Wamen Pertahanan M Herindra Pancasila vis a vis Globalisasi Dan Kesadaran Milenial

Wamen Pertahanan M Herindra Pancasila vis a vis Globalisasi Dan Kesadaran Milenial

Ekonomi | BuddyKu | Senin, 6 Juni 2022 - 08:05
share

Berbicara mengenai jati diri bangsa, maka Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni yang baru saja kita peringati, hendaknya menjadi momentum yang tepat untuk menyegarkan kembali ingatan kita pada sejarah berdirinya Republik Indonesia 1945.

Saat para pendiri bangsa ini ( the founding fathers ) merumuskan Pancasila sebagai fondasi dasar atau grundnorm -- meminjam istilah Hans Kelsen, seorang ahli hukum dan filsuf dari Austria.

Secara etimologis, Pancasila diambil dari Bahasa Sansekerta, yang berarti Panca (lima) dan Syila (batu sendi; alas dasar). Artinya, terdapat lima pilar sebagai alas dasar dari kehidupan kebangsaan kita.

Kelima dasar tersebut merefleksikan jati diri bangsa Indonesia sebagai bangsa yang mengakui nilai-nilai ke-Tuhan-an, kemanusiaan, kesatuan, kemusyawaratan, dan keadilan.

Penggalian pondasi bangsa ini oleh para founding fathers kita merupakan proses yang menjadikan Indonesia sebagai bangunan rumah atas tak kurang dari 1.340 suku, 718 bahasa, 112 kerajaan dan kesultanan,dan 187 kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Indonesia yang sudah diakui keberadaannya. Serta dapat dicantumkan pada KTP, sesuai keputusan Mahkaman Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 di luar agama-agama resmi yang diakui pemerintah.

Dari statistik suku, bahasa, tata administrasi kenegaraan, dan agama lokal yang tersebut di atas, sangat mudah memahami bahwa Indonesia adalah sebuah bangsa yang heterogen.

Sehingga, representasi ideologi Pancasila seharusnya dilihat sebagai ideologi yang mengedepankan toleransi, ideologi yang menghargai pluralisme, dan ideologi yang memahfumi Indonesia sebagai bangsa yang multikultural.

Itulah sebabnya, semboyan bangsa kita adalah Bhinneka Tunggal Ika berbeda-beda namun satu. Semboyan ini tertera dengan tegas dalam lambang negara kita, burung Garuda Pancasila.

Mendiskusikan jargon kebangsaan dan jati diri bangsa, tentu lebih mudah ketimbangmengimplementasikannya dalam kehidupan kita sehari-hari.

Sejarah membuktikan bahwa isu-isu kebangsaan, baik itu konflik sosial berbasis agama dan etnis serta gerakan separatisme, masih menjadi momok yang mengikuti perjalanan bangsa Indonesia, sejak Proklamasi 1945 hingga saat ini.

Sebagai dasar negara, Pancasila memang terus menghadapi tantangan, baik berupa tantangan internal maupun eksternal.

Secara internal, tantangan itu menyentuh sendi-sendi keberagaman kita, baik etnis, budaya, dan agama. Sertaperilaku-perilaku yang tidak selafaz dengan Pancasila: penyalahgunaan wewenang ( abuse of power ), pragmatisme, kurang percaya diri ( inferiority ), korupsi, dan lain sebagainya.

Sedangkan secara eksternal, tantangan itu mencakuppengaruh globalisasi, yang mengarah pada eksklusivisme sosial. Seperti politisasi identitas, polarisasi, dan fragmentasi sosial yang berbasis suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), serta gerakan transnasional (radikalisme, terorisme, separatisme, perdagangan narkotika, dan penyelundupan orang dan senjata).

Ketahanan ideologi kita dalam Pancasila, kembali diujiketika tensi persaingan dan keamanan global meningkat. Ini sekaligus menyadarkan kita, bahwa Indonesia menjadi salah satu target dalam proxy war atas berbagai kepentingan dan tarik-menarik pengaruh dunia ( melting pot ).

Pada era milenial, globalisasi diwarnai oleh derasnya arus informasi telematika. Derasnya arus informasi melalui jejaring teknologi informasi ini, sangat potensial merapuhkan fondasi-fondasi ketahanan nasional kita. Karena menjadi wahana paling efektif, dalam menarik anak bangsa kepada ideologi alternatif.

Mengutip pakar sosiologi dari Inggris, Malcolm Waters, dalam bukunya, Globalization , makna globalisasi adalah sebuah proses sosial yang menjadikan, The constraints of geography are shrinking and the world is becoming a single place (kendala geografi menyusut dan dunia menjadi satu tempat).

