Neraca Keuangan BI Berisiko Defisit

Neraca Keuangan BI Berisiko Defisit

Ekonomi | koran-jakarta.com | Sabtu, 5 Februari 2022 - 06:33
share

JAKARTA - Skema berbagi beban atau burden sharing yang dilakukan pemerintah dan Bank Indonesia (BI) sebagai kebijakan yang wajar. Sebab, kebijakan tersebut memang bagian dari peran bank sentral.

"Pengelolaan keuangan ataupun laporan keuangan itu terutama oleh Bank Indonesia itu tidak bisa disamakan dengan entitas bisnis pada umumnya yang konvensional. Penilaiannya itu lebih kepada seberapa optimal atau mampu BI Ini menjalankan perannya," kata Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, saat dihubungi di Jakarta, Senin (4/2).

Yusuf berpendapat pernyataan IMF yang menyoroti kebijakan burden sharing dan meminta dihentikan pada akhir 2022 lebih kepada mengingatkan karena menurutnya, IMF sadar skema bagi beban itu masih dibutuhkan tahun ini.

"Kalau kita mengacu pada UU Nomor 2 Tahun 2020 tersebut sudah jelas dikatakan bahwa burden sharing memang hanya akan dilakukan sampai akhir 2022 gitu . Jadi, kalau saya kira IMF sudah mengetahui hal tersebut dan sifatnya mengingatkan," ujar dia.

Menurutnya, kebijakan burden sharing bisa saja segera dihentikan jika beragam kebijakan yang telah dijalankan pemerintah telah tereksekusi secara optimal. Kebijakan yang dimaksud adalah kebijakan di sektor kesehatan, pemberian berbagai insentif dan kebijakan-kebijakan pemulihan ekonomi yang bergantung pada burden sharing .

Terkait kekhawatiran soal burden sharing yang akan berdampak terhadap neraca keuangan BI, dia menilai kekhawatiran tersebut memang beralasan karena ada potensi defisit keuangan BI. Namun, defisit neraca keuangan BI bukan yang pertama kali terjadi, sehingga dia menegaskan yang terpenting adalah BI menjalankan perannya sebagai bank sentral.

Mengenai potensi penerimaan pada tahun depan, dia menuturkan hal tersebut memang akan menjadi tantangan tersendiri yang patut dinantikan. Meski demikian, kebijakan reformasi perpajakan yang mulai berlaku tahun ini, diprediksi mampu menopang penerimaan negara pada 2023.

Penanganan Pandemi

Seperti diketahui, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bersama BI melanjutkan burden sharing atau bagi beban melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) III dalam rangka menangani pandemi Covid-19 yang berlaku sejak tanggal ditetapkan sampai 31 Desember 2022. Dalam SKB III ini, BI akan membeli SBN sebesar 439 triliun rupiah dengan rincian 215 triliun rupiah pada 2021 dan 224 triliun rupiah pada 2022. Bunga SBN ini mengacu pada suku bunga reverse repo BI tenor 3 bulan yang di bawah suku bunga pasar.

Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, menyatakan SKB III ini dilatarbelakangi oleh adanya peningkatan penyebaran Covid-19 varian Delta yang memerlukan pembiayaan besar, termasuk untuk penanganan kesehatan dan kemanusiaan.

Gubernur BI, Perry Warjiyo, menegaskan perpanjangan kebijakan berbagi beban APBN atau burden sharing tidak akan mengurangi independensi Bank Indonesia sebagai bank sentral untuk melaksanakan kebijakan moneter yang prudent .

Terkait dana hasil penjualan SBN, pemerintah diminta berhati-hati memanfaatkannya. Sebab, jika pemanfaatanya salah, dampaknya akan buruk terhadap stabilitas sistem keuangan nasional.

Topik Menarik