E Commerce Bakal Dibebani Biaya Materai Rp 10 000 UMKM Dan Konsumen Teriak

E Commerce Bakal Dibebani Biaya Materai Rp 10 000 UMKM Dan Konsumen Teriak

Ekonomi | BuddyKu | Jum'at, 24 Juni 2022 - 04:58
share

Pelaku E-Commerce keberatan dengan rencana Pemerintah mengenakan bea materai Rp 10 ribu untuk transaksi di atas Rp 5 juta. Aturan tersebut akan menambah beban pelaku usaha dan konsumen.

Perluasan objek Bea Materai (BM) merupakan tindak lanjut Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Materai (UU BM) bagi pelaku usaha digital ekonomi.

Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri melihat, rencana bea materai ini bisa semakin membebani pelaku usaha. Karena, beban yang harus ditanggung oleh pelaku usaha digital bukan cuma biaya materai, tetapi biaya administrasi hingga perubahan sistem secara menyeluruh. Sehingga membebani cost platform digital .

Bagaimana kalau setiap transaksi harus ada biaya materainya. Juga harus mencatat transaksinya dan melaporkan. Ini akan menambah beban, entah itu kepada UMKM (Usaha Mikro, Kecil, Menengah) atau platform digitalnya, kata Yose dalam acara diskusi media bertajuk Mendukung Transformasi Digital Sektor Jasa di Jakarta, Selasa (14/6).

Yose menambahkan, dengan pengenaan biaya materai, platform digital harus mengubah sistem mereka untuk menambah space , guna menyimpan transaksi materai ini.

Pemerintah, lanjutnya, disarankan melihat secara holistik dan menghitung cost dan benefit dari bea materai ini bagi ekonomi digital dalam negeri. Menurut dia, meski hanya dikenakan untuk transaksi Rp 5 juta ke atas, namun platform harus mengubah semua sistem. Dan, harus ada modul tambahan yang tentu menimbulkan biaya tambahan.

Benefit-nya, Pemerintah tentu memiliki pendapatan. Tetapi Pemerintah juga perlu melihat apakah memang benefit-nya lebih besar dibanding bebannya bagi ekonomi digital, kata Yose.

Senada, Direktur Eksekutif Indonesia Services Dialogue (ISD) Council Devi Ariyani mengatakan, pengenaan bea materai ini akan mengakibatkan tambahan biaya langsung serupa pajak. Serta biaya kepatuhan yang harus dipenuhi.

Hal ini dapat menimbulkan potensi distorsi kegiatan usaha, terutama bagi UMKM yang perkembangannya sangat terbantu dengan kehadiran e-commerce. Apalagi di saat yang sama, Indonesia sedang menumbuhkan ekonomi digitalnya. tuturnya.

Devi menegaskan, sektor jasa dapat terus berkembang selama masa pandemi, karena adopsi teknologi digital yang membantu meningkatkan efisiensi. Serta membuka peluang pasar baru bagi UMKM. Untuk itu, transformasi digital menjadi kunci bagi perkembangan sektor jasa untuk terus tumbuh dan menjadi salah satu pillar pemulihan ekonomi.

Daripada dikenakan materai, lebih baik dibantu agar dapat terus menjadi enabler bagi perkembangan sektor jasa ke depan, tutup Devi.

Terkait hal ini, Head of Public Policy & Government Relations Tokopedia Hilmi Adrianto mengatakan, pihaknya masih secara aktif memberikan masukan kepada Pemerintah. Khususnya bersama dengan Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA), sebagai asosiasi yang memayungi pelaku usaha mengenai rencana aturan baru ini.

Kami harap kebijakan yang nantinya akan berlaku, dapat mencerminkan equal level playing field antar seluruh pelaku usaha. Serta berpihak pada pertumbuhan ekonomi digital, juga tumbuh kembang pebisnis baru. Terutama UMKM lokal, ucap Hilmi kemarin kepada Rakyat Merdeka .

Sementara, Lazada Indonesia mengaku masih mendalami dan mempelajari aturan UU Nomor 10 tahun 2020 tentang Bea Materai.

Kami juga masih menunggu informasi lebih lanjut, mengenai petunjuk pelaksanaan dan mekanisme pengenaan bea materai yang akan dikenakan Pemerintah, sebelum kami bisa melakukan assessment lebih lanjut, kata Juru Bicara Lazada kepada Rakyat Merdeka .

Menyoal ini, Ketua Umum idEA Bima Laga mengaku masih melihat lebih jauh apakah aturan tersebut bisa berdampak pada e-commerce.

Namun sebelum diberlakukan, Bima meminta agar Kementerian Keuangan (Kemenkeu) meninjau ulang isi dalam kebijakan tersebut. Kami bukan sepenuhnya keberatan, tapi ada part di mana perlu ditinjau ulang, jelasnya di Jakarta, Rabu (15/6).

Bima mengatakan, hal yang memberatkan adalah jika bea materai elektronik diterapkan pada syarat dan ketentuan atau terms and condition (T&C). Menurutnya, kalau itu dilanjutkan, berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi digital dan mengurangi daya saing Indonesia di kancah global.

Adapun T&C merupakan salah satu bagian layanan yang melekat pada seluruh platform. Berfungsi menjelaskan hak dan tanggung jawab dari seluruh pihak yang mengakses layanan digital.

Namun, pemerintah beranggapan T&C merupakan dokumen perjanjian dan terutang bea materai sesuai UU Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Materai.

Menurutnya, jika penetapan bea materai dimasukkan dalam T&C, ini akan berdampak menciptakan hambatan ( barriers ) kepada proses digitalisasi yang sedang berjalan.

Bayangkan apabila seluruh user, termasuk buyer dan seller sebelum mendaftar di platform harus bayar Rp 10 ribu terlebih dahulu (untuk transaksi di atas Rp 5 juta). Padahal mereka belum transaksi, apalagi UMKM laku aja belum sudah harus bayar materai, ingat Bima.

Sebelumnya, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu Neilmaldrin Noor mengatakan, aturan ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Materai.

Bea materai yang akan dikenakan terhadap dokumen pada transaksi e-commerce, secara umum diatur dalam Undang-Undang Bea Materai, tegasnya.

Menurut Neilmaldrin, segala pertimbangan telah dilakukan oleh DJP sebelum menetapkan pengenaan bea materai Rp 10 ribu untuk dokumen transaksi di e-commerce di atas Rp 5 juta. Pihaknya mengaku terus berkoordinasi dengan asosiasi terkait seperti idEA.

Topik Menarik