa pungutan sawit telah berdampak pada penurunan harga tandan buah segar (TBS) di tingkat petani.

"Terbukti, dengan pungutan USD50/ton, harga tandan buah segar (TBS) petani telah mengalami penurunan sekitar Rp 120-150/kg," tulis laporan tersebut dikutip dari situs resmi SPKS.

Dalam konteks kekinian, dampaknya pada penurunan harga TBS sawit bisa lebih besar lantaran saat ini besaran pungutan sawit telah mencapai USD200 per kg.

Dengan tekanan yang diterima petani imbas pungutan sawit, petani justru jadi pihak yang paling minim menerima manfaat dari dana pungutan sawit tersebut.

Benar saja, sejak Presiden Joko Widodo menandatangani peraturan pembentukan Bandan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDP-Sawit) pada tahun 2015, BPDP-Sawit sudah mengumpulkan dana kurang lebih sekitar Rp137,28 triliun dari potongan penjualan ekpor CPO (Crude Palm Oil) hingga 2021.

Penggunaan dana yang dikumpulkan tersebut tidak banyak memberikan dampak kepada petani sawit karena dana pungutan sawit lebih banyak digunakan untuk memenuhi insentif mandatori biodiesel.

Total insentif yang diterima oleh produsen biodiesel sekitar Rp110,05 triliun dalam periode 2015-2021 atau mencapai 80,16% dari total dana sawit. Namun anggaran untuk industri sawit justru sangat minim. Hingga tahun 2021, dari total dana pungutan sawit, anggaran peremajaan sawit hanya sebesar Rp 6,59 triliun atau setara 4,8%.

Sementara anggaran pengembangan SDM (petani) hanya Rp 199 miliar atau hanya 0,14% dari total dana sawit.

Seperti diketahui, sengkarutnya industri hulu sawit saat ini diduga akibat imbas keberadaan regulasi yang ditetapkan pemerintah.

Misalnya pada Permen ESDM No. 29 thn 2015 Pasal 6 ayat (9) disebutkan Penetapan Badan usaha BBN jenis Biodiesel dan alokasi besaran volume BBN jenis Biodiesel sebagaimana dimaksud pada ayat (6) menjadi dasar Badan usaha BBM Tertentu melakukan penunjukan langsung. ( RRD )

Topik Menarik