Menjaga Utang Negara agar Tetap Produktif

Menjaga Utang Negara agar Tetap Produktif

Ekonomi | BuddyKu | Jum'at, 24 Juni 2022 - 07:17
share

Wahyu Utomo
Plt Kepala Pusat Kebijakan APBN, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan

FAKTA menunjukkan APBN memiliki peran yang sangat vital dalam perekonomian di masa pandemi Covid-19. Tidak hanya di Indonesia, tapi juga semua negara. Saat ini, di tengah situasi perekonomian global yang masih serbatidak menentu, APBN masih menjadi salah satu instrumen terpenting untuk menjaga arah pemulihan ekonomi nasional. APBN tidak hanya berperan dalam menstimulasi perekonomian, tapi juga bekerja keras untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Dengan peran APBN yang sedemikian penting, wajar apabila pemerintah secara konsisten menjaga APBN agar tetap sehat.

Melalui berbagai reformasi fiskal, pemerintah ingin terus berupaya untuk meningkatkan kualitas APBN, baik dari sisi pendapatan, kualitas belanja, dan inovasi pembiayaan. Di tengah upaya reformasi fiskal yang terus dilakukan, berbagai tantangan kembali hadir. Salah satunya adalah masih terbatasnya pendapatan negara untuk memenuhi kebutuhan pembangunan. Untuk itu, pemerintah memilih jalan dengan mencari pembiayaan yang salah satunya bersumber dari utang. Secara teoritis, utang merupakan suatu hal yang wajar dan umum dalam praktik kebijakan keuangan negara.

Menurut Dana Moneter Internasional (IMF), hanya ada satu negara yang terbebas dari utang, yakni Macao SAR. Bahkan, Brunei Darusalam yang selama ini dikenal sebagai salah satu negara paling kaya di dunia, tercatat memiliki utang pemerintah sebesar 3,2 persen dari PDB. Untuk negara dengan porsi utang terbesar terhadap PDB, Jepang menjadi pemimpin klasemen sementara, yaitu sebesar 266,2 persen PDB. Dalam konteks ini, utang menjadi instrumen fiskal yang mempunyai nilai strategis untuk mengantarkan terwujudnya kesejahteraan.

Namun demikian pilihan kebijakan utang juga membawa konsekuensi risiko yang perlu dikendalikan. Sejalan dengan hal tersebut, maka pengelolaan utang harus senantiasa memenuhi 3 prinsip utama, yaitu utang sesuai kebutuhan, utang sesuai kemampuan membayar, dan utang yang diarahkan untuk kegiatan produktif.

Prinsip pertama adalah utang sesuai kebutuhan. Pemerintah menyadari bahwa tantangan ke depan yang dihadapi untuk meraih kesejahteraan masih membutuhkan upaya yang lebih ekstra (extra effort) sedangkan ruang fiskal yang tersedia belum sepenuhnya memadai. Untuk itu dibutuhkan strategi yang tepat, di mana kita dihadapkan 2 (dua) opsi apakah perlu berutang sebagai window of opportunity untuk mengejar ketertinggalan atau sebaliknya tidak perlu berutang, namun kehilangan kesempatan (opportunity loss) untuk mengejar ketertinggalan.

Utang merupakan pilihan kebijakan untuk mengantar rakyat Indonesia dapat hidup sejahtera, tersedianya infrastruktur yang memadai, layanan kesehatan, serta pendidikan yang berkualitas dan merata. Jadi di sinilah dapat dimaknai bahwa utang itu sesuai kebutuhan untuk menutup financing gap dalam rangka memelihara momentum agar terhindar dari opportunity loss untuk mewujudkan kesejahteraan.

Prinsip kedua adalah utang sesuai kemampuan. Apabila kita mencermati perkembangan pengelolaan fiskal sebelum pandemi, pengelolaan fiskal sangat prudent dan sustainable. Hal ini terefleksi dari penerimaan perpajakan rata-rata tumbuh sebesar 10,2 persen PDB pada 5 tahun terakhir sebelum pandemi, keseimbangan primer sudah bergerak menuju positif, defisit APBN sebesar 2,3 persen PDB, dan rasio utang terkendali di level 29,04 persen PDB.

