Sultan Surojo Diangkat Menjadi Raja Yogyakarta oleh Kakeknya, Bukan Ayahnya

Sultan Surojo Diangkat Menjadi Raja Yogyakarta oleh Kakeknya, Bukan Ayahnya

Travel | BuddyKu | Sabtu, 14 Oktober 2023 - 08:08
share

YOGYAKARTA, NETRALNEWS.COM- Dalam kisah terdahulu diceritakan pada 28 Juli 1808, kurang lebih 6 bulan setelah memegang kekuasaan di Jawa, Daendels mengeluarkan maklumat yan melukai raja-raja Jawa.

Isi dari maklumat itu sangat merendahkan adat dan martabat raja-raja Jawa. Untuk itulah Sultan Sepuh atau Sultan Hamengku Buwono II menolak keras, sementara Sunan Surakarta dan Mangkunegara menerima maklumat dari Daendels itu.

Tentu saja Daendels sangat marah besar. Dia segera membawa 3.200 tentara untuk menekan Sultan Sepuh agar menjadi raja yang penurut. Dengan terpaksa akhirnya Sultan Sepuh menandatangani pernyataan yang isinya menyerahkan pemerintahan Yogyakarta kepada Putra Mahkota (Pangeran Surojo) yang akan memerintah sebagai Pangeran Wali.

Walaupun Sultan Sepuh diturunkan dari takhtanya, tetapi dia tetap diperbolehkan berada di keraton dan diperbolehkan keluar jika ada acara-acara penting keraton seperti Upacara Garebeg.

Sementara itu, Sultan Sepuh tetap memegang kekuasaan di bidang keuangan dan tanah-tanah jabatan. Rasa tidak suka Sultan Sepuh kepada Pangeran Wali adalah pada Mei 1811 Daendels memberikan kepada Pangeran Wali sebuah tanda jasa berupa bintang bersegi delapan yang bertahtakan intan.

Bintang jasa itu bernama Orde van de Unie atau Tanda Jasa Serikat. Peghargaan tanda jasa ini juga diberikan Daendels kepada Sunan Paku Buwono IV (bertakhta 1788-1820), (kisah tersebut bisa dibaca DI SINI ).

Pembaca yang budiman, hari itu hari Rabu, tanggal 26 Mei 1830. Dalam percakapan antara Diponegoro dengan Letnan Knoerle pada jam 8 pagi itu, Diponegoro mengatakan bahwa ayahnya Sultan Hamengku Buwono III lahirnya pada hari dan tahun yang sama seperti Sunan Surakarta (Sunan Paku Buwono IV, bertakhta 1788-1820).

Diponegoro juga mengatakan bahwa dia dilahirkan pada waktu keberuntungan, yaitu lahir di hari yang sama seperti Sunan Paku Buwono V (bertakhta 1823-1830).

Sultan Hamengku Buwono III diberi julukan Sultan Rojo. Beberapa sumber mengatakan bahwa disebut Sultan Rojo karena nama aslinya Pangeran Surojo. Sumber lain mengatakan bahwa Sultan ketiga diberi julukan Sultan Rojo karena gelarnya sebagai Pangeran Wali (1810-1811) adalah Rojo Putra Narendra Pangeran Adipati Anom Amangkunegoro.

Sultan ketiga, lahir pada hari Senin 20 Pebruari 1769 atau tahun Jawa 1694. Sunan Pakubuwono IV juga lahir pada tahun Jawa 1694. Hanya saja lahirnya pada hari Jumat 2 September 1768.

Di sini, tampak Diponegoro menghitung kesamaan dari sisi tahun Jawa bukan tahun Masehi, sehingga ada kesamaan tahun kelahiran (1694 J) antara Sultan ketiga dengan Sunan keempat.

Sultan Rojo menjadi putra mahkota pada tahun 1790 diusia 21 tahun. Sultan kedua menjadi putra mahkota juga pada tahun 1790. Mengapa keduanya menjadi putra mahkota pada tahun yang sama?