Sementara sosiolog ternama Indonesia, Selo Soemardjanmengatakan, globalisasi merupakan suatu proses terbentuknya sistem organisasi dan komunikasi antarmasyarakat di seluruh dunia, untuk mengikuti sistem dan kaidah-kaidah tertentu yang sama.

Maraknya jejaring sosial dan kemudahan mengakses informasi, tidak akan mampu membatasi rasa ingin tahu kelompok pengguna aktif internet di Indonesia dalam menembus lorong-lorong ideologi alternatif ini. Serta menyebarluaskannya untuk kepentingan kelompok dan individu tertentu. Baik dalam bentuk berita hoaks, penipuan, ujaran kebencian, dan diskriminasi.

Sebuah survey yang dirilis Microsoft pada 2020 tentang Civility, Safety, and Interaction Online 2020 menunjukkan adanya peningkatan global dalam penyebaran berita-berita hoax , penipuan ( frauds and scams ), ujaran kebencian ( hate speech ) dan diskriminasi ( discrimination ).

Kita memahami, globalisasi merupakan arus yang akan terus bergerak masuk ke Indonesia. Menjadi penting dalam konteks ini, adalah bagaimana kita merespons desakan arus globalisasi ini. Tanpa melupakan jati diri bangsa.

Pada hakikatnya, Pancasila merupakan ideologi terbuka yang mampu menyerap nilai-nilai baru, yang bermanfaat bagi keberlangsungan hidup bangsa. Tekanan terhadap nilai-nilai yang terkandung di dalam kelima sila dari Pancasila, merupakan refleksi atas kekuatan dari kelima sila tersebut.

Sila pertama, yaitu Sila Ketuhanan, merupakan fondasi yang mendasari kita, untuk hidup dalam damai dan toleransi terhadap sesama umat beragama.

Menonjolkan identitas keagamaan secara berlebihan, hanya akan menyulut api dalam sekam. Terutama, di kalangan akar rumput.

Pada sila kedua, ujaran untuk menghargai sesama manusia menjadi nilai dasarnya. Ujaran kebencian dan diskriminasi, tentu tidak mendapat tempat dalam sebuah masyarakat, yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan.

Sila ketiga, yaitu Sila Persatuan, menjadi peletak dasar bagi rumah bangsa yang bernama Indonesia.

Identitas kultural seharusnya menjadi kekuatan dan kekayaan yang mempersatukan bangsa. Tidak menjadi alasan bagi berkembangnya primordialisme, dalam bentuk cyber bullying (perundungan di media siber).

Benar bahwa homogenitas menjadi sebuah keistimewaan ( privilege ) bagi suatu bangsa, untuk tetap bersatu. Namun, heterogenitas bukanlah suatu alasan untuk terpecah belah.

Sebaliknya, heterogenitas menjadi kebanggaan dan kekayaan atas jati diri kita sebagai bangsa Indonesia.

Dalam sila keempat, yaitu sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, terdapat gambaran atas makna demokrasi di Indonesia.

Sila ini sekaligus menutup ruang bagi korupsi, penyalahgunaan wewenang, serta berbagai upaya yang bertujuan menciptakan polarisasi dalam masyarakat akar rumput.

Sedangkan sila kelima, yaitu Sila Keadilan Sosial, menjadi dasar penangkal bagi tersulutnya berbagai kecemburuan sosial, yang bisa bermuara pada konflik sosial.

Situasi ini sangat mudah diperkeruh oleh penyebaran berita-berita hoaks dan penipuan. Karena distorsi informasi, merupakan ancaman nyata terhadap masa depan dan eksistensi bangsa.

Adalah Generasi Milenial yang tumbuh di tengah derasnya perkembangan era digital 4.0.

PEW Research Center menyebut, kelompok Generasi Milenial adalah mereka yang lahir pada periode tahun 1981-1996 (atau setidaknya mereka yang berusia antara 26 hingga 41 tahun per 2022 ini).

Tidak berlebihan, jika kemudian kita mengatakan bahwa di tangan Generasi Milenial inilah, terletak pengaruh yang sangat kuat dalam keberlangsungan eksistensi bangsa di masa depan. Utamanya, saat kita memasuki Indonesia Emas 2045.

Juga pada saat kita berkontribusi terhadapperdamaian dan pemulihan ekonomi dunia, sebagaimana semangat yang kita usung dalam Presidensi G20, recover together recover stronger .

Topik Menarik