Berdasarkan perkembangan terkini, outstanding utang pemerintah per Mei 2022 adalah sebesar Rp7.002,2 triliun atau 38,9 persen PDB, dengan komposisi 71 persen dalam rupiah dan 29 persen dalam bentuk valas. Capaian tersebut jauh lebih rendah dari batas maksimal yang ditetapkan di fiscal rule, yaitu rasio utang sebesar 60 persen PDB. Apabila dibandingkan beberapa negara peers, rasio utang Indonesia juga masih relatif rendah. Kondisi ini menunjukan bahwa utang Indonesia masih solvable dan tidak akan mengganggu kesinambungan fiskal.

Prinsip ketiga adalah utang untuk kegiatan produktif. Berdasarkan konsep golden rule, apabila utang digunakan untuk investasi, maka utang dapat menjadi instrumen untuk mengakselerasi pencapaian target pembangunan. Utang untuk investasi akan mendorong produktivitas utang lebih tinggi dari risikonya, hal ini berarti risiko utang terkendali dan sustainable. Hal ini yang terus dipegang teguh oleh pemerintah.

Pada periode 2015-2021 terjadi penambahan utang sebesar Rp4.305,34 triliun, sementara itu pada periode yang sama kebutuhan anggaran produktif (infrastruktur, pendidikan dan kesehatan) mencapai Rp6.382,3 triliun. Artinya, pemanfaatan utang diarahkan untuk kegiatan produktif (human capital dan physical capital) lebih besar dibanding penambahan utang.

Ketiga prinsip di atas nyatanya menjadi salah satu kunci keberhasilan pemerintah keluar dari krisis pandemi. Tentu masih lekat di ingatan bahwa sepanjang pandemi Covid-19 pemerintah menempuh kebijakan fiskal extraordinary. Konsekuensinya, defisit melebar mencapai 6,14 persen PDB dan diikuti peningkatan rasio utang mencapai 39,39 persen PDB pada 2020. Hal ini terutama dipengaruhi oleh kurang optimalnya pendapatan negara, seiring dengan pelemahan kinerja perekonomian dan digunakannya berbagai insentif perpajakan sebagai instrumen stimulus fiskal dimasa pandemi.

Sementara ini belanja negara justru meningkat untuk mendukung penguatan countercyclical dalam penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi. Namun demikian, langkah pelebaran defisit dan penambahan utang tersebut justru mampu menahan pemburukan ekonomi yang semakin dalam. Pertumbuhan ekonomi walaupun terkontraksi -2,07 persen di tahun 2020 dapat kembali tumbuh positif 3,7 persen di tahun 2021, atau lebih baik dibanding mayoritas negara peers.

Berbagai indikator kesejahteraan Indonesia juga mengalami perbaikan seiring implementasi kebijakan fiskal. Kemiskinan Indonesia berhasil mencapai level satu digit, yaitu 9,71 persen per September 2021, atau turun dari 10,19 persen pada September 2020. Selanjutnya, tingkat pengangguran juga mengalami penurunan sebesar 0,67 juta orang, ke level 6,5 persen di Agustus 2021 setelah sebelumnya mencapai 7,1 persen pada Agustus 2021.

Dengan memperhatikan hal-hal tersebut, kita dapat belajar bahwa utang yang dikelola dengan manageable dapat menjadi instrumen penting bagi perekonomian, terutama untuk mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Namun demikian, pemerintah juga menyadari bahwa pilihan kebijakan utang membawa konsekuensi risiko. Untuk itu, aspek prudent dan sustainable tetap menjadi pertimbangan utama pemerintah ketika mengambil pembiayaan yang bersumber dari utang. Di samping itu, pemerintah juga telah mempersiapkan strategi keberlanjutan fiskal dalam jangka menengah-panjang dengan melakukan langkah konsolidasi fiskal yang disertai reformasi fiskal.

(Pandangan dan pendapat dalam artikel ini sepenuhnya mencerminkan pandangan dan pendapat penulis, tidak mewakili institusi)

Artikel ini sudah tayang di Sindonews dengan judul Menjaga Utang Negara Tetap Prudent dan Produktif

Topik Menarik