Semua itu terjadi karena Sunan keempat (Sunan Paku Buwono IV) membuat ulah sehingga Kesunanan, Kesultanan, dan Mangkunegaran menjadi gempar. Pada Mei 1790, Sunan keempat memberi nama adiknya yang bernama Pangeran Arya Mataram dengan nama baru yaitu Pangeran Mangkubumi.

Tentu saja nama baru itu membuat marah Sultan Mangkubumi. Menurut Sultan pertama selama dirinya masih hidup, keturunan raja Mataram tidak ada yang berhak memakai nama itu karena nama adalah simbol keagungan, kebesaran bagi si pemakai.

Akhirnya Sultan pertama protes keras kepada Kompeni Belanda agar Sunan keempat mencabut pemberian nama kepada adiknya itu. Kompeni Belanda kemudian mendekati Sunan keempat agar mencabut nama itu. Tetapi Sunan keempat tidak sudi mencabut nama itu dan tetap memberikan nama Pangeran Mangkubumi kepada adiknya.

Kegagalan Kompeni Belanda meminta Sunan keempat mencabut nama itu membuat Vorstenlanden memanas dan hampir saja berujung pada perang besar.

Agar Kompeni tidak kehilangan muka karena gagal merayu Sunan keempat mencabut pemberian nama, maka Kompeni Belanda mengambil kebijakan nama Mangkubumi tetap disandang oleh adik Sunan keempat, hanya saja yang memberikan nama bukan Sunan keempat, tetapi Kompeni Belanda, karena Kompeni menyukai adik Sunan.

Hal itu memang kelihatan akal-akalan, tetapi dengan usaha ini mengurangi konflik dan ketegangan antara Kesultanan dengan Kesunanan.

Sementara itu untuk menutup rasa malunya karena Sunan keempat tetap bersikukuh dengan nama itu dan protes Sultan Mangkubumi gagal, maka pada bulan Oktober 1790, Sultan pertama menetapkan dua putra mahkota Yogyakarta sekaligus, yaitu kepada anaknya Pangeran Sundara yang kelak menjadi Sultan kedua dan kepada cucunya Pangeran Surojo yang kelak menjadi Sultan ketiga.

Untuk itulah Sultan pertama memberikan nama kepada Pangeran Surojo, cucunya itu dengan nama Mangkubumi, sebagai simbol bahwa dia diangkat menjadi putra mahkota. Dengan memberikan nama Mangkubumi kepada cucunya, maka Sultan pertama terhindar dari rasa malu karena Sunan keempat memberikan nama Mangkubumi kepada adiknya tanpa seizin Sultan pertama terlebih dahulu.

Dari peristiwa inilah Sultan kedua yang sebenarnya tidak menyukai Pangeran Surojo (putra dari permaisuri GKR. Kedhaton) karena sering berpihak kepada Daendels, tetapi lebih menyukai Pangeran Mangkudiningrat (putra dari permaisuri GKR. Hemas) yang penurut sebagai penggantinya menjadi tidak berdaya, karena jauh sebelum itu pada 1790 Sultan pertama sudah menetapkan Pangeran Surojo sebagai putra mahkota yang kelak menjadi Sultan ketiga Kesultanan Yogyakarta.

Bagaimana kisah-kisah berikutnya saat Sang Pangeran di Kapal Pollux? Ikuti terus artikel ini yang tentunya ditemukan kisah-kisah menarik lainnya. Tunggu episode berikutnya, ya!

Penulis: Lilik Suharmaji
Founder PUSAM (Pusat Studi Mataram) tinggal di Yogyakarta.

Bacaan Rujukan Carey, Peter. 2022. Percakapan dengan Diponegoro . Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Lilik Suharmaji. 2023. Mangkubumi Raja Terebesar Kedua Penerus Mataram 1717-1792 . Yogyakarta: Mata Bangsa.

Topik Menarik